Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan momen lahirnya ikrar yang menyatukan bangsa Indonesia yakni Sumpah Pemuda. Di balik lahirnya Sumpah Pemuda, ada banyak tokoh yang terlibat, salah satunya Soegondo Djojopoespito.
Soegondo Djojopoespito mengambil peran penting dalam pelaksanaan Kongres Pemuda Kedua. Berdasarkan hasil kongres itulah lahir Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Semasa hidupnya, Soegondo Djojopoespito mengabdi dan berjuang untuk merintis Kemerdekaan di Tanah Air. Maka sudah sepatutnya bangsa Indonesia senantiasa mengenang sosoknya pada momen peringatan Hari Sumpah Pemuda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk mengenal sosoknya, berikut selengkapnya riwayat hidup Soegondo Djojopoespito serta perannya dalam perumusan Sumpah Pemuda. Yuk, disimak!
Keluarga Kecil Soegondo Djojopoespito
Soegondo Djojopoespito lahir pada 22 Februari 1905 di Tuban, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kromo Sardjono, seorang penghulu di Tuban yang berasal dari Tegal. Sementara ibunya Ny Kromo Sardjono merupakan cucu seorang penghulu Tuban bernama Raden Iman Razi.
Ketika lahir, dia diberi nama Soegondo tanpa adanya nama belakang. Namun, begitu sudah dewasa dia menambahkan sendiri 'Djojopoespito' di belakang namanya. Sosok 'Djojopoespito' adalah kakek buyutnya dari pihak ibu, tepatnya adik Raden Iman Razi. Sejak saat itu, namanya pun menjadi Soegondo Djojopoespito yang dikenal sampai saat ini.[1]
Soegondo memiliki seorang adik perempuan bernama Sudarawerti yang kemudian diganti namanya menjadi Sunarjati. Semasa kecil, Soegondo mendapat pendidikan agama yang ketat mengingat ayahnya yang seorang penghulu.
Keluarga kecil Soegondo mulanya tinggal bersama di Tuban, namun suatu waktu ayahnya harus pindah ke Brebes di Jawa Tengah. Soegondo dan Sunarjati kecil pun harus ikut paman mereka yang merupakan collecteur di Blora bernama Hadisewojo. Selama tinggal bersama, pamannya membiayai seluruh biaya pendidikan Soegondo dan Sunarjati sehingga telah dianggap sebagai ayah angkat. [1][2]
Setelah beranjak dewasa, Soegondo menikah dengan seorang wanita bernama Suwarsih. Keduanya merupakan pasangan yang sangat mencintai buku, maka tidak heran jika Soegondo dan Suwarsih memiliki pengetahuan yang luas. Mereka dikenal suka sekali membanding-bandingkan pendapat satu sama lain kemudian mendiskusikannya.
Perkawinan mereka dikaruniai oleh tiga orang anak yang terdiri dari dua perempuan dan satu laki-laki. Dalam mendidik, Soegondo dan Sukemi memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak-anaknya. Adapun nama anak-anaknya sebagai berikut:
- Ny Sunartini Djanan Chudori
- Ny Sunar Endrati Cahyono SH
- Ir Sunaryo Djojopoespito[1]
Perjalanan Pendidikan Soegondo Djojopoespito
Soegondo mulanya menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Tuban selama tujuh tahun. Setelah tamat pada 1918, satu tahun kemudian Soegondo meneruskan pendidikan tingkat lanjutan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Surabaya selama tiga tahun.
Di Surabaya, Soegondo dititip oleh pamannya di rumah H.O.S Cokroaminoto bersama Soekarno. Setelah lulus dari sana, Soegondo melanjutkan lagi pendidikannya di Algemeen Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di sana dia tinggal di rumah sewaan milik Ki Hajar Dewantara.[2]
Di AMS, Soegondo dikenal sebagai siswa yang pandai melebihi teman-temannya. Dia sangat gemar membaca buku-buku berbahasa Inggris, Belanda, Perancis dan Jerman karya tokoh-tokoh internasional.[1]
Setelah selesai mengenyam pendidikan di AMS Yogyakarta, pada 1925 Soegondo melanjutkan pendidikan tinggi di Rechtshoogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Di sana, dia sering membaca tulisan-tulisan tentang nasionalisme, terutama tulisan Mohammad hatta berjudul 'Indonesia Merdeka'.
