9 Wabah Penyakit yang pernah Meneror Cirebon di Masa Hindia Belanda

9 Wabah Penyakit yang pernah Meneror Cirebon di Masa Hindia Belanda

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Sabtu, 15 Mar 2025 09:00 WIB
Wabah penyakit di Cirebon di masa Hindia Belanda
Wabah penyakit di Cirebon di masa Hindia Belanda (Foto: Istimewa)
Cirebon -

Sejak masa Hindia Belanda, Cirebon dikenal sebagai tempat menyebarnya wabah penyakit. Ada banyak wabah penyakit yang menyebar di Cirebon kala itu. Tata kelola kota yang buruk menjadi salah satu penyebab kenapa wabah penyakit di Cirebon bisa terjadi.

Lebih jelasnya, berikut 9 wabah penyakit yang pernah melanda Cirebon pada masa Hindia Belanda.

Wabah Tifus

Pada permulaan abad ke-20, Cirebon pernah dilanda wabah penyakit tifus. Mengutip surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 26 Januari 1915, wabah tifus mulai terjadi saat musim muson barat. Banyak penduduk pribumi dan nonpribumi yang mengalami gejala kesehatan seperti demam, batuk darah, bahkan ada yang sampai meninggal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada ratusan orang yang meninggal karena menyebarnya wabah tifus. Dalam surat kabar De Locomotif edisi 8 Januari, 25 Juli, dan 8 Oktober 1930, disebutkan beberapa wilayah di Cirebon yang terkena wabah penyakit seperti Cangkring, Pulasaren, Pandesan, Pasuketan, Karanggetas, Kejaksaan, Kebon Baru dan Pekalangan.

Penyebaran tifus disebabkan oleh banyak faktor, seperti banyaknya penduduk yang memakan makanan yang sudah terkontaminasi hingga pembuangan saluran fases di Cirebon yang buruk. Pada tahun 1930 wabah tifus yang tak kunjung usai, memicu amarah demonstrasi dari para buruh di Cirebon.

ADVERTISEMENT

Ada dua tuntutan yang diinginkan buruh. Pertama, pembagian jatah air bersih untuk dikonsumsi sehari-hari, menurut para buruh, air yang selama ini mereka konsumsi telah terkontaminasi karena pembangunan proyek jalan. Kedua, menuntut pertanggungjawaban pemerintah dan dokter atas kematian keluarga mereka yang meninggal karena tifus.

Wabah Malaria

Pada Abad ke 19, tepatnya pada tahun 1805, Cirebon mulai terkena wabah penyakit malaria. Dalam jurnal Belajar dari Sejarah Cirebon karya Tati Rohayati disebutkan, dari awal kemunculan wabah malaria di tahun 1805 hingga januari 1882 tercatat 3.900 orang di Cirebon yang meninggal. Di bulan Mei tahun 1882 jumlahnya meningkat menjadi 10.919 orang yang meninggal.

Wabah malaria juga menyebabkan keluarga Sultan Kasepuhan meninggal. Mengutip surat kabar De Locomotief edisi 15 September 1926, setidaknya 8 dari 9 anak sultan Kasepuhan meninggal dunia, bahkan Sultan Kanoman sendiri meninggal karena penyakit malaria.

Di kalangan rakyat jelata, penyakit malaria menyebabkan masyarakat hidup dalam kondisi yang menyedihkan. Jumlah korban terus bertambah, perkampungan yang tergenang air akibat hujan yang terus menerus, hingga pasien yang kesulitan untuk mendapatkan makanan yang layak.

Kala itu ada beberapa wilayah yang terkena malaria cukup parah seperti Prujakan, Pekiringan Pekalipan, Kanggraksan, Ciledug, Kapetakan, hingga Losari. Untuk gejalanya, demam selama 10 hari, disertai dengan pembekakan kelenjar dan sakit di tenggorokan.

Wabah Patek

Setelah penyakit malaria, tifus, Cirebon juga pernah dilanda wabah Patek atau penyakit frambusia. Penyakit kulit yang menyebabkan pengidapnya mengalami banyak ruam mirip buah beri, karena ditularkan melalui kontak langsung, menyebabkan frambusia mudah tersebar di Cirebon.

Mengutip surat kabar De Preanger Bode edisi 29 Mei 1922, ada sekitar 10.000 orang yang terjangkit penyakit Patek di Cirebon dan Banten. Untuk menanggulangi wabah Patek, pemerintah memberikan vaksin antibiotik neosalvarsan. Proses pemberian vaksin antibiotik bagi penduduk yang mengidap penyakit Patek banyak diabadikan dalam foto arsip terbuka Hindia Belanda di Southeast Asian & Caribbean Images (KITLV) Leiden University Libraries.

