Sejarah Malam 1 Suro Lengkap dengan Tradisi dan Larangannya

Sejarah Malam 1 Suro Lengkap dengan Tradisi dan Larangannya

Nur Umar Akashi - detikJogja
Minggu, 07 Jul 2024 11:43 WIB
ritual
ilustrasi tradisi Mubeng Beteng pada malam 1 Suro. Foto: (Masaul/detikTravel)
Jogja -

Hingga kini, kepercayaan mengenai malam satu Suro masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Jawa. Sama seperti tradisi lainnya, malam 1 Suro juga memiliki sejarah yang menarik untuk ditelisik lebih dalam. Lalu, seperti apa sejarah malam 1 Suro?

Berdasarkan Kalender Hijriah Indonesia Tahun 2024 yang diterbitkan Kementerian Agama (Kemenag) RI, 1 Suro 1958 Za' akan jatuh pada Senin, 8 Juli 2024.

Sebagai informasi, waktu pergantian hari kalender Jawa sama dengan Hijriah, yakni saat matahari terbenam atau maghrib, disadur dari buku Astronomi Islam oleh Arwin Juli dkk. Artinya, malam 1 Suro akan terjadi pada Minggu, 7 Juli 2024 usai matahari terbenam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada waktu tersebut, terdapat sejumlah mitos larangan yang dihindari oleh masyarakat Jawa. Orang Jawa percaya, bila larangan-larangan tersebut dilanggar, kesialan atau dampak buruk akan datang menimpa.

Selain larangan, pada malam 1 Suro akan diselenggarakan berbagai macam tradisi. Antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki tradisi yang berbeda-beda sesuai dengan yang diajarkan leluhur masing-masing.

ADVERTISEMENT

Ingin tahu lebih lanjut tentang malam satu Suro? Di bawah ini detikJogja siapkan pembahasan lengkap, mulai dari sejarah 1 Suro hingga larangan-larangannya.

Sejarah Malam 1 Suro

Berbicara tentang sejarah malam 1 Suro tidak lepas dari nama seorang Raja Mataram Islam yang terkenal, yaitu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sebab, beberapa sumber menyebut bahwa dialah orang yang berjasa mengubah kalender Jawa dengan tahun Saka menjadi kalender Jawa Islam.

Dirujuk dari buku Kitab Terlengkap Sejarah Mataram oleh Soedjipto Abimanyu, semasa memerintah, Sultan Agung banyak membawa perkembangan untuk Mataram Islam. Sebut saja melakukan ekspansi wilayah, menyatukan kerajaan-kerajaan, menjadikan Mataram agraris, dan mengembangkan kesusastraan Jawa.

Salah satu dari sekian banyak pengembangan yang dilakukan Sultan Agung adalah menghasilkan Tarikh Jawa atau kalender Jawa. Ini merupakan sebuah pencapaian gemilang sang sultan ditinjau dari segi sosial budaya.

Sebelum 1633 Masehi, Mataram Islam masih memakai hitungan Hindu yang didasarkan peredaran matahari. Namun, sejak masa pemerintahan Sultan Agung, kalender Jawa yang memakai tahun Saka tersebut diganti dengan pemaduan penanggalan Jawa dengan Hijriah.

Berdasar uraian dalam buku Eksistensi Dunia Roh oleh Sudiyono dan Ruth Purweni, pergantian kalender ini dimulai pada Jumat Legi, 1 Suro tahun Alip 1555. Tanggal tersebut bertepatan dengan 1 Muharram 1042 H atau 8 Juli 1633 M. Sejak saat itu, kalender Jawa Islam resmi dipakai.

Meskipun telah melakukan perubahan kalender, oleh Sultan Agung, pemakaian angka tahun Saka tersebut tetap dilanjutkan. Akan tetapi, namanya diubah, bukan lagi tahun Saka, melainkan menjadi tahun Jawa.

Lebih lanjut, disarikan dari Jurnal Al-Afaq bertajuk "Analisis Kesesuaian Kalender Jawa Islam dengan Kalender Hijriyah" oleh Muhammad Sholehuddin dan Siti Tatmainul Qulub, alasan Sultan Agung mengganti kalender ini adalah untuk menanamkan ajaran Islam di Jawa. Setelah diganti, beberapa aspek dalam kalender Jawa tahun Saka turut berubah, seperti nama hari, bulan, dan tahun.

Dilansir detikNews, setiap Jumat Legi, Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ingin menyatukan kelompok santri dan abangan mengadakan acara pelaporan pemerintahan sekaligus pengajian. Selain itu, digelar pula ziarah kubur dan haul ke makam para penyebar Islam.

Sejak saat itu, 1 Suro tahun Jawa yang dulunya dimulai pada Jumat Legi turut dikeramatkan oleh masyarakat. Bahkan, ada ancaman sial bagi orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan ziarah, haul, dan mengaji.

