Pascameletusnya G30S PKI, terjadi peristiwa kelam di Kabupaten Klaten yang dikenal sebagai Kentong Gobyok 1965. Konflik, sabotase, penculikan dan pembunuhan beraroma rivalitas politik yang terjadi bulan Oktober 1965 itu masih menyisakan cerita hingga kini.
Masih membekas di ingatan Subandi (75), kondisi mencekam itu terjadi di akhir bulan Oktober 1965. Setelah lepas tengah malam kondisi mencekam dan paginya pohon bertumbangan.
"Seingat saya pohon-pohon di tepi jalan raya ditebangi. Mulai dari Tegalgondo sampai Delanggu sana," tutur Subandi kepada detikJateng di tepi dusun di Desa Wadung Getas, Kecamatan Wonosari, Selasa (4/10/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Subandi menceritakan warga tidak mengetahui massa dari mana yang melakukan aksi tersebut. Warga hanya mengetahui jalanan sudah tertutup pohon besar yang tumbang saat pagi hari.
"Yang nebang massa dari mana tidak tahu, tapi ya paling warga sekitar sini. Warga yang di rumah bersembunyi, tidak berani keluar," kata Subandi.
Menurut Subandi, sehari berikutnya, pohon tumbang yang menghalang jalan itu langsung dibersihkan oleh aparat keamanan.
"Cuma satu hari, cepat kok itu. Langsung dibersihkan, ya oleh aparat, RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat)," ucap Subandi.
Pohon-pohon yang ditebang, ungkap Subandi, terletak di pinggir jalan dengan ukuran besar. Kebanyakan merupakan pohon mahoni.
"Pohon yang ditanam di tepi jalan, tapi warga tidak ada yang mengungsi karena daerah sini aman. Di sini pendukungnya ya sebagian (ada PKI ada PNI) tapi tidak sampai bentrok," sambung Subandi yang kala itu sudah berjualan di Pasar Delanggu.
Setelah kejadian, tambah Subandi, sempat diberlakukan kebijakan jam malam di wilayahnya. Pasar juga ikut tutup akibat kejadian tersebut karena warga ketakutan.
"Ya setelah itu ada jam malam. Pasar ya karena orang awam pada takut, pasar tutup saat itu," imbuh Subandi.
Setelah kejadian itu, ujar Subandi, tokoh-tokoh yang dianggap dekat dengan PKI yang ditangkap. Tapi kebanyakan mereka dipulangkan.
"Kalau sekitar sini tidak begitu banyak (ditangkap). Setelah itu pada dikembalikan karena di sekitar sini tidak terjadi keributan, di sini relatif damai," pungkas Subandi.
Warga lain di Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Badriah (65), menceritakan pohon-pohon di Jalan Jogja-Solo di wilayah Prambanan-Jogonalan juga ditebangi. Warga yang ketakutan memilih lari menyelamatkan diri.
"Orang pada takut, pohon-pohon di jalan ditebangi orang PKI. Sebelum itu ada kentongan titir dibunyikan," ungkap Badriah kepada detikJateng yang rumahnya di tepi jalan raya Jogja-Solo.
Menurut Badriah orang-orang desa yang tidak tahu apa-apa saat kentongan dibunyikan dan pohon ditebang memilih lari. Warga menyelamatkan diri ke sawah.
"Orang desa yang takut lari ke sawah. Orang yang bukan PKI kan diancam oleh PKI rumahnya mau dibakar," tutur Badriah.
Situasi makin mencekam akibat teror penculikan, simak di halaman berikutnya...
Selain menebang pohon-pohon, lanjut Badriah, kelompok yang diyakini warga saat itu merupakan para pro-PKI juga menculik dan menganiaya warga yang dianggap PNI di desanya. Salah satunya, kata Badriah, seorang warga bernama Mangku Wiryono yang dianiaya hingga tewas.
"Dianiaya karena dianggap PNI dan akhirnya meninggal. Itu (Pak Mangku) kan kakeknya Pak Kades," imbuh Badriah.
Diwawancara terpisah, Kades Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Supriyadi, menceritakan saat kejadian dirinya berumur 8 tahun. Dirinya tidak tahu benar penebangan pohon di Jalan Jogja-Solo.
"Waktu itu saya umur 8 tahun. Saya tidak konsen ke situ (sabotase). Karena saya saat itu baru berduka bapak dan kakek (Pak Mangku) dibunuh," ungkap Supriyadi kepada detikJateng.
Supriyadi menceritakan meskipun sedang berduka, dirinya sempat mendengar cerita soal sabotase PKI. Sebab kakeknya dibawa ke RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro, Tegalyoso ditandu karena jalan tak bisa dilewati.
"Hanya saya dapat dengar info dari warga yang membawa kakek saya ke Tegalyoso hanya jalan kaki. Kakek ditandu karena jalan nggak bisa dilewati," sambung Supriyadi.
Dikutip detikJateng dari penelitian Kuncoro Hadi dari Ilmu Sejarah UNY berjudul 'Peristiwa Kentong Gobyok: Di Antara Mengingat Sekaligus Melupakan Kekerasan 1965 di Klaten, Jawa Tengah' (Bandar Maulana, Vol 25 No 1 Tahun 2020), disebutkan Kentong Gobyok merupakan satu gegeran yang terjadi pascaperistiwa 1 Oktober 1965 yang bersifat lokal dan memunculkan kekerasan.
Malam 22 Oktober 1965 hingga dini hari 23 Oktober 1965, suasana di beberapa wilayah Klaten berubah mencekam. Kondisi ini tidak lepas dari reaksi-reaksi yang muncul akibat kisruh politik di pusat dalam peristiwa G30S.
Dalam penelitian itu disebutkan korban penculikan sebanyak 312 orang, pembunuhan 168 orang, penganiayaan 33 orang, hilang 22 orang, mengungsi 11.265 orang dan bangunan terbakar 38 unit.