Salah satu foto yang berjudul 'Ibu dan anak yang terkena epidemi frambusia di sebuah desa di distrik Cirebon', terlihat seorang perempuan kulit wajah yang dipenuhi ruam mirip buah beri. Selain wajah, punggung anak itu mengalami ruam. Sedangkan satu anak perempuannya mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda, sambil memegang tangan sang ibu, di kulit tubuh anak tersebut terlihat luka ruam di bagian wajah, perut, tangan dan kaki sang anak.

Wabah Cacar

Wabah penyakit cacar mulai terdeteksi di Cirebon pada tahun 1897. Kala itu penyakit cacar mulai banyak menjangkiti penduduk di Palimanan, Kabupaten Cirebon. Beberapa tahun setelahnya, cacar terus menyebar sampai ke wilayah sekitar Cirebon, seperti Majalengka dan Kuningan, kebanyakan yang terkena cacar adalah orang-orang pribumi, pada tahun 1930, ada sekitar 1500 yang terkena cacar.

Salah satu penyebab menyebarnya cacar di Cirebon adalah karena adanya proses interaksi antara pribumi dengan pendatang, yakni orang Eropa. Pada saat itu, penduduk pribumi masih belum memiliki kekebalan tubuh seperti orang Eropa, hal ini menyebabkan pribumi menjadi yang paling banyak terkena cacar.

Selain itu juga, kondisi Cirebon yang kumuh dan tercemar limbah menjadi penyebab lain kenapa wabah cacar semakin mudah menyebar di Cirebon. Bahkan salah satu dokter Belanda bernama dr A. L Bergecker menyebut Cirebon sebagai kota yang tidak layak huni pada abad ke 20.

Wabah cacar mulai berkurang setelah pemerintah Hindia Belanda melakukan pembaruan tata kota seperti membangun drainase, rumah sakit, jalan, pengelolaan limbah dan membersihkan sungai di Cirebon.

Wabah Kolera

Wabah penyakit selanjutnya yang pernah melanda Cirebon adalah kolera. Dalam surat kabar koran Java Bode edisi 14 Juni 1865 menyebutkan, dalam waktu satu tahun wabah kolera sudah ribuan penduduk baik pribumi, Eropa dan Tionghoa.

Hingga beberapa tahun setelahnya, penyakit kolera terus meneror penduduk Cirebon khususnya di wilayah Rawaurip, Ketanggungan, Ciledug, Weru, Gamel, dan Cangkol, karena fasilitas kesehatan belum memadai, menyebabkan banyak pengidap kolera yang tidak tertangani meski sudah dibawa ke rumah sakit.

Di kalangan penduduk pribumi, penyakit kolera juga disebut dengan diare ganas, karena menyebabkan rasa sakit yang sangat serius di area perut. Tak hanya di darat, wabah kolera menyebar di kapal laut lewat Pelabuhan Cirebon.

Mengutip dari Jurnal Belajar dari Sejarah Wabah di Cirebon, karya Tati Rohayati, menyebutkan total masyarakat yang terkena wabah kolera di Cirebon mencapai 50.000 orang dengan rincian, 29.709 menderita demam tinggi dan 21.883 memiliki gejala muntah-muntah.

Wabah Pes

Pada abad ke 20, Pelabuhan Cirebon sangat ramai, ada banyak kapal besar datang ke Cirebon untuk berdagang dan mengirim barang. Namun, di balik ramainya pelabuhan Cirebon, tersimpan ancaman wabah penyakit pes yang datang dari kapal yang singgah di Cirebon. Diduga, pelabuhan menjadi pintu masuk penyakit pes di Jawa Barat.

Kedatangan penyakit pes di Cirebon menyebabkan ribuan orang yang terjangkit wabah pes. Mengutip surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 28 Januari 1935, pada tahun 1927 ada 1.147 orang yang meninggal karena wabah pes di Cirebon. Tak hanya dari kalangan pribumi, orang Eropa juga banyak yang meninggal karena wabah pes.

Untuk gejala penyakitnya, terjadi pembengkakan kelenjar yang besar di leher, di bawah ketiak dan juga selangkangan yang bernanah, jika tidak ditangani, gejala tersebut akan menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat. Dalam laporan dokter Belanda, yang muat dalam surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 3 Oktober 1938, penyakit pes disebabkan karena bakteri kutu yang ada pada tikus.

