Selain penyakit cacar, malaria dan frambusia, pada masa Hindia Belanda di Cirebon juga pernah dilanda rabies yang ditularkan melalui gigitan atau cakaran hewan. Anjing di Cirebon pun diberangus kala itu.
Mengutip jurnal dari Kesejahteraan Anjing Dalam Pemberantasan Wabah Rabies di Hindia Belanda (2019) yang ditulis Budi Gustaman disebutkan, rabies pertama kali terdeteksi di Cirebon pada tahun 1894. Kala itu, dokter bernsama Eilerts de Haan mendeteksi rabies yang diidap seorang anak di Palimanan, Kabupaten Cirebon.
Surat kabar Batavia Handelsblad edisi 11 Juni 1879 menuliskan tentang gejala serangan rabies kala itu. Batavia Handelsblad menuliskan seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun, menerima cakaran hewan di wajahnya. Lukanya tidak terlalu parah, dan rasa sakitnya hilang setelah dioleskan amonia. Namun, beberapa hari kemudian, anak tersebut mulai mengeluh sakit kepala, sakit perut dan kehilangan nafsu makan, dan juga demam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh dokter yang memeriksanya, diberi obat kina dan minyak jarak. Tetapi, sang anak menolak untuk diberikan minyak, bahkan, tidak hanya menolak, anak tersebut juga terlihat memiliki rasa takut dan gelisah terhadap minyak. Hal ini menunjukkan salah satu gejala dari rabies, yakni ketakutan terhadap air atau hydrophobia.
"Memiliki rasa takut dan gelisah terhadap air, menunjukkan tanda-tanda rabies, atau yang disebut hidrofobia. Penyakit tersebut kemudian dikonfirmasi oleh dokter, dan ada sedikit harapan yang diberikan untuk kesembuhan anak tersebut. Sementara itu anak laki-laki itu sangat menderita, penyakitnya menyebar dengan cepat, hingga akhirnya anak tersebut meninggal kemarin malam di rumah sakit," tulis koran Batavia Handelsblad edisi 11 Juni 1879.
Dalam surat kabar de Locomotif edisi 24 Juli 1884, untuk anjing yang terkena rabies, memiliki beberapa gejala, yakni mengeluarkan air liur yang banyak, tiba-tiba bersikap tidak wajar seperti sering melompat dan menggonggong pada objek yang tidak jelas.
"Ketegangan otak yang aneh di mana anjing melompat dan menggonggong pada objek imajiner, tadinya berdiri dengan gonggongan normal, tetapi tiba-tiba berubah menjadi suara melolong yang tidak menyenangkan. Gejala lainnya adalah, kehilangan nafsu makan, kecenderungan untuk makan semua benda dingin, dan makan jerami dan rumput," tulis Lokomotif edisi 24 Juli 1884.
Agar penyakit rabies tidak menyebar, pada tahun 1915, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan aturan yang berisi tentang pencegahan penyakit rabies. Dalam koran Sumatra Post edisi 10 Juni 1915, beberapa aturannya adalah tentang tempat pengiriman hewan di pelabuhan. Kala itu, setiap orang yang membawa hewan harus turun di pelabuhan dan jalur yang telah ditentukan oleh gubernur jenderal.
"Pelabuhan dan jalur yang ditunjuk adalah, Tandjong Priok, Cheribon, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Belawan, Sabang dan Emmahaven. Sebelum dipulangkan, hewan yang berada di kapal harus diperiksa oleh dokter bedah hewan," tulis koran Sumatra Post edisi 10 Juni 1915.
![]() |
Apabila ada hewan yang dicurigai memiliki gejala rabies, oleh polisi akan dibakar dan dibunuh. Jika pemiliknya keberatan, maka hewan tersebut akan dikarantina terlebih dahulu.
"Anjing, kucing, atau kera yang ditemukan berada di area tersebut, oleh ahlinya akan dibunuh dan dibakar oleh polisi. Hewan yang dicurigai juga diperlakukan dengan cara yang sama, kecuali pemiliknya berkeberatan, dalam hal ini hewan tersebut harus dikurung atau diamankan selama 4 bulan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh kepala pemerintah setempat," tulis tulis koran Sumatra Post edisi 10 Juni 1915.
Pada tahun 1928, setidaknya ada sekitar ratusan anjing yang ditangkap dan dibunuh di Cirebon, seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie edisi 3 Maret 1928.
"Sejak peraturan Rabies mulai berlaku, lebih dari 300 anjing telah ditangkap dan dibunuh di Cheribon," tulis surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 3 Maret 1928.
Dalam aturan juga disebutkan hewan yang tidak dicurigai memiliki rabies, tetapi jika menggigit manusia maka harus dikurung selama 5 hari. Apabila sebuah wilayah ada yang terkena penyakit rabies, maka pemerintah daerah harus memberangus semua anjing di wilayahnya selama 4 bulan.
