Jogja punya sederet kuliner tradisional yang punya ciri khas dan filosofi, salah satunya kembang waru. Panganan khas Kotagede ini konon menjadi salah satu makanan dari era Kerajaan Mataram Islam yang masih eksis hingga kini.
Kembang waru memiliki bentuk mirip dengan bunga pohon waru. Kue atau roti ini berwarna kecokelatan dengan rasa yang cenderung manis dan bertekstur lembut.
Salah satu produsen kembang waru yang masih eksis ada di Bumen KG III/452, Kotagede, Jogja. Pembuat kembang waru ini bernama Basiran Basis Hargito (79) dan istrinya Gidah.
Pasangan suami istri ini sudah memproduksi dan menjual kue kembang waru sejak 1983 silam. Sebelum berkecimpung di industri makanan, Basiran aktif menjadi seniman gamelan, tarian drama daerah, hingga melawak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya kedua-duanya aktif dalam melestarikan budaya. Itu tradisional termasuk kesenian yang autodidak. Kalau makanan kan juga tradisional. Sekarang banyak makanan dari pabrik yang banyak yang menggiurkan tapi rasanya gitu. Kalau namanya orang itu kan ada historinya. (Meskipun) Sama-sama pembuat roti kembang waru disuruh menceritakan sejarahnya, bagaimana maknanya, nggak tahu," jelas Pak Bas, sapaan karibnya, saat ditemui detikJogja, Kamis (24/8/2023).
Dia menyebut ada tiga bahan utama untuk membuat kembang waru yaitu gula pasir, telur ayam kampung, dan tepung gandum atau tepung ketan. Dulu, kata Pak Bas, mereka memproduksi kembang waru menggunakan tepung ketan.
"Bahan pokoknya gula pasir bisa, gula kelapa bisa, gula batu bisa. Terus yang kedua, telur ayam kampung. Yang ketiga, dulu belum ada gandum, pakai tepung ketan. Gandum kan produk luar negeri. Setelah kita bisa impor, baru bisa bergeser pakai tepung gandum," cerita Pak Bas.
Pak Bas menyebut kembang waru berjumlah delapan kelopak untuk mewakili sifat seorang pemimpin yang baik. Di antaranya mewakili unsur tanah, api, air, angin, matahari, bulan, bintang, dan langit. Delapan watak ini disebut hasta brata.
"Kelopaknya delapan itu filosofi Jawa, maknanya hasta brata. Hasta artinya delapan kalau dulu bahasa Sansekerta. Kalau bahasa Jawa ya wolu. Dunia itu isinya delapan pokok penting," ungkap Pak Bas.
Oven Tangkring Jadi Magnet Turis Asing
Dalam prosesnya, Pak Bas masih menerapkan cara pembuatan kue kembang waru dengan memanggang menggunakan oven tangkring atau arang. Proses produksi menggunakan tradisi orisinal ini tak jarang justru menarik minat para turis asing yang ingin melihat proses pembuatan kue ini.
"Setiap waktu saya kedatangan turis dari luar negeri, turis itu kalau disuguhi alat yang modern kan ora gumun (tidak heran), sana lebih canggih. Terus nanti prosesnya diceritakan oleh pemandunya. Seneng kabeh (senang semua)," jelas dia.
Selengkapnya di halaman berikut.
Selama ini, kue kembang waru buatannya dijual berdasarkan pesanan. Meski begitu, Pak Bas kadang membuat stok untuk melayani pembeli yang datang.
"Keuntungan saya itu saya nggak titip di warung-warung, di toko-toko. Saya cuma khusus melayani konsumen langsung. Pesanan konsumen langsung kalau sudah selesai saya juga stok. Bilamana nanti ada orang mendadak, jangan sampai kecewa biar bisa terlayani," jelasnya.
Di sisi lain, Pak Bas mengaku mempertahankan kualitas produksinya dibanding mengejar kuantitas. Dia juga mempertahankan rasa sehingga kualitasnya selalu terjaga.
"Pedomannya tadi, kualitas terjaga, harga terjangkau, pelayanan yang baik, tepat waktu. Itu saja. Yang penting saya sebagai pengusaha, cita-citanya tidak semuluk langit kok," terangnya.
detikers yang ingin mencicipi dan membeli kue kembang waru ini bisa langsung datang ke Gang Kenanga, Purbayan, Kecamatan Kotagede. Harganya Rp 2.500/biji dan bisa tahan hingga 5-7 hari.
Artikel ini ditulis oleh Galardialga Kustanto, Anandio Januar, dan Jihan Nisrina Khairani Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Bikin Aksi Saweran Koin Bela Hasto Kristiyanto
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi