Sampah di Jogja, Pakar UGM: Gawat Darurat-Pemerintah Harus Dampingi Warga

Sampah di Jogja, Pakar UGM: Gawat Darurat-Pemerintah Harus Dampingi Warga

Fahri Zulfikar - detikJogja
Senin, 20 Mei 2024 13:38 WIB
Tumukan sampah di RW 7, Kampung Jogoyudan, Gowongan, Kemantren Jetis, Kota Jogja, Senin (13/5/2024) siang.
Tumukan sampah di RW 7, Kampung Jogoyudan, Gowongan, Kemantren Jetis, Kota Jogja, Senin (13/5/2024) siang. Foto: Adji G Rinepta/detikJogja
Jogja -

Pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai pemerintah di Jogja atau Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) harus mendampingi warganya dalam mengatasi permasalahan sampah. Hal itu harus sejalan dengan langkah lainnya dalam penanganan sampah.

Peneliti pengelolaan sampah terintegrasi dari Fakultas Teknik UGM, Ir. Wiratni, Ph.D menilai persoalan sampah ini tidak tepat jika diselesaikan dengan mencari siapa yang salah. Sebab, baik warga maupun pemerintah harus saling memaksimalkan peran masing-masing.

"Harapan saya pada pemerintah adalah membantu proses belajar masyarakat dengan dukungan-dukungan yang bisa dikategorikan sebagai jangka pendek dan jangka panjang," kata Wiratni saat dihubungi wartawan, Jumat (17/5/2024) dilansir detikEdu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dijelaskannya, untuk mengatasi tumpukan sampah yang mulai mengotori kota, salah satu cara jangka pendeknya adalah mengundang seluruh pengelola sampah profesional di DIY dan para ahli dari universitas.

Ini dilakukan untuk merumuskan kerja sama aksi cepat dalam enam bulan ke depan membersihkan provinsi yang tidak lagi punya TPA ini.

ADVERTISEMENT

"Sampah sudah menjadi urusan gawat darurat, sehingga perlu disiapkan anggaran darurat juga untuk keperluan ini," ujar Wiratni.

Untuk langkah jangka panjangnya adalah dengan membangun sistem pengelolaan sampah berkelanjutan dengan regulasi yang tepat dan menggandeng mitra industri yang tepat.

Selain itu, juga perlu mendukung inisiatif-inisiatif di masyarakat dengan program hibah peralatan dengan pendampingan yang baik dan edukasi masyarakat dengan sistem reward and punishment yang tegas.

Lebih lanjut, Wiratni mengatakan bahwa tumpukan sampah memang terlihat di mana-mana sejak buka-tutup TPA Piyungan tahun lalu.

"Hal ini (penumpukan sampah) menunjukkan bahwa masyarakat di DIY belum siap mengelola sampahnya secara mandiri," kata Wiratni.

Menurutnya, memang tidak mudah untuk mengubah kebiasaan yang telah begitu mendarah-daging. Terutama terkait normalisasi yang keliru bahwa selama ini sampah cukup 'dibuang', tidak perlu 'diolah'.

Wiratni mengatakan bahwa terkait pengelolaan sampah di tingkat warga, masih perlu waktu agar semua memiliki kemampuan paling mendasar yaitu memilah sampah.

Dalam hal ini, Wiratni menekankan bahwa pemerintah harus memaksa masyarakat untuk mengelola sampah secara mandiri. Namun, perlu ada catatan, terutama mengenai apa yang bisa dilakukan masyarakat dan apa yang tidak mungkin bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat.

Contoh yang bisa dilakukan masyarakat adalah bank sampah, pengolahan sampah organik, dan recycle kecil-kecilan.

"Yang tidak bisa dikelola sendiri oleh masyarakat adalah sampah residu, yaitu serpihan-serpihan anorganik yang tidak laku dijual dan tidak bisa dikomposkan," terang dosen Departemen Teknik Kimia UGM tersebut.

Sementara itu, terkait komponen residu ini, pemerintah diharapkan bisa turun tangan, misalnya bekerja sama dengan pihak swasta untuk pengolahan skala besar. Kemudian paralel dengan penanganan residu, pemerintah perlu mengedukasi unit-unit masyarakat, yang idealnya dilakukan di seluruh kelurahan.

Hal ini juga termasuk mendampingi untuk merancang dan mengimplementasikan unit pengolahan sampah yang sesuai untuk kondisi setiap kelurahan, yang tidak sama satu sama lain.

"Perguruan tinggi bisa dilibatkan untuk pendampingan ini. Sudah banyak inisiatif bagus di kelurahan-kelurahan di DIY. Praktik baik ini perlu didukung dan disebarluaskan agar bisa ditiru di kelurahan-kelurahan yang lain," kata Wiratni.

"Tanpa pengetahuan dan infrastruktur yang memadai, akan sulit juga bagi pemerintah kelurahan untuk mendorong masyarakatnya mengurus sampahnya sendiri," tambahnya.

Ia mengatakan bahwa diperlukan ketegasan untuk menegakkan peraturan bahwa membuang sampah sembarangan itu adalah tindakan yang menyalahi aturan sehingga harus dikenai penalti atau denda atau sanksi lain.

"Tetapi, pemerintah perlu menjalankan penegakan peraturan dan edukasi/pendampingan masyarakat secara paralel," katanya.

Wiratni juga menekankan bahwa membakar sampah yang menumpuk adalah tindakan yang kurang tepat karena berisiko.

"Membakar sampah adalah tindakan berisiko. Selain risiko kebakaran, juga kemungkinan kandungan senyawa toksik dalam asap," ujarnya.

"Pembakaran/insinerasi adalah opsi terakhir untuk komponen sampah yang memang sudah tidak bisa dimanfaatkan kembali, itu pun harus dilakukan dengan teknik yang benar dan terkendali," imbuhnya.




(rih/apu)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikjogja

Hide Ads