Malam 1 Suro dikenal sebagai malam yang penuh makna spiritual bagi masyarakat Jawa. Di balik kesakralannya, malam ini juga lekat dengan berbagai mitos yang diwariskan secara turun-temurun dan masih diyakini hingga kini.
Mulai dari larangan keluar rumah hingga tradisi tapa bisu, kepercayaan-kepercayaan ini bukan sekadar cerita lama, tetapi bagian dari warisan budaya yang terus dilestarikan sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal.
Suro merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang menandai pergantian tahun dalam kalender Jawa. Malam 1 Suro dikenal karena kesakralan dan nuansa mistis yang menyelimutinya. Lebih dari sekadar momen transisi tahun, malam 1 Suro menyimpan nilai spiritual mendalam dan menjadi bagian penting dari tradisi budaya masyarakat Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mitos Malam 1 Suro
Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun dan tetap dilestarikan hingga kini, terutama di kalangan masyarakat Kejawen dan komunitas spiritual Jawa. Tak sedikit kepercayaan dan mitos yang muncul seiring berjalannya waktu.
Mito-mitos ini menjadikan malam 1 Suro sebagai salah satu malam paling disorot dalam kalender tradisional Jawa. Berikut ini lima mitos paling populer yang masih dipercaya masyarakat terkait malam 1 Suro.
1. Dilarang Keluar Rumah
Salah satu mitos yang paling dikenal adalah larangan keluar rumah pada malam 1 Suro. Masyarakat Jawa meyakini bahwa malam ini menjadi waktu di mana energi spiritual dan kekuatan gaib berada pada puncaknya. Banyak makhluk halus, arwah leluhur, hingga sosok-sosok tak kasat mata dipercaya berkeliaran di bumi pada malam ini.
Kepercayaan ini membuat banyak orang memilih untuk tetap berada di rumah guna menghindari potensi "pertemuan" dengan entitas supranatural. Bahkan dalam ajaran Kejawen, malam ini lebih cocok digunakan untuk instrospeksi dan tirakat, bukan aktivitas di luar rumah.
2. Tidak Boleh Mengadakan Pernikahan atau Hajatan
Menggelar pernikahan atau hajatan besar saat malam 1 Suro dianggap tabu. Masyarakat percaya bahwa bulan Suro bukanlah waktu yang baik untuk merayakan kebahagiaan secara lahiriah. Alih-alih berpesta, malam ini lebih cocok untuk menyepi, berdoa, dan melakukan laku spiritual.
Larangan ini juga dikaitkan dengan sejarah dan kisah spiritual, seperti tragedi pembunuhan Nabi Ibrahim oleh Raja Namrud yang menurut tradisi Kejawen terjadi pada bulan Suro. Karena itu, mengadakan hajatan pada waktu ini dianggap tidak sesuai dengan nilai sakral Malam 1 Suro.
Baca juga: Perbedaan Makna 1 Muharram dan 1 Suro |
3. Dilarang Pindahan atau Membangun Rumah
Pindah rumah atau memulai pembangunan rumah di bulan Suro, terutama pada malam pertamanya, diyakini membawa kesialan. Mitos ini berkembang kuat di kalangan masyarakat Jawa dan menjadi salah satu pantangan yang cukup dihindari hingga kini.
Menurut kepercayaan, kegiatan besar seperti pindahan bisa mengganggu harmoni energi yang sedang kuat pada bulan tersebut, dan berpotensi mengundang gangguan makhluk halus atau nasib buruk. Oleh karena itu, banyak orang sengaja menunda aktivitas pindah rumah hingga bulan berikutnya.
4. Tidak Boleh Berkata Kasar
Karena dianggap sakral, malam 1 Suro harus dijalani dengan penuh pengendalian diri. Salah satu pantangan utama adalah tidak berkata kasar atau mengeluarkan ucapan negatif. Masyarakat percaya bahwa setiap kata yang keluar pada malam ini memiliki energi besar yang bisa mendatangkan kebaikan atau justru keburukan.
Bicara kasar atau buruk bisa dianggap sebagai bentuk tidak hormat terhadap malam yang suci, dan bisa membuka celah bagi masuknya energi negatif. Oleh karena itu, banyak orang menjalani malam 1 Suro dengan memperbanyak doa, dzikir, atau meditasi diam dalam keheningan.
5. Tidak Boleh Berisik atau Tapa Bisu
Ritual tapa bisu atau berdiam diri tanpa berbicara menjadi salah satu tradisi yang masih dilestarikan, terutama di Yogyakarta. Salah satu ritual tapa bisu yang terkenal adalah Tapa Bisu Mubeng Beteng, yaitu mengelilingi Benteng Keraton Yogyakarta dalam keheningan, tanpa bicara, makan, minum, atau merokok.
Tradisi ini diyakini sebagai bentuk laku spiritual untuk membersihkan diri dari hal-hal negatif dan memperkuat batin. Peserta tapa bisu mengenakan pakaian hitam-hitam sebagai simbol kesederhanaan dan kesiapan menjalani perenungan spiritual.
Menurut budayawan Yogyakarta KRT Jatiningrat, tapa bisu adalah bagian dari penghormatan terhadap leluhur dan cara menjaga hubungan batin dengan kekuatan ilahi, sebagaimana disampaikan dalam laporan Kompas dan Detik pada peringatan 1 Suro di tahun-tahun sebelumnya.
Malam 1 Suro bukan hanya waktu yang dikeramatkan dalam budaya Jawa, tapi memiliki banyak simbol dan pantangan. Meski mitos-mitos ini tidak semuanya bisa dibuktikan secara ilmiah, namun ia tetap menjadi bagian penting dari identitas budaya dan spiritual masyarakat Jawa. Menghargainya berarti turut menjaga warisan kearifan lokal yang sarat makna.
(auh/irb)