Pantun Basiang Padi merupakan salah satu tradisi lisan khas Minangkabau yang masih lestari di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Tradisi ini merupakan bentuk ekspresi budaya yang diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Minangkabau, terutama di lingkungan petani. Dalam praktiknya, Pantun Basiang Padi berperan sebagai media komunikasi yang menyampaikan pesan moral, nasihat, serta hiburan saat bekerja di sawah.
Sejarah dan Makna Pantun Basiang Padi
Dikutip dari laman Balai Bahasa Sumatera Barat, Pantun Basiang Padi telah ada sejak zaman dahulu dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan agraris masyarakat Minangkabau. Tradisi ini biasanya dilakukan oleh petani saat menanam atau memanen padi sebagai sarana untuk menghilangkan rasa lelah sekaligus mempererat hubungan sosial.
Pantun dalam Basiang Padi mengandung berbagai makna, seperti sindiran, ungkapan perasaan, hingga cerita tentang peruntungan. Bahkan, orang yang kebetulan melewati sawah pun bisa menjadi bagian dari pantun yang dilantunkan. Tradisi ini disepakati untuk dimulai ketika para ibu telah sampai di sawah. Sebelum memasuki area persawahan, saat masih berada di pematang, pantun sudah mulai dikumandangkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sambil berpantun, mereka masuk ke sawah dan mulai menyiangi padi. Aktivitas ini berlangsung hingga tiba waktu makan siang dan shalat Zuhur. Setelah makan dan beribadah, mereka kembali ke sawah sambil terus melantunkan pantun, kemudian melanjutkan pekerjaan menyiangi padi hingga pukul 17.00 WIB. Pada saat itulah, pantun pun berakhir seiring dengan selesainya pekerjaan dan mereka pulang ke rumah masing-masing.
Ciri Khas Pantun Basiang Padi
Pantun Basiang Padi memiliki pola khas dalam penyampaiannya. Seperti pantun pada umumnya, tradisi ini menggunakan rima a-b-a-b dan disampaikan dengan nada yang khas atau berisi ungkapan yang berkaitan dengan kehidupan. Selain itu, penggunaan bahasa yang puitis dan kiasan menjadikan pantun ini kaya akan nilai estetika. Setiap baris pantun mencerminkan filosofi hidup masyarakat Minangkabau, yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi. Dikutip dari buku Pementaan Sastra Lisan Minangkabau karya Adriyetti Amir dkk., berikut contoh Pantun Basiang Padi:
Patamo, badubuok (duduk)
Mali-mali sikaduduok
umbuah di baruah diak pisang udang, denai
mari-mari adiak duduok
ambo mabao pasan urang
suda la nyo lei denai
mandi salawek indak basah
suruek barombun diak hateh guguak
denai kamari diak saocah
rundiang sapatah diak bao duduok
suda la nyo lei denai
Pelestarian Pantun Basiang Padi di Era Modern
Meskipun zaman terus berkembang, upaya pelestarian Pantun Basiang Padi terus dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk komunitas budaya dan pemerintah daerah. Salah satunya melalui media sosial Balai Bahasa Sumatera Barat.
Kemudian terdapat beberapa kegiatan seperti festival budaya dan lokakarya sering diadakan untuk memperkenalkan kembali tradisi ini kepada generasi muda. Selain itu, dokumentasi dalam bentuk buku dan digital juga turut berperan dalam menjaga eksistensi Pantun Basiang Padi agar tidak punah ditelan zaman.
(nkm/nkm)