TBC Sentuh 1.144 Kasus, Sekda Bantul Sebut Penghasilan Rendah Jadi Pemicu

TBC Sentuh 1.144 Kasus, Sekda Bantul Sebut Penghasilan Rendah Jadi Pemicu

Pradito Rida Pertana - detikJogja
Jumat, 24 Nov 2023 16:52 WIB
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bantul Agus Budi Raharja saat memberikan keterangan di Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul, Jumat (24/11/2023).
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bantul Agus Budi Raharja mengatakan penghasilan rendah bisa jadi pemicu TBC di Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul, Jumat (24/11/2023). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja.
Jogja -

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul menyebut hingga bulan November ada temuan ribuan kasus aktif tuberkulosis (TBC) di Bumi Projotamansari. Dari jumlah tersebut ada 21% pasien berpenghasilan rendah, sehingga Pemkab menyebut penghasilan rendah juga memicu penyebaran TBC.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bantul, Agus Budi Raharja menjelaskan, bahwa di Kabupaten Bantul DIY, dari kurun waktu bulan Januari hingga November terdapat 1.144 kasus aktif TBC, atau terdapat 1 kasus TBC per 1.000 penduduk di Kabupaten Bantul. Jumlah tersebut masih 58,67% dari estimasi 1.950 kasus TBC tahun 2023 yang ada di Bantul.

"Berarti kan ada yang belum ketemu. Nah, inilah masalah kita dari waktu ke waktu soal temuan kasus tidak bisa mencapai 100%. Dampaknya apa, kalau kasus tidak ditemukan berarti pasti tidak diobati, wong yang ditemukan saja belum pasti 100% diobati," katanya kepada wartawan di Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul, Jumat (24/11/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sehingga masih sekitar 42% belum bisa diketemukan dan kemungkinan bisa menularkan ke orang lain karena belum ada intervensi obat dari kita. Tapi Bantul bertekad kalau ada temuan kasus TB harus diobati sampai tuntas dan jangan sampai dropout atau putus pengobatan," lanjut Agus.

Agus melanjutkan, dari 1.144 kasus terdapat 420 pasien TBC yang masuk kategori usia produktif. Rinciannya, 122 pasien berstatus sebagai pelajar/mahasiswa.

ADVERTISEMENT

Sedangkan berdasarkan jenis pekerjaan, tertinggi bekerja sebagai buruh dengan 11%, pelajar/mahasiswa 10,6%, ibu rumah tangga (IRT) 7%, wiraswasta 6,5% serta pegawai swasta 3%. Selain itu, sekitar 20 persen pasien TBC di Bantul masuk ketegori berpenghasilan rendah.

"Nah, dari 1.144 kasus tadi sekitar 21,24% tercatat memiliki penghasilan rendah. Tapi belum tentu ini penyebab utama bahwa orang miskin itu menjadi TB," ucapnya.

Meski bukan penyebab utama, Agus menilai masyarakat dengan penghasilan rendah berpotensi terkena TBC. Karena rendahnya penghasilan, membuat masyarakat enggan memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat (Fasyankes) dan kebanyakan menunggu sampai kondisinya parah seperti batuk berdarah.

"Tapi kenyataannya bahwa kasus TB itu ditemukan juga cukup banyak di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Ya memang penghasilan rendah otomatis kemungkinan akan meningkatkan risiko penularan TB," ucapnya.

Selain itu, Agus menilai rendahnya penghasilan membuat tempat tinggal menjadi lembab. Mengingat masyarakat dengan penghasilan rendah belum bisa memastikan rumahnya sehat.

"Orang berpenghasilan rendah pasti rawan akan kesehatan khususnya TB, apalagi TB ini penularannya juga tergantung terhadap kelembapan rumah. Kalau rumah semakin tidak sehat, ventilasi kurang, pencahayaan kurang dan alat-alat rumah tangga tidak dicuci dengan baik tentu dan itu sering digunakan berganti itu pasti meningkatkan risiko penularan TB," katanya.

"Karena apa? Kemungkinan orang yang penghasilan rendah itu rumahnya kurang sehat, karena kurang sehat itu kurang pencahayaan, ventilasi, lantainisasi dan lain-lain sehingga menjadi lembap. Dan bagaimana pencucian perabotnya sehingga membuat hidup kuman-kuman TB dan berisiko terjadi penularan," imbuh Agus.

Selain itu, tidak urung masyarakat berpenghasilan rendah tidak memiliki piring yang cukup untuk anggota keluarganya. Semua itu terkadang membuat mereka bergantian piring tanpa dicuci dahulu.

"Bahkan kalau hanya punya piring satu kan berarti gantian yang pakai, kalau orang tidak mampu kan keluarga jumlahnya enam terus piringnya hanya dua, kadang-kadang setelah makan tidak dicuci dan bilang sudah ini pakai punyaku saja," katanya.