Pada tahun 1939 rabies mulai terdeteksi kembali di Cirebon, dalam koran de Locomotif edisi 19 Mei 1939, menyebutkan rabies sudah muncul di Kecamatan Cangkring, dan Kejaksan. Dua bulan setelahnya, tepatnya pada (19/6/1939) rabies sudah menyebar ke Palimanan, Kecamatan Gempol.
Pada bulan Januari tahun 1940, penyakit rabies menyebar ke Cirebon Timur, tepatnya di daerah Ciledug dan Gebang, seperti yang dipaparkan dalam koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 13 Januari 1940.
"Penduduk Cheribon telah mengumumkan bahwa telah terjadi kasus rabies di desa Gebang (daerah Tjiledoek), oleh karena itu ketentuan peraturan rabies dinyatakan berlaku di daerah tersebut," tulis koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 12 Januari 1940.
Lalu, dalam koran Batavia Nieuwsblad edisi 3 Mei 1940, menyebutkan rabies juga sudah menyebar di daerah Beber yang berbatasan langsung dengan Kuningan. Kala itu, semua anjing tidak boleh berkeliaran bebas dan harus diberi rantai.
"Di Cheribon telah terjadi rabies, sehingga sesuai dengan keputusan Asisten Residen Cheribon, peraturan rabies tetap berlaku hingga tanggal 11 Agustus, yaitu di Kecamatan Cirebon Barat dan Selatan serta Beber. Oleh karena itu, anjing hanya boleh diberangus dan digiring sepanjang jalan dengan rantai," Tulis koran Batavia Nieuwsblad edisi 3 Mei 1940.
Pada 2 Juli 1940, koran Batavia Nieuwsblad juga mengabarkan, bahwa rabies juga ditemukan di wilayah Arjawinangun, Susukan, Gegesik dan Kapetakan. Rabies juga menyebar sampai Jatiwangi, Majalengka dan Indramayu.
Untuk mencegah penyebaran rabies, pemerintah Hindia Belanda di Cirebon, melakukan berbagai macam upaya, salah satunya adalah dengan memberi cerobong pada kepala anjing agar tidak menggigit. Selain itu juga, kegiatan ekspor hewan khususnya anjing, monyet dan kucing dilarang.
"Anjing harus dipasangi moncong seperti biasa, sedangkan hewan boleh digiring di jalan umum dengan rantai atau tali yang panjangnya tidak lebih dari 2 meter. Ekspor anjing, kucing, dan monyet ke luar distrik Cheribon (Cirebon) tetap dilarang," tulis De Locomotif edisi 19 Mei 1939.
Pemerintah Hindia Belanda juga melarang anjing berkeliaran di depan umum. Jika ada yang melanggar, maka polisi akan melakukan tindakan. Bahkan, apabila ada anjing yang sakit maka akan langsung dimusnahkan.
"Anjing hanya diperbolehkan berkeliaran bebas di halaman yang tertutup rapat, asalkan diberangus. Di jalan umum, anjing harus digiring dengan tali atau rantai yang panjangnya tidak lebih dari dua meter dan juga harus diberangus," tulis Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 20 Juni 1939.
Pegiat sejarah Cirebon, Putra Lingga Pamungkas, belum menemukan secara rinci tentang kasus penyakit rabies di Cirebon. Meski begitu, menurut Lingga, pemerintah Hindia Belanda memang melakukan berbagai macam upaya untuk menangani masalah kesehatan di Cirebon.
Lingga menyebut pemerintah Hindia Belanda juga banyak membangun rumah sakit dan klinik sebagai sarana kesehatan. "Iya bahkan rumah sakit dan klinik tersebar di kabupaten juga, kayak di Gempol, Waled, Arjawinangun dan lain-lain," tutur Lingga, belum lama ini.
Di Kota Cirebon, lanjut Lingga, pemerintah membangun Rumah Sakit Orange yang sekarang berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Daerah (RSD) Gunung Jati. Selain itu juga, pemerintah Hindia Belanda, melakukan banyak vaksinasi dan menutup Kali Bacin yang menjadi sarang penyakit.
"Dulu kliniknya bertempat yang sekarang dijadikan kantor polres Kota Cirebon, sama sekolah kesehatan Pamitran," pungkas Lingga.
Berbagai macam upaya untuk menangani rabies pun mulai menunjukkan hasil. Pada tahun 1940, Pemerintah Residen Cirebon memutuskan untuk mencabut aturan pencegahan rabies di beberapa daerah tertentu di Cirebon, seperti yang ditulis dalam surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 22 Februari 1940.
"Dengan keputusan Residen Cheribon telah ditetapkan bahwa pernyataan tertular rabies yang dicanangkan pada tanggal 9 Oktober telah dicabut, sehingga anjing-anjing tersebut kini diperbolehkan berkeliaran bebas kembali," tulis koran Batavia Nieuwsblad edisi 22 Februari 1940.
(sud/sud)