Sejak dulu, Cirebon dikenal sebagai daerah pelabuhan. Letaknya di sisi perairan membuat Cirebon memiliki banyak pelabuhan. Tak hanya Pelabuhan Muara Jati, sejak abad ke-14, Kota Udang juga memiliki pelabuhan yang dikenal sebagai Tanjung Emas.
Nama lain dari pelabuhan Tanjung Emas ini yaitu Pelabuhan Lemahwungkuk yang berada di Kota Cirebon. Pegiat sejarah Cirebon, Fahirin menuturkan pelabuhan di Lemahwungkuk Cirebon, sengaja dibangun oleh Sunan Gunung Jati, tak lama setelah menjadi raja.
"Pada tahun 1479, Sunan Gunung Jati diamanahi oleh uwanya, Pangeran Cakrabuana untuk memimpin Cirebon, tak lama kemudian beliau membuat terobosan dengan membangun pelabuhan baru di Lemahwungkuk," tutur Farihin belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Farihin memaparkan, pembangunan pelabuhan baru di Lemahwungkuk, bertujuan agar proses bongkar muat barang lebih dekat dengan keraton Pakungwati, yang sudah lebih dahulu dibangun.
"Mulut pelabuhannya adalah muara Kali Suba dan muara Kali Cipadu. Kali Suba ini kemudian, lebih dikenal oleh masyarakat Cirebon dengan sebutan Kali Kriyan atau Kesunean. Dibangun pula masjid Sang Cipta Rasa, pos pangkalan perahu dan pos penjagaan," tutur Farihin.
Hal ini menurut Farihin, senada dengan catatan Tome Pires, seorang pengembara Portugis yang pernah datang di Cirebon. "Kali Suba inilah yang dilewati oleh Tome Pires, dan memberi catatan bahwa kapal-kapal besar bisa masuk ke pelabuhan dan sungai di Cirebon," tutur Farihin.
![]() |
Seiring berkembangnya zaman, pada abad 17, tepatnya masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pelabuhan Cirebon menjadi pelabuhan yang semakin ramai. Bahkan, menurut Farihin, VOC sendiri menjuluki pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan Tanjung Emas.
"Penamaan tersebut bersamaan dengan penamaan Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dan Tanjung Perak di Surabaya. Penamaan ini dikarenakan, Cirebon dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah yang berkualitas unggul," tutur Farihin.
Lebih jelasnya, Farihin memaparkan, ada banyak komoditas yang dibongkar muat di pelabuhan, seperti beras, gula, minyak, asam, lada, daging, pisang, mangga dan berbagai macam barang lain.
"Dalam catatan, ada sekitar 50 kapal dari Cirebon membawa beras berangkat menuju Karawang. Ada juga kapal Cirebon berangkat menuju Melayu membawa muatan gula dan minyak, bahkan dalam catatan lain, kapal Cirebon membawa lada ke Sunda Kelapa dan Sumbar," tutur Farihin.
Menurut Farihin, dalam aturan Pemerintah Hindia Belanda ketika itu, pelabuhan Tanjung Emas Cirebon diwajibkan untuk mengeluarkan produk rempah dengan kualitas terbaik, termasuk kopi dan gula yang jadi komoditas nomor satu di Cirebon.
Namun, pasca kemerdekaan, tepatnya pada masa orde baru, gelar pelabuhan Tanjung Emas digeser ke Semarang.
"Pada era orde baru, dikembangkan dengan adanya pelabuhan II dan III 1985- 1987. Pihak Pelabuhan menamakannya Pelabuhan Muara Jati. Tiga tahun kemudian, nama Tanjung Emas diambil oleh Semarang," tutur Farihin.
Saksi Gugurnya Kapten Samadikun
Farihin menceritakan, pelabuhan tanjung Emas Cirebon juga menjadi saksi gugurnya Kapten Samadikun pada tahun 1949. Kala itu, Kapten Samadikun naik kapal KRI Gajah Mada. Pada saat pertempuran, kapal yang ditunggangi Kapten Samadikun, tenggelam ditembak meriam oleh kapal Belanda.