Dari tulisan-tulisan tersebutlah Soegondo dan teman-temannya mulai berdiskusi soal politik. Mereka mengadakan pertemuan-pertemuan untuk mengikuti jejak teman-temannya yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia. Sampai pada akhirnya, mereka membentuk sebuah organisasi mahasiswa bernama Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) dengan tujuan menggalang persatuan Indonesia.[2]
Peran Sugondo dalam Perumusan Sumpah Pemuda
Peran Sugondo dalam perumusan Sumpah Pemuda dimulai ketika dirinya ditunjuk menjadi Ketua PPPI. Sejak menjabat menjadi ketua, Soegondo mendesak organisasi-organisasi pemuda yang dibentuk pada Kongres Pemuda I untuk mengadakan kongres lanjutan. Tujuannya untuk mempersatukan dan melebur perkumpulan pemuda berdasarkan nilai kebangsaan.
Usaha itu dimulai sejak 1926, dengan menghubungi pemuda secara personal. Kemudian pada 1927, Soegondo menghubungi perwakilan organisasi-organisasi saja. Usahanya itu pun membuahkan hasil karena masing-masing perwakilan yang dihubungi setuju diadakannya kongres lanjutan.
Untuk Kongres Pemuda II, maka dibentuklah panitia pelaksana dengan Soegondo sebagai ketuanya. Mereka mempersiapkan kebutuhan seluruh rangkaian kongres mulai dari waktu, tempat, hingga biaya. Setelah persiapannya cukup, maka Kongres Pemuda II resmi dibuka pada 27 Oktober 1928.[2]
Kongres Pemuda II diadakan dengan tiga kali rapat. Pada detik-detik rapat terakhir, Mohammad Yamin menuliskan Trilogi Sumpah pemuda pada secarik kertas kemudian memberikannya ke Soegondo. Pada secarik kertas itu, tertulis kata 'Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa'.
Sebagai ketua, Soegondo pun menerima dan membacanya kemudian memberikan paraf pada secarik kertas itu menandakan setuju. Anggota lain dari Kongres Pemuda II pun menyetujui trilogi usulan Mohammad Yamin itu. Dari sana lah, lahir ikrar Sumpah Pemuda yang berbunyi sebagai berikut:
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia[3]
Karier dan Penghargaan Soegondo Djojopoespito
Setelah lulus dari Sekolah Tinggi Hukum, Soegondo bekerja sebagai guru di Sekolah Taman Siswa Bandung pada 1932. Setelahnya, dia diangkat menjadi kepala sekolah dan mendirikan sekolah sendiri di Bogor bernama Loka Siswa.
Akan tetapi, sekolah itu tidak berjalan mulus. Dia pun pindah ke Semarang pada 1936 dan kembali menjadi guru Taman Siswa. Pada 1983, Soegondo menjadi pengajar di sekolah handels Coloogium Ksatrian Instituut. Kemudian, Soegondo mengikuti sang istri ke Jakarta kemudian mengajar di sekolah Taman Siswa sembari menjadi wartawan freelance pada Bataviaasch Niuewsblaad dan Indische Courant.
Pengalaman sebagai wartawan mengantarkan Soegondo menjadi Direktur Kantor Berita Antara. Pada masa pendudukan Jepang, Soegondo menjadi pegawai Shihabu atau Departemen Kehakiman bagian urusan penjara. Kemudian setelah kemerdekaan, Soegondo diangkat menjadi anggota Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), lalu menjadi Menteri Pembangunan Masyarakat pada Kabinet Halim 1949-1950.
Pada 2 April 1978, Soegondo meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di komplek makam keluarga Taman Siswa.[2]
Atas jasanya di masa muda, Pemerintah RI memberikan Tanda Kehormatan berupa Bintang Jasa Utama kepada Soegondo. Pada 1992, dia juga mendapat Satya Lencana Perintis Kemerdekaan. Pihak Kemenpora juga mengabadikan namanya pada Gedung Pertemuan Pemuda sebagai Wisma Soegondo Djojopoespito Cibubur milik Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional (PP-PON) yang diresmikan pada 18 Juli 2012.[3]
Demikianlah ulasan mengenai tokoh Sumpah Pemuda Soegondo Djojopoespito. Semoga menambah wawasan!
Sumber:
1. Buku Soegondo Djojopoespito Hasil Karya dan Pengabdiannya oleh Kemdikbud RI
2. Ensiklopedia Sejarah Kemdikbud RI 'Soegondo Djojopoespito'
3. Buku Sejarah dan Pergerakan Nasional Indonesia oleh Yusuf Perdana dan Rinaldo Adi Pratama
(urw/alk)