Kini, alasan malam 1 Suro dianggap keramat disebabkan adanya kepercayaan bahwasanya pada malam tersebut makhluk gaib akan keluar. Dikutip dari buku 70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia oleh Fitri Haryani, keyakinan ini semakin diperkuat dengan gangguan makhluk halus yang kerap terjadi pada malam tersebut.

Tradisi Malam 1 Suro

Sejatinya, ada banyak tradisi malam 1 Suro yang digelar di berbagai tempat. Masing-masing juga memiliki sejarah dan makna tersendiri. Di antaranya adalah Bari'an, Kirab Pusaka, dan Suroan.

Adapun untuk artikel kali ini, akan dijelaskan secara ringkas dua tradisi malam 1 Suro yang digelar di wilayah Jogja, yakni Tapa Bisu Mubeng Beteng dan Jenang Suran. Berikut uraiannya:

1. Tapa Bisu Mubeng Beteng

Dirangkum dari Jurnal Al-Iman berjudul "Tradisi Satu Suro di Tanah Jawa dalam Perspektif Hukum Islam" oleh Risma Aryanti dan Ashif az-Zafi, Tapa Bisu Mubeng Beteng dilakukan dengan cara mengelilingi beteng (benteng) sembari diam. Prosesi ini akan dilakukan oleh para abdi dalem keraton dengan iringan masyarakat.

Kurang lebih, jarak yang akan ditempuh adalah 4 kilometer. Selama prosesi, tidak seorang pun boleh mengeluarkan suara. Adapun tujuan dari tradisi ini adalah merenung sekaligus mengevaluasi diri untuk satu tahun yang telah dilewati.

2. Jenang Suran

Selain Tapa Bisu Mubeng Beteng, para abdi dalem Keraton Ngayogyakarta akan menjalankan tradisi Jenang Suran di kompleks Makam Raja-Raja Imogiri pada malam 1 Suro. Sejatinya, inti dari Jenang Suran adalah memanjatkan doa dan tahlilan di kompleks makam kerajaan.

Dirunut dari laman resmi Dinas Kebudayaan Jogja, sebelum doa dimulai, para abdi dalem akan melakukan prosesi berupa arak-arakan ubarampe. Di antara uba rampenya adalah jenang suran, tumpeng nasi kuning, dan ingkung ayam kangkung.

Tahapan doa dimulai dengan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW terlebih dahulu. Setelah itu, dzikir dan doa dipanjatkan. Usai ritual berakhir, para abdi dalem akan membagikan sekitar 1.000 porsi jenang suran kepada masyarakat yang hadir.

Larangan Malam 1 Suro

Sebelumnya telah secara ringkas disinggung akan adanya beberapa larangan pada malam 1 Suro. Apa saja?

Diambil dari Jurnal Buddhi Dharma berjudul "Makna Komunikasi Ritual Masyarakat Jawa (Studi Kasus pada Tradisi Perayaan Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran Solo)" tulisan Galuh Kusuma Hapsari, larangan-larangan pada malam tersebut adalah:

1. Keluar di Malam Hari

Masyarakat percaya untuk lebih baik diam di rumah pada malam 1 Suro. Sebab, apabila larangan ini dilanggar seseorang, ia akan ditimpa kesialan atau hal negatif.

2. Mengadakan Pesta atau Hajatan

Faktanya, Islam tidak pernah melarang adanya pernikahan atau hajatan lainnya pada malam 1 Suro. Namun, orang-orang Jawa percaya bahwa menggelar kegiatan semacam itu pada malam 1 Suro akan mendatangkan bencana.

Dalam buku Misteri Bulan Suro oleh Muhammad Solikhin dijelaskan bahwasanya hajatan boleh saja dilakukan, tetapi masyarakat tidak berani. Alasannya, orang Jawa-Islam meyakini Suro sebagai bulannya Allah yang Agung lagi Mulia. Karenanya, manusia dianggap tidak kuat atau terlalu lemah untuk menggelar hajatan di bulan suci ini, termasuk padanya malam 1 Suro.

3. Berisik

Larangan ketiga adalah berbicara dengan keras atau berisik pada malam 1 Suro. Alasan di balik larangan ini berkaitan erat dengan tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng yang telah dijelaskan sebelumnya.

4. Berkata Kasar atau Buruk

Seseorang yang tidak menjaga lisannya dengan benar pada malam 1 Suro dipercaya akan dicari oleh makhluk gaib yang keluar. Para makhluk halus ini diyakini akan keluar dan mencari manusia-manusia yang lalai lagi tidak waspada.

5. Pindah atau Membangun Rumah

Pada malam 1 Suro, kegiatan pindah atau membangun rumah juga dihindari oleh masyarakat Jawa. Mengapa demikian? Kegiatan ini dipercaya dapat mendatangkan kesialan bagi si empunya rumah.

Demikian penjelasan lengkap mengenai sejarah malam 1 Suro plus tradisi dan larangan-larangannya. Semoga pembahasannya bermanfaat, ya!




(sto/cln)

Hide Ads