Serunya Tradisi Gumbregan di Tanjung Gunungkidul, Pantun Dibalas 'Surakyun'

Serunya Tradisi Gumbregan di Tanjung Gunungkidul, Pantun Dibalas 'Surakyun'

Muhammad Iqbal Al Fardi - detikJogja
Rabu, 21 Agu 2024 10:50 WIB
Suasana tradisi Gumbregan yang terjadi tiap Rabu Wage Wuku Gumbreg di Tanjung, Playen, Gunungkidul, Selasa (20/8/2024).
Suasana tradisi Gumbregan yang terjadi tiap Rabu Wage Wuku Gumbreg di Tanjung, Playen, Gunungkidul, Selasa (20/8/2024). Foto: Muhammad Iqbal Al Fardi/detikJogja
Gunungkidul -

Warga Padukuhan Tanjung, Kalurahan Bleberan, Playen, Gunungkidul, merayakan tradisi Gumbregan sebagai wujud syukur atas ternak mereka. Menariknya, anak-anak kampung mendatangi rumah warga pemilik ternak sambil bersahutan pantun.

Pantauan detikJogja di Padukuhan Tanjung pada Selasa (20/8/2024) sekitar pukul 17.30, tampak setidaknya belasan anak berusia setara siswa SD membawa baskom masing-masing. Baskom tersebut dibungkus di dalam kresek.

Terdengar tawa renyah anak-anak kampung kala berkumpul di rumah warga bernama Sukiman (60). Mereka tampak menunggu tuan rumah di emperan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak lama berselang, Sukiman membuka pintunya. Di tangannya tampak setampah nasi dengan beberapa sayuran. Saat itu juga terbit senyum di wajah bocah-bocah yang tengah menunggu itu.

Anak-anak kampung itu duduk rapi melingkar di emperan rumah Sukiman. Si empunya rumah meletakkan tampah tersebut.

ADVERTISEMENT

Sukiman bersila dan menyapa kedatangan bocah-bocah itu. Selanjutnya, Sukiman merapalkan sebaris doa. Para bocah menengadah khusyuk mengamini doa Sukiman.

Usai doa dirapalkan hening sejenak mengisi rumah itu. Para bocah itu seakan menunggu sesuatu dari Sukiman.

"Arep tembang opo ora (Mau pantun atau tidak) ?" kata Sukiman memecah keheningan petang itu.

Anak-anak pun kompak menyambutnya dengan anggukan. Sukiman pun membacakan sebait pantun berisikan dua larik dalam bahasa Jawa.

"Kembang Suru, Sekar gawene nesu (Bunga Suru, Sekar kerjaannya bikin marah)," demikian sepenggal parikan, atau pantun berbahasa Jawa yang dilantunkan Sukiman.

Setiap larik itu disambut kompak oleh anak-anak tersebut. Mereka serentak mengatakan 'Surakyun' dengan nyaring bernada gembira.

Pada setiap larik itu pula anak-anak itu tertawa. Begitu pula dengan Sukiman.

Setelah parikan dibacakan, anak-anak itu menunggu giliran untuk mendapatkan satu ciduk nasi maupun sayur milik Sukiman. Nasi atau sayur itu diletakkan di masing-masing baskom yang dibawa para bocah.

Baskom para bocah pun sudah berisi nasi dan sayur. Selanjutnya mereka secara rombongan mendatangi rumah warga lainnya yang memiliki ternak.

Ritual di rumah Sukiman juga dilakukan di rumah warga lainnya. Saat pantun dibacakan, anak-anak tersebut menyambutnya dengan kata "Surakyun" dengan kompak.

Tidak hanya itu, jatah nasi dan sayur setiap anak pun bertambah setelah mengunjungi rumah warga. Setidaknya, anak-anak tersebut sudah mengunjungi lima rumah warga.

detikJogja mengikuti perjalanan para bocah kampung Tanjung itu hingga ke rumah Edi Padmo. Pria berusia kepala empat itu terlihat mengenakan jarik Jawa. Dia terlihat sudah bersiap menyambut kedatangan bocah-bocah tersebut.

Senyumnya mengembang saat rombongan bocah semakin dekat. Setampah nasi lengkap dengan sayur dan kupat sudah tersedia di sebuah meja dakan rumah Padmo.

Tak menunggu lama, para bocah langsung duduk di teras rumah Padmo. Padmo yang juga pendiri komunitas konservasi Resan Gunungkidul itu duduk di sebuah kursi di depan anak-anak.

Seperti tahu apa yang bakal terjadi, anak-anak itu langsung mengangkat tangan mereka untuk menyambut doa yang bakal dibacakan Padmo. Tuan rumah pun langsung merapal doa.

Seperti halnya Sukiman, Padmo juga menanyakan apakah anak-anak tersebut meminta pantun. Anak-anak itu pun langsung mengiyakan tawaran Padmo.

Sembari melempar senyum, Padmo membacakan selarik pantun dalam bahasa Jawa. "Kembang kantil, bocah e bedidil (Bunga kantil, anaknya pelit)," ujar Padmo kepada anak-anak itu.

Spontan para bocah menyambutnya dengan satu kata, 'surakyun'. Tawa pun pecah. Bocah-bocah itu melanjutkan kunjungan mereka ke rumah warga lainnya.

Suasana tradisi Gumbregan yang terjadi tiap Rabu Wage Wuku Gumbreg di Tanjung, Playen, Gunungkidul, Selasa (20/8/2024).Suasana tradisi Gumbregan yang terjadi tiap Rabu Wage Wuku Gumbreg di Tanjung, Playen, Gunungkidul, Selasa (20/8/2024). Foto: Muhammad Iqbal Al Fardi/detikJogja

Makna Tradisi Gumbregan

Padmo menjelaskan tradisi Gumbregan di kampungnya sudah ada sejak lama. Tradisi yang dilakukan setiap delapan bulan sekali yang jatuh pada Wuku Gumbreg itu selalu diramaikan oleh anak-anak kampung dengan berkeliling ke rumah warga yang memiliki ternak.

"Gumbregan di sini anak-anak selalu keliling Padukuhan. Mereka mendatangi rumah warga yang memiliki ternak yang mau merayakan Gumbregan," kata Padmo saat ditemui di rumahnya, Selasa (20/8/2024).

Pria yang akrab disapa Mbah Padmo ini menuturkan tradisi Gumbregan dilakukan sebagai ungkapan syukur atas ternak warga. Selain itu, pada tradisi tersebut warga memohon keselamatan bagi ternak dan si empunya.

"Gumbregan itu ungkapan syukur atas ternak kita. Selain itu juga sebagai doa untuk ternak juga yang punya," jelas Padmo.

Warga yang melaksanakan tradisi tersebut memberikan hasil bumi. Adapun yang diberikan tidak ditentukan macamnya.

"Yang diberikan tidak menyesuaikan dengan ternaknya. Apa saja bisa, biasanya hasil bumi," sebut Padmo.

Alasan mengapa anak-anak mendatangi rumah warga yang memiliki ternak, lanjutnya, ialah untuk meramaikan saja. Tradisi tersebut sudah ada sejak lama.

"Dari dulu yang berpartisipasi anak-anak. Mereka kan simbol kegembiraan," ucapnya.

Padmo mengaku berdoa untuk keselamatannya dan ternaknya saat merayakan tradisi Gumbregan. Dia juga mengucapkan rasa syukur atas ternaknya. Adapun hewan ternaknya yakni kambing, ayam, dan bebek.

Sementara itu, Sukiman mengatakan tradisi Gumbregan dilakukan setiap tahun di Tanjung. Dia mengatakan tradisi itu dilakukan pada Rabu Wage Wuku Gumbreg.

"Setiap tahun dilakukan. Rabu Wage pas Gumbreg," kata Sukiman saat ditemui di rumahnya.

Senada dengan Padmo, Sukiman mengatakan tujuan dari dilakukan Gumbregan yakni sebagai bentuk rasa syukur atas ternaknya. Selain itu, dia berdoa untuk keselamatannya dan ternaknya.

"Untuk keselamatan utamanya," katanya.

Adanya anak-anak dalam tradisi Gumbregan, Sukiman juga sependapat dengan Padmo yakni untuk meramaikan. Sukiman mengungkapkan dirinya memiliki ternak berupa kambing, sapi, dan ayam.

"(Anak-anak dalam tradisi Gumbregan) Untuk ramai-ramai," ungkapnya.

Kenapa saat Gumbregan ada parikan dibalas 'Surakyun'? Simak jawabannya di halaman berikut

Pantun dan Surakyun

Sukiman mengatakan pantun biasa dibacakan saat tradisi Gumbregan. Dia mengatakan pantun yang dibacakan pun bebas, tergantung warga masing-masing.

"Bebas kalau pantunnya, sebisanya," ungkapnya.

Suasana tradisi Gumbregan yang terjadi tiap Rabu Wage Wuku Gumbreg di Tanjung, Playen, Gunungkidul, Selasa (20/8/2024).Suasana tradisi Gumbregan yang terjadi tiap Rabu Wage Wuku Gumbreg di Tanjung, Playen, Gunungkidul, Selasa (20/8/2024). Foto: Muhammad Iqbal Al Fardi/detikJogja

Dia mengungkapkan surakyun tidak memiliki arti. Menurutnya, kata surakyun diucapkan menimpali pembacaan pantun untuk meramaikan saja. Pantun dibacakan agar anak-anak gembira

"Surakyun itu untuk meramaikan saja. Baca pantun biar anak-anak gembira," jelasnya.

Padmo pun mengatakan pantun dibacakan untuk meramaikan tradisi Gumbregan. Tradisi berpantun saat Gumbregan memang berlangsung sejak dulu.

"Fungsinya pantun di sini untuk ramai-ramai saja," katanya.

Dia juga mengatakan hal yang sama dengan Sukiman soal kata Surakyun. Padmo menjelaskan Surakyun diucapkan untuk meramaikan saja sekaligus ungkapan kegembiraan.

"Surakyun tidak bisa dijelaskan. Hanya luapan kegembiraan," tuturnya.

Halaman 2 dari 2
(apu/ams)

Hide Ads