Pada masa Hindia Belanda, di Cirebon perayaan hari raya Idulfitri atau lebaran juga dirayakan dengan cukup meriah. Pada masa itu, masyarakat Cirebon merayakan lebaran dengan berbagai macam cara seperti bermaaf-maafan, mudik, membeli pakaian baru, pembagian uang tunjangan hari raya dan menyalakan kembang api.
Dalam surat kabar Soerabaja Handelsblad edisi 22 November 1907, lebaran dilaksanakan dengan meriah di Cirebon, dimulai dengan dentuman suara kembang api dan petasan di malam lebaran, esok harinya, jalanan Cirebon akan dipenuhi dengan hiburan, orang-orang banyak yang naik kereta dan jalan kaki menyusuri setiap hiburan yang ada di kota, mereka berpakaian rapi dengan jaket, baju, selendang dan sarung baru.
Setelah salat Id, penduduk Cirebon juga akan mengunjungi rumah saudara untuk bersilaturahmi dan meminta maaf. Di sana mereka disuguhi dengan aneka makanan dan minuman seperti teh harum dan kue-kue manis khas Belanda, segala prosesnya sangat teratur, tidak ada minuman keras, dan kegiatan lain yang berlebihan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Surat kabar Het Algemeen Handelsblad edisi 8 Desember 1937, juga mengabarkan tentang kemeriahan lebaran di Cirebon, sebelum lebaran, masyarakat Cirebon menyalakan kembang api dan petasan, rumah-rumah mereka di cat kembali, toko-toko Jepang yang menjual berbagai macam kebutuhan ramai didatangi pembeli, arus lalu lintas juga ramai karena banyak penduduk yang bepergian, bahkan saat libur lebaran, banyak penduduk yang menonton pementasan opera.
Meskipun pada tahun 1937 lebaran dilaksanakan dengan cukup meriah, namun, 2 tahun sebelumnya, lebaran di Cirebon sempat dilaksanakan dengan cukup sederhana, tidak ada keramaian, jalan-jalan lenggang, toko pakaian sepi, tidak ada kembang api, hal ini disebabkan banyak penduduk yang melakukan penghematan karena tidak punya uang, seperti dipaparkan dalam surat kabar Nederlandsch-IndieΜ edisi 9 Januari 1935.
"Lebaran kali ini tidak dirayakan dentuman kembang api yang berlebihan. Penghematan akibat kekurangan uang dirasakan baik di kota maupun di pedesaan. Hampir tidak ada tanda-tanda keramaian belanja di pasar menjelang akhir festival. Suasana di sepanjang jalan sedikit lebih ramai dari biasanya, namun masyarakat yang bergerak perlahan sebagian besar bukan pembelanja. Para pemilik toko mengeluh tentang penjualan yang buruk," tulis surat kabar Nederlandsch-IndieΜ edisi 9 Januari 1935.
Tabungan Lebaran
Pada tahun 1926 melalui rapat dewan kota, Pemerintah Hindia Belanda di Cirebon mengeluarkan peraturan tentang tabungan lebaran untuk para pegawai pemerintahan di Cirebon. Untuk sistemnya sendiri, pemerintah Hindia Belanda akan memotong gaji dari para pegawai untuk ditabung secara rutin setiap bulannya. Setelah satu tahun, tabungan akan dibayarkan satu minggu sebelum lebaran tiba.
Mengutip surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 8 Mei 1926, alasan diadakannya tabungan lebaran tersebut adalah para pegawai selalu meminta uang muka selama satu bulan saat menjelang lebaran kepada pemerintah, namun, pemerintah tidak memberikannya dengan alasan mereka akan menghabiskan uang tersebut dengan kebutuhan yang tidak berguna.
Karena butuh, tak jarang para pegawai berhutang kepada rentenir yang mengenakan bunga yang sangat tinggi. Untuk mencegah hal tersebut, melalui usulan dewan kota, pemerintah mengadakan tabungan lebaran. Tabungan lebaran tersebut bertujuan untuk mendorong para pegawai menabung dan sebagai tunjangan penghargaan untuk hari raya Idulfitri.
Namun, pada tahun 1933 setelah 7 tahun aturan tersebut ditetapkan, Wali Kota mengusulkan agar dewan kota untuk mencabut peraturan tabungan lebaran, menurutnya, selama 7 tahun aturan tersebut tidak dilaksanakan secara efektif karena kurangnya semangat menabung dari para pegawai kota, seperti yang ditulis dalam surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 3 Juli 1933 M.
"Wali Kota dan para tetua mengusulkan kepada dewan untuk mencabut peraturan tabungan Lebaran, yang diperkenalkan pada rapat dewan bulan Mei 1926, meskipun peraturan itu tidak pernah digunakan sama sekali selama 7 tahun karena kurangnya semangat menabung di kalangan pegawai kota," tulis surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 3 Juli 1933 M.