Wabah TBC

Pada masa Hindia Belanda, Cirebon juga pernah dilanda penyakit Tuberkulosis atau TBC. Mengutip surat kabar De Locomotif edisi 12 April 1938, yang memuat tentang laporan dokter Hindia Belanda kepada Stichting Centrale Vereeniging tot Bestrijding der Tuberculose (SCVT), sebuah lembaga swasta pada masa itu yang fokus menangani penyakit TBC.

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa penduduk Cirebon yang mengidap gangguan pernafasan meningkat drastis. Pada triwulan ketiga bulan Oktober tahun 1938, ada sekitar 800 orang yang mengalami gejala TBC, 580 orang pasien lanjut usia. Dan di bulan Desember jumlahnya bertambah 230 orang.

Ada beberapa penyebab kenapa TBC meningkat di Cirebon seperti pola hidup yang kurang sehat dan kekurangan gizi yang dialami penduduk Cirebon. Untuk mengatasinya, lembaga kesehatan Hindia Belanda membuat dapur umum di Cirebon sebagai asupan makanan bergizi untuk masyarakat, pemerintah juga membuat sanatorium tempat pengobatan TBC di Sindawangi, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, kini sanitarium tersebut sudah berkembang menjadi Rumah Sakit Paru Provinsi Jawa Barat.

Wabah Rabies

Wabah selanjutnya yang pernah melanda Cirebon adalah rabies. Meski belum diketahui berapa banyak korban meninggal yang disebabkan oleh penyakit rabies, namun, rabies sudah ditemukan di Palimanan, Cirebon sejak tahun 1894. Seperti yang ditulis dalam jurnal karya Budi Gustaman yang berjudul Kesejahteraan Anjing dalam Pemberantasan Wabah di Hindia Belanda.

Pada tahun 1939 -1940, rabies menyebar di beberapa daerah Cirebon seperti Cangkring, Kejaksan, Palimanan, Ciledug, Gebang, Arjawinangun, Gegesik dan Kapetakan.

Kala itu, ada beberapa gejala yang diidap oleh seseorang yang terkena rabies seperti rasa takut dan gelisah terhadap air, sakit kepala, sakit perut, kehilangan nafsu makan dan juga demam. Rabies ditularkan melalui cakaran atau gigitan hewan.

Wabah penyakit di Cirebon di masa Hindia BelandaWabah penyakit di Cirebon di masa Hindia Belanda Foto: Istimewa

Mengutip surat kabar de Locomotif edisi 24 Juli 1884, disebutkan mengenai ciri-ciri hewan yang terkena rabies, yakni selalu mengeluarkan air liur, kehilangan nafsu makan, dan tiba-tiba bersikap tidak wajar seperti melompat dan menggonggong pada objek yang tidak jelas.

Untuk mencegah penyebaran, pemerintah Hindia Belanda melakukan beberapa tindakan seperti memberangus atau memberikan cerobong pada kepala anjing agar menggigit, melarang ekspor hewan, mengisolasi atau membunuh anjing yang memiliki gejala rabies, hingga melarang anjing berkeliaran di tempat umum, jika ada yang melanggar pemerintah Hindia Belanda akan langsung menindaknya.

Wabah PMK

Tidak hanya wabah yang menyerang manusia, pada masa Hindia Belanda Cirebon juga pernah diserang wabah hewan, yakni Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang banyak menyerang hewan seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Mengutip surat kabar De Locomotif edisi 12 Februari 1895, PMK sudah menyebar di beberapa wilayah di Cirebon seperti Susukan, Gegesik Wetan, Tegal Gubug, dan Gebang, pada tahun 1930-an, wabah PMK juga menyebar di Arjawinangun, dan Sindanglaut.

Di Sindanglaut ada sekitar 400 hewan ternak yang terjangkit PMK, di Arjawinangun, 50 hewan ternak mati karena PMK. Banyaknya PMK di Cirebon bermula adanya kiriman 31 ekor sapi dari Jawa Tengah yang terjangkit PMK, selain itu juga kondisi kandang sempit dan kotor serta minimnya perhatian terhadap hewan ternak menyebabkan PMK lebih mudah menyebar di Cirebon.

Untuk mencegah penyebaran, pemerintah Hindia Belanda langsung menyembelih hewan yang memiliki gejala PMK, serta mengisolasi terlebih dahulu hewan ternak kiriman dari luar Cirebon. Sedangkan untuk pengobatannya, peternakan menggunakan obat tradisional seperti kreolin, salep minyak hati ikan, jeruk nipis, larutan belerang dan juga yodium.




(dir/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads