Sebanyak 12 advokat memberikan pendampingan hukum kepada Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Aziziyah dalam kasus meninggalnya Nurul Izzati. Santriwati asal Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu meninggal karena diduga dianiaya rekannya menggunakan balok dan sajadah.
Herman Sorenggana, Ketua Koordinator 12 Advokat Ponpes Al-Aziziyah, mengatakan pendampingan hukum diberikan selama proses pemeriksaan penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Mataram.
"Kenapa 12 advokat? Karena melihat ruang lingkup pemanggilan saksi dari pihak ponpes karena kasus ini dilakukan secara maraton," kata Herman saat konferensi pers di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa sore (9/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Herman, 12 advokat berperan memberikan pendampingan kepada seluruh saksi dari Ponpes Al-Aziziyah selama proses pemeriksaan di kepolisian.
"Tujuannya supaya pendampingan kami tidak ada kekosongan selama pemeriksaan. Jadi 12 orang ini siapa akan dipanggil, kemudian diberikan kewenangan untuk melakukan pendampingan kuasa kepada para saksi," katanya.
Herman menyontohkan dalam pemeriksaan tujuh santriwati rekan Nurul diberikan pendampingan oleh para advokat dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram.
"Dari 12 advokat ini, ada empat orang alumni (Ponpes) Al-Aziziyah, termasuk saya. Para advokat saya hubungi satu persatu untuk kembali ke pondok sebagai tim hukum," tegasnya.
Herman menegaskan Ponpes Al-Aziziyah sangat terbuka dengan proses hukum yang sedang berjalan di Polresta Mataram. Bahkan, ponpes telah melakukan koordinasi dan bekerja sama dengan LPA Kota Mataram dan Pekerja Sosial dari Sentra Paramita dalam proses pendampingan terhadap santriwati diperiksa penyidik Unit PPA Satreskrim Polresta Mataram.
"Kesepakatan kami dari pondok bersama LPA Mataram, khusus pendampingan saksi anak (santriwati) dalam proses hukum akan didampingi sepenuhnya oleh LPA Mataram," katanya.
Pemeriksaan terhadap saksi-saksi dugaan penganiayaan Nurul telah dilakukan pada Rabu (3/7/2024) dan Senin (8/7/2024). Penyidik PPA Satreskrim Polresta Mataram juga melakukan pemeriksaan tambahan pada Selasa (9/7/2024).
"Bahwa terkait dengan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak penyidik PPA Polres Mataram, kami atas nama tim hukum Al-Aziziyah mengapresiasi langkah penyidik untuk membuka seterang-terangnya penyebab meninggalnya santri kami ini," tegas Herman.
Namun, Herman belum bisa menyampaikan hasil pemeriksaan secara utuh kepada publik. Menurutnya, hasil pemeriksaan menjadi kewenangan penyidik Unit PPA Satreskrim Polresta Mataram.
"Kami sampaikan tidak pernah ada tradisi antarsantri melakukan tindakan bullying maupun tindakan kekerasan. Mengingat masing-masing asrama ada wali (mudabbir dan mudabbiroh) yang turun melakukan kontrol terhadap santri yang tinggal di asrama. Kami meyakini tidak ada kekerasan di dalam Pondok Pesantren. Dan kami berharap agar kasus ini cepat terungkap," tegasnya.
Yan Mangandar, Kuasa Hukum Nurul, menerangkan beberapa rekan Koalisi PPA NTB dari LBH APIK NTB, PBHM NTB, LBH Pelangi, dan LPA MATARAM bersedia memberikan bantuan hukum kepada para saksi dan anak yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
"Tidak mudah bagi psikologi anak yang pernah melihat atau melakukan kekerasan pasti ada tekanan mental yang akan berdampak panjang kalau tidak segera ditangani," kata Yan.
Sebelumnya, sebanyak tujuh santriwati kelas VII Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Aziziyah, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), diperiksa polisi buntut dugaan penganiayaan Nurul Izzati. Nurul merupakan santriwati asal Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang meninggal pada Sabtu (29/6/2024).
Tujuh santriwati yang diperiksa merupakan teman kelas dan kamar Nurul. Lima di antaranya dilakukan pemeriksaan mulai pukul 10.30 Wita hingga pukul 18.20 Wita di ruangan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Mataram.
(iws/dpw)