Sosok Ki Gede Pemanahan, Keturunan Brawijaya V dan Ayah Panembahan Senopati

Sosok Ki Gede Pemanahan, Keturunan Brawijaya V dan Ayah Panembahan Senopati

Jihan Nisrina Khairani - detikJogja
Selasa, 05 Des 2023 14:51 WIB
Pintu masuk Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Kotagede
Pintu masuk Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Kotagede (Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja)
Jogja -

Berdirinya wilayah Jogja tidak terlepas dari peran Ki Gede Pemanahan yang merupakan perintis Kerajaan Mataram Islam. Sosok ayah dari Panembahan Senopati ini ternyata juga termasuk ke dalam trah Brawijaya V.

Ki Gede Pemanahan atau Ki Ageng Pemanahan dianggap sebagai tokoh yang melahirkan raja-raja Mataram Islam. Bersama dengan anaknya, yakni Panembahan Senopati, ia berhasil mendapatkan Alas Mentaok yang kelak berubah menjadi daerah Jogja.

Lantas, seperti apa kisah hidup Ki Gede Pemanahan? Bagaimana perjalanannya menemani Panembahan Senopati melawan Arya Penangsang? Simak rangkuman selengkapnya di bawah ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sosok Ki Gede Pemanahan

Bersumber dari buku Cerita Rakyat dari Jawa Tengah terbitan Kemdikbud, Ki Gede Pemanahan adalah anak dari Ki Ageng Ngenis dan cucu Ki Ageng Selo. Jika ditarik ke belakang, silsilah keluarga tokoh yang satu ini akan sampai kepada Prabu Brawijaya V, yaitu raja terakhir Kerajaan Majapahit.

Ia memiliki nama kecil Bagus Kacung. Sementara nama Pemanahan itu sendiri berasal dari daerah tempat tinggalnya yang disebut Pemanahan, tepatnya di bagian utara Laweyan, Surakarta. Ia merupakan keturunan orang-orang Sela (sekarang dikenal sebagai Pati) yang bermigrasi ke Pajang.

ADVERTISEMENT

Dari pernikahannya dengan Nyai Sabinah yang notabene sepupunya sendiri, ia dikaruniai tujuh anak, salah satunya bernama Bagus Srubut atau Danang Sutawijaya. Nantinya, Sutawijaya akan menjadi raja pertama dari Kerajaan Mataram Islam.

Ki Gede Pemanahan Sempat Berguru dengan Sunan Kalijaga

Sama seperti tokoh-tokoh yang lain, Ki Gede Pemanahan pun turut berguru kepada Sunan Kalijaga. Kyai Ageng Ngenis mengadopsi seorang anak bernama Ki Panjawi dan kemudian menjalin hubungan persaudaraan erat dengan ayah Panembahan Senopati tersebut serta Ki Juru Martani.

Sultan Pajang yang juga murid Sunan Kalijaga dianggap sebagai saudara oleh Sunan Kalijaga dan dipersaudarakan dengan Ki Panjawi, Ki Gede Pemanahan, serta Ki Juru Martani. Sultan Pajang bahkan memperlakukan ketiganya seperti saudara kandung sehingga sering memanggil mereka sebagai kakak.

Misi Ki Gede Pemanahan Melawan Arya Penangsang

Cerita ini bermula ketika Ki Gede Pemanahan memutuskan untuk pergi ke Pajang dengan niat berbakti kepada negara dan pemerintah Pajang yang baru saja berdiri setelah runtuhnya Kerajaan Demak.

Pada saat itu, Kerajaan Demak mengalami pertempuran untuk merebut kekuasaan antara Arya Penangsang (keturunan Sekar Sedo Lepen) dan Hadiwijaya (keturunan Prawoto). Lantaran dendam, Sultan Hadiwijaya pun membuat sayembara untuk membunuh Aryo Penangsang. Hadiwijaya berjanji untuk memberikan Alas Mentaok sebagai hadiah bagi siapa saja yang bisa membunuh Penangsang.

Mendengar kabar tersebut, Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi merasa khawatir karena Arya Penangsang bukanlah sosok yang bisa dianggap remeh. Namun, Ki Juru Martani memberikan penjelasan bahwa ia mengenal Arya Penangsang dan memiliki rencana untuk menangkap, serta membunuhnya.

Usai mendengar penjelasan tersebut, Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi menyetujuinya. Mereka kemudian menghadap Sultan Hadiwijaya dan menyatakan kesiapan mereka untuk mengikuti sayembara tersebut.