Lebaran Lebih Cepat
Salah satu yang sering membuat bingung penduduk Hindia Belanda adalah tentang penentuan awal Idulfitri atau lebaran, kala itu, alat komunikasi cepat seperti radio, televisi dan internet masih belum marak seperti sekarang.
Hal ini membuat banyak penduduk di Hindia Belanda merasa kebingungan, bahkan tak jarang lebaran tidak dilaksanakan secara serempak, namun berbeda di setiap daerahnya seperti yang dipaparkan dalam surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 24 Oktober 1941.
Mulanya, banyak penduduk Hindia Belanda yang memperkirakan bahwa lebaran akan terjadi pada hari Rabu dan Kamis tanggal 22 dan 23 Oktober 1941. Namun, delapan orang peneliti yang ditugaskan di Pangalengan, melihat penampakan hilal atau sinar bulan pertama pada hari Senin pukul 9 malam.
Mendengar informasi tersebut, Asisten Wedena Pangalengan langsung menghubungi Bupati Bandung untuk menyampaikan informasi tersebut. Setelah mendengar kabar, Bupati Bandung langsung mengadakan rapat bersama tokoh agama dan masyarakat Pengalengan yang melihat hilal untuk segera diambil sumpahnya oleh Bupati.
Setelah selesai, sekitar pukul 23.00 WIB malam, Bupati mengumumkan bahwa lebaran akan dilaksanakan esok hari tanggal 21 Oktober 1941. Pengumuman lebaran dilakukan bupati dengan cara mengeluarkan suara dentuman selama lima menit. Sontak saja, pengumuman lebaran yang mendadak ini langsung mengagetkan penduduk yang kala itu sudah tidur.
Pada hari Selasa dini hari, terjadi keributan akibat lebaran yang lebih cepat, di Bandung terjadi lonjakan penumpang yang tidak terduga di stasiun Bandung, padahal, stasiun baru siap menerima lonjakan penumpang sehari kemudian. Perusahaan juga kebingungan, karena banyak karyawan yang mendadak berhenti bekerja dan meminta libur lebih awal.
"Datangnya Lebaran yang tiba-tiba dan tak terduga ini menimbulkan kegaduhan besar, karena seluruh kalangan pejabat dan pengusaha telah bersiap untuk merayakan Lebaran pada hari Rabu, 22 Oktober, bukan satu hari lebih awal! Di kantor-kantor pemerintahan, pengaturan resmi ini tetap dipertahankan, tetapi di banyak perusahaan swasta, pegawai dan pekerja pribumi sudah meminta hari libur ini agar dapat menjalankan kewajiban agama mereka, atau sekadar tidak masuk kerja," tulis surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 24 Oktober 1941.
Dalam surat kabar tersebut juga dipaparkan, bahwa untuk menghindari perbedaan hari raya, dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah selalu menetapkan dua hari raya Idulfitri. Namun, di tahun 1941, lebaran yang harusnya terjadi di tanggal 22 dan 23 Oktober, namun, malah lebih dulu sehari, yakni di tanggal 21 Oktober.
Tidak semua wilayah merayakan lebaran di tanggal 21 Oktober, di Batavia dan Banten lebaran tetap dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober.
"Perbedaan waktu satu hari dalam perayaan Lebaran antara Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur lebih sering terjadi, sehingga selama beberapa tahun ini ditetapkan dua hari resmi untuk Lebaran, tahun ini pada tanggal 22 dan 23 Oktober. Namun kini, muncul fakta yang sangat aneh, bahwa sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, merayakan Lebaran pada tanggal 21 Oktober, sementara Batavia dan Banten, di mana bulan sabit pertama belum terlihat, merayakan lebaran tersebut sehari kemudian," tulis surat kabar Batavia Nieuwsblad edisi 24 Oktober 1941.
Untuk mencegah kebingungan, Penasehat Urusan Pribumi Hindia Belanda, Snouck Hurgronje pernah menulis dalam surat kabar Soerabaja Handelsblad edisi 17 Januari 1934,
mengatakan, bahwa menurut mazhab Syafi'i dan para ahli hukum Islam, tanggal hari raya keagamaan tidak boleh ditentukan dengan perhitungan, namun awal bulan harus ditentukan dengan mengamati bulan baru.
Menurut Snouck Hurgronje, pemerintah tidak boleh ikut campur dalam mengatasi masalah keagamaan khususnya dalam penentuan hari raya Idulfitri, meski hal tersebut menyebabkan kebingungan dalam melaksanakan kegiatan atau kebijakan.
"Sekarang, kekhasan kalender hari raya umat Islam ini mungkin menimbulkan keluhan dari pejabat pemerintah dan otoritas lainnya. Tak perlu dikatakan lagi, menurut prinsip kebijakan pemerintah yang berlaku di sini, seseorang tidak boleh ikut campur dalam masalah yang sifatnya murni keagamaan, meskipun ketidakpastian yang disebutkan di atas menyebabkan kebingungan dalam kegiatan pada satu hari dalam satu tahun," tulis surat kabar Soerabaja Handelsblad edisi 17 Januari 1934.
(dir/dir)