Selain di Lemahwungkuk dan Muara Jati, menurut Farihin, dahulu Cirebon juga memiliki pelabuhan lain, seperti pelabuhan Mundu Pesisir, Losari dan Gebang.
![]() |
"Pelabuhan Mundu Pesisir, mulut pelabuhanya ada di sungai Mundu, di sini juga dahulu ada mercusuar yang jaraknya dengan daratan pesisir sekitar 1.000 m. Sedangkan, pelabuhan Losari dan Gebang, muaranya ada di sungai Gebang dan ujung Losari," pungkas Farihin.
Pelabuhan Cirebon dalam laporan arsip Hindia Belanda
Pada masa itu, banyak arsip Hindia Belanda yang menyebutkan tentang geliat ekonomi di Pelabuhan Cirebon, seperti, dalam surat kabar Hindia Belanda Niews Rotterdamsche edisi 28 Juli 1858, yang menyebutkan, pelabuhan Cirebon menjadi salah satu pusat perdagangan ekspor dan impor di pulau Jawa.
"Bahwa pelabuhan-pelabuhan berikut terbuka untuk perdagangan umum, baik impor maupun ekspor. Di Pulau Jawa, pelabuhan-pelabuhan tersebut adalah, Anyer, Batam, Indramajoe, Cheribon, Tegal, Pekalongan, Blambang, Pasuruan, Probolinggo, Visit, Panaroekan, Banjoewangi , Panggul, Pacitan, Tjilatjap dan Wijnkoopsbaai( Pelabuhan Ratu)," tulis koran Nieuwe Rotterdamsche edisi 28 Juli 1858.
Pada tahun 1911, dalam laporan koran Het Vaderland edisi 11 Desember 1911 menyebutkan, selama empat tahun tingkat ekspor dan impor di pelabuhan Cirebon meningkat sampai 40 persen.
"Dalam empat tahun 1903/1906, penerimaan bea masuk dan ekspor meningkat hampir 40 persen, penerimaan tersebut berjumlah 438.022 gulden, yaitu empat belas kali lipat dari jumlah yang dipungut oleh kantor bea cukai di Tegal dan dua puluh kali lipat dari penerimaan di Pekalongan pada tahun 1906," tulis Het Vaderland edisi 11 Desember 1911.
![]() |
Melihat potensi ekspor-impor yang besar, dalam surat kabar yang sama, juga menyebutkan, bahwa pemerintah Hindia Belanda sampai berencana untuk memperluas area pelabuhan. Mereka menganggap, pelabuhan Cirebon akan menjadi pelabuhan utama di Hindia Belanda.
Dalam artikel yang sama juga disebutkan, berbeda dengan pelabuhan Tanjung Priok yang ada di Batavia. Menurut pemerintah Hindia Belanda, pelabuhan Cirebon memiliki daratan pedalaman yang luas. Kegiatan ekspor dan impor di Cirebon, didorong oleh banyaknya pabrik gula, dan sumber daya alam yang ada di sekitar pedalaman Cirebon.
"Pabrik-pabrik gula di daerah tersebut berkontribusi besar terhadap berkembangnya bisnis kota dan pelabuhan, terutama daerah pedalaman yang kaya yang memberikan kehidupan impor dan ekspor bagi Tjeribon dan masa depan, sebagai kota pelabuhan utama," tulis koran Het Vaderland edisi 11 Desember 1911.
Dalam foto yang membahas pelabuhan Cirebon di koleksi KITLV, terlihat ramainya aktivitas pelabuhan Cirebon, kapal dalam berbagai macam ukuran tampak berjejer di dermaga. Dibangun pula bangunan yang menjadi tempat penyimpanan logistik.
(dir/dir)