Gen Z Disebut Mudah Depresi-Pilih Bunuh Diri, Ini Analisis Pakar Unisa

Gen Z Disebut Mudah Depresi-Pilih Bunuh Diri, Ini Analisis Pakar Unisa

Dwi Agus - detikJogja
Rabu, 20 Nov 2024 15:06 WIB
Ilustrasi Wanita Stres
Ilustrasi gen z depresi. (Foto: Shutterstock)
Jogja -

Fenomena maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa menjadi sorotan publik. Mahasiswa yang notabene merupakan generasi Z (Gen Z) disebut rentan depresi dan memilih mengakhiri hidupnya.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta Joko Murdiyanto melihat beberapa pemicu gen Z mudah depresi. Salah satunya, keinginan berhasil dalam waktu singkat, namun tak bisa menerima kegagalan.

"Generasi Z beda dengan generasi sebelumnya. Mohon maaf, cepat ingin berhasil tanpa usaha keras, dia akan sangat mudah beradaptasi dengan teknologi tapi juga mudah depresi," jelas Joko saat ditemui di Kampus Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Gamping, Sleman, Rabu (20/11/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Joko yang juga Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DIY itu menyebut emosi yang tidak terkelola dengan baik bisa memunculkan rasa rendah diri. Di sisi lain, gen Z juga rentan mudah menyerah karena sebuah kegagalan atau kurang tahan banting.

"Depresi itu aslinya di mana-mana dan bisa terjadi pada siapa saja. Tapi bagaimana kelola stres dengan baik," ujar Joko.

ADVERTISEMENT

Di sisi lain dia menyoroti pola asuh yang kurang ideal dari lingkungan, khususnya orang tua. Menurutnya, kondisi stres jika ditangani dengan tepat bisa mengurangi permasalahan tersebut.

"Karena putus asa dan kurang tahan banting ini. Peran semua pihak, terutama keluarga agar menjadi kuat. Ini awalnya dari keluarga jika tingkat ketahanan khususnya untuk sisi mental spiritualnya," ujarnya.

Dalam kondisi puncak, depresi bisa berakibat pada tindakan nekat. Joko mencontohkan maraknya aksi mengakhiri hidup belakangan ini.

Dalam kasus ini, Joko mendorong agar setiap personal meningkatkan kapasitas diri, sehingga ketika menghadapi sebuah ancaman maka bisa teratasi. Tidak serta merta menyerah karena terhimpit permasalahan kehidupan sehari-hari.

"Risiko itu rumusnya ancaman kali kerentanan dibagi kapasitas. Artinya risiko semakin tinggi maka semakin rentan, maka agar risiko kecil maka kapasitas dibesarkan agar menjadi orang yang tangguh, pejuang kuat mental dan spiritual," katanya.

Saran buat Gen Z yang Mudah Kesepian

Di lokasi yang sama, Wakil Rektor IV Unisa Yogyakarta Mohammad Ali Imron menambahkan Gen Z terjebak dalam kesepian. Teori ini berdasarkan dinamika kehidupan masa kini, di mana gen Z lebih kerap menatap layar gadget daripada bersosialisasi secara langsung.

Ali menilai tingkat paparan layar Gen Z di Indonesia tidak ideal, dalam satu kali tatap bisa terpapar hingga 150 menit. Dia lalu membandingkan di Jepang dan Singapura yang hanya mencapai 30 menit.

"Ini menyebabkan banyak sekali yang merasa anxiety. Salah satu solusinya perbanyak aktivitas fisik yang mengurangi stres. Tingkatkan kegiatan fisik yang meningkatkan ketahanan fisik dan mental yang prima," ujar Ali.

Dia lalu menyinggung data World Health Organization (WHO), jika sebanyak 5 hingga 9 persen generasi muda mengalami mental illness atau kesehatan mental. Mulai dari stres, depresi hingga gangguan mental berat.

Wakil Rektor IV Unisa Yogyakarta Mohammad Ali Imron saat ditemui di Kampus UNISA Yogyakarta, Rabu (20/11/2024).Wakil Rektor IV Unisa Yogyakarta Mohammad Ali Imron saat ditemui di Kampus UNISA Yogyakarta, Rabu (20/11/2024). Foto: Dwi Agus/detikJogja

Dia juga menyoroti pertemanan di media sosial yang bukan menjadi jaminan di kehidupan nyata. Misalnya angka pertemanan di media sosial cukup tinggi, namun di dunia nyata cenderung pendiam, murung, dan tak bisa mengungkapkan permasalahan secara langsung.

"Media sosial itu membuat orang merasa sendiri atau loneliness tinggi. Teman dunia maya banyak tapi tidak real. Ini adalah loneliness jadi problem dalam mental health," ujarnya.

Ali menuturkan solusi atas permasalahan ini adalah mau membuka diri. Dia berharap gen Z juga bisa berinteraksi dan bersosialisasi di dunia nyata.

Solusi ini, lanjutnya, juga dapat mencegah seseorang mengambil jalan pintas. Adanya komunikasi dan interaksi bisa membuat sosok penyintas tidak berpikir sendiri maupun merasa sendirian.

"Jadi tidak setiap depresi itu larinya mengakhiri hidup. Bisa dicegah selama pintunya terbuka dan bagaimana lingkungan membuat bertahan. Perlu ada kelompok atau teman yang bisa dijadikan tempat mencurahkan hati," tutur Ali.

Ali pun mendorong adanya peran aktif para pengajar. Salah satunya dengan menerapkan pola pikir Ki Hadjar Dewantara, yakni Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani.

Dalam konteks kekinian, pengajar memposisikan diri sebagai Ing Madya Mangun Karsa, yakni melakukan pendekatan sebagai teman pendengar dan bicara. Tak hanya memposisikan dirinya lebih tinggi sebagai guru.

"Sering dosen atau guru ini kan kita orangtua membawa value lama yang dianggap ideal padahal bagi anak sekarang ini sudah asing. Idealnya dinamis dengan menerapkan ajaran Ki Hadjar Dewantara yang Ing Madya Mangun Karsa. Bukan di atas atau bawah tapi membersamai," pungkas dia.




(ams/apl)

Hide Ads