Dikutip dari buku Sumpah Pemuda karya Momon Abdul Rahman dkk, pada pertemuan tertanggal 3 Mei dan 12 Agustus 1928, diputuskan beberapa hal mengenai Kongres Pemuda Indonesia ke-2. Salah satunya adalah susunan panitia.
Kala itu, Soegondo Djojopoespito ditunjuk sebagai ketua panitia. Adapun wakilnya adalah RM Djoko Marsaid dari Jong Java. Singkat cerita, Kongres Pemuda ke-2 kemudian digelar pada 27-28 Oktober 1928.
Sumpah Pemuda sendiri dibacakan sebagai hasil putusan usai rapat ketiga berakhir, yakni pada Minggu malam, 28 Oktober 1928. Nama Soegondo Djojopoespito kemudian selalu terkenang sebagai salah satu tokoh Sumpah Pemuda yang termasyhur.
Lantas, sudahkah detikers tahu sepak terjang sang ketua Kongres Pemuda II? Berikut ini profil ringkasnya yang telah detikJogja siapkan. Pastikan untuk membaca artikel ini sampai tuntas, ya, detikers!
Keluarga Soegondo Djojopoespito
Diringkas dari buku Soegondo Djojopoespito Hasil Karya dan Pengabdiannya karangan Sri Sutjiatiningsih, Soegondo adalah putra dari pasangan Kromosardjono dan Nyonya Kromosardjono. Bapaknya adalah seorang penghulu di Tuban, Jawa Timur.
Soegondo lahir pada 22 Februari 1905 di Tuban. Soegondo punya seorang adik perempuan bernama Sudarawerti. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ia berganti nama menjadi Sunarjati. Adiknya tersebut kemudian menikah dengan Sukemi sehingga lebih terkenal dengan sebutan Nyonya Sukemi.
Dari garis keturunan sang ibu, Soegondo adalah cucu dari seorang penghulu Tuban bernama Raden Iman Razi. Ia punya adik bernama Djojopoespito. Keduanya adalah putra dari Kyai Raden Ahmad Zaiyadi alias Djojokusumo. Kelak, Soegondo mengambil nama adik kakek buyutnya, sehingga punya nama lengkap Soegondo Djojopoespito.
Pada 1932, Soegondo Djojopoespito menikah dengan Suwarsih di Cibadak, Bogor. Keduanya kemudian sama-sama berprofesi sebagai seorang guru. Selain itu, persamaan lainnya adalah: dua-duanya begitu mencintai buku.
Bersama sang istri, Soegondo dikaruniai dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, yakni:
- Nyonya Sunartini Djanan Chudori
- Nyonya Sunar Endrati Cahyono SH
- Ir Sunaryo Djojopoespito
Soegondo menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 April 1978 di Jogja. Jenazahnya kemudian dikebumikan pada Senin, 25 April 1978 di makam Keluarga Taman Siswa 'Wijaya Brata' yang berlokasi di Desa Celeban Yogyakarta.
Jasadnya yang punya banyak kontribusi bagi bangsa Indonesia dimakamkan di samping mendiang istrinya. Suwarsih diketahui telah meninggal satu tahun lebih dahulu, yakni pada 24 Agustus 1977.
Pendidikan Soegondo Djojopoespito
Saat kecil Soegondo dan adiknya, Sunarjati, ikut bersama paman mereka, seorang collecteur di Blora. Sang paman inilah yang berperan membiayai biaya pendidikan keduanya. Akibatnya, ketika paman Soegondo meninggal dunia, keduanya tidak dapat melanjutkan studi.
Soegondo memulai pendidikannya di HIS Tuban. Lalu, ia melanjutkan studi ke Mulo di Surabaya. Berhasil menamatkannya, Soegondo meneruskan studi ke AMS di Jogja. Tatkala menjalani studi di AMS, Soegondo menumpang di rumah Ki Hajar Dewantara.
Terlepas dari pendidikannya, Soegondo sudah menunjukkan tanda-tanda kepandaiannya sejak dini. Ia dikenal gemar membaca. Buku bacaannya pun tidak main-main. Soegondo menyikat buku-buku dengan berbagai bahasa, baik Inggris, Belanda, Prancis, maupun Jerman.
Menjadi putra seorang penghulu menyebabkan Soegondo telah dididik secara ketat dalam urusan agama. Karenanya, tidak mengherankan jika sang Ketua Kongres Pemuda II ini fasih betul tentang agama dan punya pengetahuan luas. Salah satu buktinya adalah bantuan Soegondo terhadap istrinya untuk menyelesaikan buku bertajuk Riwayat Hidup Nabi Muhammad SAW.
Karier Soegondo Djojopoespito
Di Jogja, Soegondo sudah menunjukkan minat di bidang politik. Namun, karena statusnya masih pelajar, ia tidak bisa menjadi anggota partai politik. Kendati demikian, ia kerap mengikuti rapat-rapat umum yang banyak dilangsungkan kala itu.
Tentang kariernya, Soegondo menjadi kepala sekolah Taman Siswa di Bandung pada 1932. Kemudian, ia mendirikan sekolah sendiri bersama istrinya di Bogor yang dinamai Loka Siswa. Sayang, jumlah murid yang terlalu sedikit membuat Soegondo menutupnya.
Pada 1936, Soegondo berpindah lagi, kali ini ke Semarang. Di sana, ia mengajar di Taman Siswa. Sementara itu, istrinya menjadi guru di sekolahnya Drs Sigit. Pada 1938, Soegondo diterima menjadi guru di Handels Coloogium Ksatrian Institut yang dipimpin Douwes Dekker.
Pada 1940, Soegondo pindah ke Jakarta mengikuti kepindahan sang istri. Ia masih melanjutkan profesinya sebagai seorang guru di Taman Siswa. Di samping itu, Soegondo bekerja sebagai freelance wartawan di Bataviaasch Niewsblad dan Indische Courant. Bahkan, pada 1941, ia sempat menjadi Direktur Kantor Berita Antara.
Saat Indonesia merintih di bawah pendudukan Jepang, Soegondo bertugas sebagai pegawai di Departemen Kehakiman, bagian urusan penjara. Lalu, pada zaman kemerdekaan, Soegondo diangkat menjadi anggota BPKNIP serta menteri pembangunan masyarakat pada Kabinet Halim, yakni tahun 1949-1950.
Sosoknya juga tercatat pernah berkiprah sebagai salah seorang pendiri Partai Sosialis Indonesia. Dalam partai tersebut, Soegondo menjabat sebagai anggota politbiro sekaligus ketua Partai Sosialis Indonesia wilayah Jawa Tengah/DIY.
Beberapa bulan setelah wafat, Soegondo Djojopoespito mendapatkan anugerah Bintang Jasa Utama. Hal ini sebagai bukti bahwa sosoknya punya jasa dan peran penting bagi bangsa dan negara Indonesia.
Demikian profil Soegondo Djojopoespito, ketua Kongres Pemuda II yang menelurkan Sumpah Pemuda. Semoga menambah wawasan detikers, ya!
(sto/afn)
Komentar Terbanyak
Komcad SPPI Itu Apa? Ini Penjelasan Tugas, Pangkat, dan Gajinya
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa
Catut Nama Bupati Gunungkidul untuk Tipu-tipu, Intel Gadungan Jadi Tersangka