Jogja dikenal sebagai destinasi wisata yang memiliki segudang kuliner khas mulai dari makanan berat seperti gudeg hingga jajanan tradisional seperti bakpia. Salah satu jajanan Jogja yang masih eksis sampai sekarang adalah kembang waru.
Kembang waru merupakan roti berbentuk bunga yang diproduksi dengan metode tradisional. Metode yang digunakan secara turun-temurun tersebut menjadikan kembang waru memiliki cita rasa yang khas.
Bagaimana sejarah terciptanya kembang waru yang diyakini sebagai warisan Kerajaan Mataram Islam? Berikut pembahasan lengkapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa Itu Kembang Waru?
Mengutip laman Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, kembang waru merupakan jajanan tradisional sejenis roti khas Kotagede, Jogja. Kembang waru berbentuk seperti bunga pohon waru yang berwarna kecoklatan dan bercita rasa manis.
Dalam catatan detikFood, kembang waru terbuat dari tepung terigu, telur ayam, gula, susu, vanili, dan mentega. Bahan-bahan tersebut dicampur menjadi adonan lalu dimasukkan ke dalam cetakan berbentuk bunga waru yang sudah dioles mentega. Adonan tersebut kemudian dipanggang di oven kuno yang masih menggunakan arang sebagai bahan bakarnya.
Sejarah Kembang Waru
Kembang waru dipercaya sebagai warisan Kerajaan Mataram Islam. Mengutip laman Dinas Kebudayaan DIY, tidak diketahui secara persis siapa penemu roti khas Kotagede tersebut. Namun, pada zaman Mataram Islam, kembang waru selalu menjadi hidangan favorit yang selalu ada dalam setiap hajatan ataupun acara adat.
Kembang waru dibuat oleh para sahabat keraton pada zaman dulu karena di Kotagede banyak terdapat pohon waru, selain itu bentuk bunga waru lebih mudah ditiru jika dibandingkan dengan bunga mawar atau bunga kenanga.
Awalnya, kembang waru hanya boleh dikonsumsi oleh para bangsawan dan keluarga kerajaan pada acara-acara tertentu di kerajaan. Tetapi seiring berkembangnya zaman, kue ini dapat dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat.
Makna Filosofis Kembang Waru
Kembang waru berbentuk bunga waru yang memiliki delapan sisi. Bentuk kembang tersebut memiliki makna delapan laku seorang pemimpin yang merupakan personifikasi dari delapan elemen unsur alam yakni tanah, air, angin, api, matahari, bulan, bintang dan langit.
Jika seorang pemimpin mampu menerapkan delapan laku tersebut, maka ia akan menjadi pemimpin yang berwibawa dan mampu mengayomi semua rakyatnya. Selain itu, terdapat pengharapan bagi siapapun yang memakan kembang waru dimana ia diharapkan akan selalu mengingat nasihat leluhur sehingga dapat menjalani kehidupan dengan penuh penghargaan.
Demikian ulasan mengenai sejarah kembang waru yang merupakan makanan warisan Kerajaan Mataram Islam. Semoga bermanfaat, Lur!
Artikel ini ditulis oleh Santo, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(rih/rih)