Meski belum memenuhi capaian temuan kasus TBC, Agus menyebut Kabupaten Bantul telah melebihi target nasional terkait pemeriksaan terhadap terduga TBC.

"Oleh nasional sudah dihitung, bahwa target kita memeriksa terduga TB itu 9.477 orang. Alhamdulillah kita sampai saat ini memeriksa 12.576 ribu orang atau 132 persen," katanya.

Terkait upaya menekan angka penularan TBC di Kabupaten Bantul, Agus mengaku salah satunya adalah memberikan Terapi Pencegahan TBC (TPT) bagi kontak erat pasien TBC dan kasus Infeksi Laten TBC. Selanjutnya penemuan kasus secara aktif pada populasi beresiko melalui kegiatan Active Case Finding (ACF), serta kolaborasi multi sector melalui pendekatan District based Public Private Mix (DPPM).

"Dengan pendekatan DPPM, Dinas Kesehatan Bantul, fasyankes, dan Komunitas saling berkolaborasi untuk meningkatkan temuan kasus TB serta memastikan pasien mendapatkan pengobatan sesuai standar dan berpusat pada pasien," ucapnya.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bantul Agus Tri Widiyantara menambahkan, bahwa ada tiga Kapanewon penyumbang kasus TBC paling banyak di Bantul. Sebagian besar, wilayah itu berada di perbatasan Bantul-Kota Jogja.

"Untuk kasus-kasus yang ditemukan dari Puskesmasnya paling banyak Puskesmas Banguntapan, khususnya Puskesmas Banguntapan I, kemudian Puskesmas Sewon dan Puskesmas Imogiri. Jadi itu 3 Kapanewon yang jadi tiga besar untuk penemuan kasus TB di Bantul," ucapnya.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bantul Agus Tri Widiyantara saat memberikan keterangan.Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bantul Agus Tri Widiyantara saat memberikan keterangan. Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja.

Terkait penyebabnya, Agus menilai karena dua Kapanewon yakni Sewon dan Banguntapan berada di perbatasan Kota Jogja. Sedangkan untuk Imogiri karena kebanyakan banyak masyarakat yang masuk kategori ekonomi berkembang.

"Imogiri bukan di daerah perbatasan, tapi memang cukup banyak kasus-kasus ini yang ditemukan di kalangan masyarakat yang memang dengan tingkat ekonomi sosial yang rendah. Kemudian juga dari pemukiman yang lebih padat sehingga untuk risiko penularan TB lebih besar dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain," ucapnya.

Terkait hal tersebut, Kepala Sub Sub Recipient (SSR) Sinergi Sehat Indonesia Kabupaten Bantul Nurkolis Majid menilai ada dua faktor penyebab terjadinya peningkatan kasus TBC di beberapa Puskesmas Bantul. Menurutnya dua faktor itu baik dari segi layanan dan kesadaran masyarakat.

"Satu Puskesmas tinggi itu kan ada dua faktor, kalau Puskesmasnya jalan baik pasti yang diperiksa jadi lebih banyak. Yang kedua, kalau masyarakatnya juga aktif pasti akan menjadi lebih banyak. Kalau masyarakatnya tidak aktif ya tidak bakal datang dia ke fasyankes," ujarnya.

"Sehingga kita harus lihat masalahnya di mana, apakah di masyarakat atau di pelayanan kesehatan. Nah, hal yang kami temukan adalah begini, misalnya dari beberapa case finding yang kami temukan ada 1.000 yang diajak diskusi dan diperiksa lalu ditemukan 4 kasus TB," lanjut Nurkolis.

Sehingga jika ingin menemukan 2.000 kasus TBC, maka banyak sekali orang yang harus menjalani screening. Sehingga tantangannya kalau tidak bersama-sama diselesaikan maka penularan bakal terus terjadi.

"Jadi harus melibatkan semua pihak mulai dari jajaran pemerintahan di kabupaten, kapanewon, kalurahan, hingga kader-kader kesehatan ditingkat padukuhan. Termasuk juga rumah sakit, puskesmas, klinik-klinik kesehatan hingga dokter yang membuka praktik," ucapnya.

Atau, kata Nurkolis, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bisa melakukan screening terhadap mahasiswa luar daerah yang masuk ke Jogja. Mengingat bisa saja mahasiswa itu membawa TBC saat masuk ke Jogja.

"Semoga pemerintah sepakat bergerak bersama. Apalagi Jogja kan kota pelajar dan seharusnya dilakukan screening terlebih dahulu, agar penularan tidak terjadi. Jadi bisa kampus melakukan screening TBC untuk menemukan kasus," katanya.

Halaman 2 dari 2
(cln/ahr)

Hide Ads