Ki Gede Pemanahan Mendapat Hadiah Alas Mentaok

Pada hari berikutnya, Ki Gede Pemanahan, Ki Panjawi, dan Ki Juru Martani bersiap-siap untuk pergi ke Jipang. Ki Gede Pemanahan membawa putranya, yakni Danang Sutawijaya untuk ikut serta dalam misi membunuh Aryo Penangsang.

Keputusannya membawa Panembahan Senopati didasarkan karena putranya tersebut memiliki pendidikan yang sangat baik dalam hal perang. Sementara itu, Sultan Hadiwijaya merasa khawatir karena mengetahui bahwa anak angkatnya akan ikut terlibat dalam peperangan, meskipun masih kecil.

Oleh karena itu, Sultan Hadiwijaya menyertakan pasukan Pajang dan memberikan peralatan berupa pusaka yang kuat, yaitu tombak Kiai Plered kepada Sutawijaya.

Dalam pertempuran tersebut, Sutawijaya berhasil memenangkan perang dan membunuh Aryo Penangsang. Keberhasilan ini diraih dengan menggunakan tombak Kiai Plered yang dibuat Sunan Kalijaga. Akhirnya, Bumi Hutan Mentaok pun diberikan kepada Ki Gede Pemanahan.

Janji Ki Gede Pemanahan kepada Sultan Pajang

Mengutip dari buku 'Peranan Ki Ageng Pemanahan dalam Mendirikan Kerajaan Mataram Islam' karya Revi Isma Ayuni, Sultan Hadiwijaya tidak kunjung memberikan Alas Mentaok kepada Pemanahan usai pertempuran tersebut. Hal ini pun membuatnya gelisah dan bertanya-tanya mengapa Sultan membutuhkan waktu yang lama untuk memberikan tanah tersebut.

Ternyata Sultan Pajang terganggu atas ramalan Sunan Giri yang menyebutkan bahwa apabila tanah Mentaok diberikan kepada Ki Gede Pemanahan, maka akan menjadi sebuah kerajaan besar. Ini membuat Sultan Pajang takut kerajaannya akan tersaingi.

Untuk menenangkan pikiran Sultan Pajang, Ki Gede Pemanahan diminta Sunan Kalijaga untuk berjanji agar ia tidak memiliki keinginan untuk menjadi raja. Namun, ia tidak berkata bahwa anak keturunannya akan mengikuti janji tersebut. Akhirnya, Alas Mentaok pun diberikan kepadanya.

Ki Gede Pemanahan Membawa Tanah Mataram Maju Pesat

Dengan bantuan orang-orang Sela, pemukiman yang awalnya kecil mengalami perubahan dan pertumbuhan menjadi daerah yang makmur pada sekitar akhir abad ke-16. Hasil panennya pun melimpah dengan air sumur yang tampak jernih. Perdagangan yang juga berkembang pesat menarik banyak penduduk untuk menetap di sana.

Pada tahun 1578 M, setelah berhasil menebang Alas Mentaok, daerah ini berkembang menjadi kadipaten dengan yang dipimpin Ki Gede Pemanahan sebagai adipatinya.

Kian banyak pedagang asing yang datang ke Mataram, membuat kawasan ini makin makmur dan ramai. Meskipun begitu, Mataram tetap berada di bawah kekuasaan Sultan Pajang.

Kendati Ki Gede Pemanahan menjadi penguasa, status tanah tetap menjadi milik Sultan Pajang. Adapun status para petani di sana adalah sebagai buruh penyewa lahan.

Hubungan hierarkis ini menciptakan dinamika antara golongan atas (gusti) dan golongan bawah (kawula) dalam kehidupan di Keraton. Sebagai seorang penguasa, Ki Gede Pemanahan mengambil gelar Ki Gede Mataram sebagai tanda kesetiaannya terhadap Pajang.

Wafatnya Ki Gede Pemanahan

Pada saat Mataram sudah mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi, Ki Gede Pemanahan justru jatuh sakit parah. Dalam wasiatnya kepada Ki Juru Martani, ia menyatakan bahwa tanggung jawab setelahnya akan diberikan kepada Danang Sutawijaya alias Panembahan Senopati.

Setelah kematiannya, janji yang ia buat kepada Sultan Pajang pun sudah tidak berlaku lagi. Ki Gede Pemanahan tidak dapat menyaksikan perkembangan Mataram yang berubah menjadi sebuah kerajaan karena meninggal dunia pada tahun 1584 Masehi setelah menderita sakit yang berkepanjangan.

Artikel ini ditulis oleh Jihan Nisrina Khairani peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(ams/rih)

Hide Ads