Tradisi siraman pusaka pada bulan Muharram atau Suro sesuai penanggalan Jawa kembali diselenggarakan di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Total ada 14 pusaka dari 12 kapanewon menjalani prosesi tersebut hari ini.
Prosesi ini dimulai dengan kirab pusaka yang dimulai dari Kompleks Bale Agung, Pemkab Kulon Progo. Peserta kirab yang dipimpin oleh rombongan bregada berjalan kaki menyusuri jalan aspal menuju Alun-alun Wates, lalu masuk ke kompleks rumah dinas bupati yang berada di sisi utara alun-alun.
Sampai di lokasi tersebut, peserta menyerahkan 14 pusaka berwujud tombak, songsong dan pare anom untuk selanjutnya dilakukan proses siraman. Proses siraman sendiri diawali dengan doa bersama, kemudian barulah masuk ke tahap pembersihan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun belasan pusaka itu dibasuh menggunakan kain dan kuas kecil yang sebelumnya telah dibasahi dengan air yang bersumber dari 12 mata air di seluruh kapanewon di Kulon Progo.
Sekretaris Daerah (Sekda) Kulon Progo, Triyono, mengatakan kegiatan bertajuk Siraman Agung ini merupakan agenda tahunan yang digelar setiap bulan Muharram. Tujuannya selain untuk membersihkan pusaka, kegiatan ini juga jadi ajang instrospeksi diri dan doa bersama untuk menyambut tahun-tahun berikutnya yang lebih baik.
"Tradisi ini dilakukan secara rutin setiap bulan Muharram, atau dalam penanggalan Jawa dikenal sebagai bulan Sura. Bulan yang dianggap sakral, sebagai momen untuk melakukan tapa, introspeksi, serta resik-resik atau membersihkan diri, baik secara lahir maupun batin," ujarnya saat memberikan sambutan dalam kegiatan tersebut, Rabu (23/7/2025).
![]() |
"Ini tidak hanya dimaknai sebagai membersihkan secara fisik, tetapi juga sebagai upaya merawat nilai-nilai luhur yang melekat pada pusaka-pusaka tersebut. Kita percaya bahwa pusaka bukan sekadar benda mati, melainkan simbol dari spiritualitas, kekuatan moral, dan pengingat akan sejarah perjalanan daerah kita," imbuhnya.
Triyono mengatakan ada dua pusaka utama yang turut disucikan dalam kegiatan ini. Yaitu Pusaka Kanjeng Kyai Bantar Angin dan Kanjeng Kyai Amiluhur. Keduanya dianggap istimewa karena berasal dari pemberian Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman.
"Kedua pusaka ini bukan sekadar benda pusaka, tetapi merupakan simbol legitimasi, kehormatan, dan hubungan historis antara Kabupaten Kulon Progo dengan dua pusat budaya besar di DIY, yaitu Keraton dan Pakualaman," terangnya.
Kepala Kundha Kabudayan (Dinas Kebudayaan) Kulon Progo, Eka Pranyata, menambahkan dua pusaka pemberian Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman punya nilai sejarah yang tinggi bagi Kulon Progo. Karena itu merupakan simbol bersatunya Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman hingga akhirnya lahirlah Kulon Progo.
"Ini pusaka yang kami anggap secara historis punya nilai lebih. Karena berkaitan dengan bersatunya Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan hingga menjadi Kulon Progo. Dua pusaka ini diberikan saat hari jadi Kulon Progo tahun 2003 lalu," jelasnya.
"Untuk totalnya ada 14 dengan rincian 12 pusaka dari masing-masing kapanewon, dan 2 pusaka dari Pemkab Kulon Progo. 2 pusaka ini pemberian dari Kasultanan dan Pakualaman," pungkas Eka.
(apu/dil)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Bikin Aksi Saweran Koin Bela Hasto Kristiyanto
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi