Kompleks makam Ki Ageng Wonolelo yang terletak di Dusun Pondok Wonolelo, Widodomartani, Ngemplak, Sleman tampak dipadati warga. Mereka sudah berada di sana sejak siang hari untuk melihat puncak tradisi Saparan Ki Ageng Wonolelo sekaligus memperebutkan kue apem.
Pantauan detikJogja, masyarakat sudah berkumpul di sebuah tanah lapang di depan kompleks makam sejak pukul 13.45 WIB. Di tanah lapang itu ada satu menara berwarna dominan hijau. Di keempat sisi menara terdapat banner bertulis 'Panggung Apem Ki Ageng Wonolelo'.
Tua muda, pria wanita, semua duduk di sekitar menara itu dan menanti acara puncak. Mereka juga berharap bisa mendapatkan dan membawa pulang kue apem yang nanti dibagikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baru sekitar pukul 16.30 WIB, prosesi penyebaran apem dilakukan dari atas menara. Ada juga warga yang memperebutkan dua gunungan apem yang dibawa saat kirab.
Menurut Ketua Trah Ki Ageng Wonolelo, Kawit Sudiyono, saparan ini sudah memasuki tahun ke-57. Dia menambahkan upacara adat dilaksanakan untuk memperingati, menghormati, mendoakan, serta sebagai wujud darma bakti anak cucu kepada pepunden.
"Kenapa apem? Apem sendiri berasal dari bahasa Arab yang berlafal affum yang memiliki arti permintaan maaf. Maknanya kita harus bisa memaafkan kesalahan orang lain, meskipun orang tersebut tidak minta maaf," kata Kawit saat ditemui wartawan, Jumat (16/8/2024).
Kawit menyampaikan baik apem gunungan dan apem yang disebarkan telah dibungkus plastik satu per satu. Total sebanyak hampir dua ton apem yang disebar merupakan buatan warga ditambah kiriman apem di luar trah.
![]() |
"Kalau tahun ini yang dibuat itu terakhir ditimbang mencapai dua ton. Itu bikinan warga dan ada juga dari luar trah," ujarnya.
Sosok Ki Ageng Wonolelo
Lalu siapa sebenarnya Ki Ageng Wonolelo? Kawit menjelaskan, Ki Ageng Wonolelo atau Syekh Jumadigeno merupakan anak dari Syekh Khaki atau yang dikenal sebagai Jumadil Qubro. Dia merupakan cucu dari Pangeran Blancak Ngilo, dan cicit dari Prabu Brawijaya V.
"Syekh Jumadigeno memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Wasibageno dan Panembahan Bodo," jelasnya.
Setelah memiliki ilmu yang cukup, Ki Ageng Wonolelo ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam hingga mendirikan pondok Wonolelo.
Dijelaskannya, Ki Ageng Wonolelo kemudian banyak mewariskan berbagai peninggalan berupa tapak tilas, pusaka, serta benda keramat lainnya.
Adapun peninggalan tapak tilas yang tercatat meliputi Rumah Tiban, Surau, Gumuk Lengki, Gua Landak, serta Makam Ki Ageng Wonolelo sendiri. Dengan nama besar tersebut, warga Wonolelo selalu memperingati dan mengenangnya lewat upacara adat saparan dan kirab pusaka.
"Ini sudah berlangsung ke-57. Tujuan kita mengenang perjalanan Ki Ageng Wonolelo sekaligus mendoakan," ujarnya.
Adapun rangkaian upacara adat tersebut diawali dengan pengajian akbar dan dilanjutkan dengan kegiatan pengajian di pendopo makam Ki Ageng Wonolelo selama saparan.
Sedangkan puncak acara diisi dengan kirab pusaka Ki Ageng Wonolelo. Kirab tersebut diikuti oleh bregodo-bregodo meliputi sesepuh trah, sesepuh dusun, putro wayah, santri, alim ulama, prajurit, putri domas, serta berbagai kelompok kesenian.
Adapun benda-benda pusaka yang dikirab meliputi kitab suci Al-Quran peninggalan Ki Ageng Wonolelo, bandil, baju ontrokusumo, kopyah, potongan kayu jati mustoko masjid, teken (tongkat kayu). Termasuk gunungan apem.
"Nanti juga gunungan apem ada dua, nanti didoakan. Yang ini (gununang jadi rebutan), yang di sana disebar," ujarnya.
Ada beberapa orang yang meyakini bahwa apem tersebut bisa digunakan sebagai tolak bala dan memiliki berkah lainnya. Namun, tak sedikit pula yang hanya sekadar ingin melestarikan kekayaan budaya.
Seperti Ngadino yang pada perebutan apem kali ini membawa pulang satu apem.
"Ya, saya percaya bisa mendatangkan kesehatan," ucap pria berusia 60 tahun dari Prambanan itu.
Namun, di luar itu semua, setiap peringatan saparan, berjubel warga selalu datang untuk berebut apem. Mereka rela berdesakan dan berlomba dengan pengunjung lainnya demi memperoleh apem yang dikemas menggunakan plastik yang dibentuk menyerupai gunungan.
(apu/rih)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan