Nama Kabupaten Bantul ternyata tidak lepas dari pengaruh Mangir. Bahkan, ada beberapa versi cerita yang menyebut jika kata Bantul berasal dari mentul-mentul saat kepindahan Mangir ke Mataram hingga mentul-mentul perasaan Ki Ageng Mangir Wanabaya saat perjalanan untuk menghadap Panembahan Senopati di Kotagede.
Arsiparis Ahli Muda Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bantul, Lintang Karmayoga, menjelaskan berdasarkan kajian sejarah Kabupaten Bantul 2019 dari Dinas Kebudayaan Bantul, cerita mengenai saat-saat boyongan dari Mangir ke Mataram merupakan sebuah kisah yang dramatis. Hanya saja tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya, meski kisah ini dapat dibaca dalam Babad Mangir.
"Dalam adegan ini pulalah kata Bantul berasal, karena banyaknya emban yang membawa ubarampe serta srah-srahan dengan cara dipikul yang mentul-mentul (memantul naik turun)," katanya kepada detikJogja, Selasa (31/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itulah asal dari kata Bantul, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)," lanjut Lintang.
Namun, Lintang mengaku pernah mendengar cerita versi lain dari salah satu sesepuh di Bantul. Dari yang Lintang dengar, Ki Ageng Mangir Wanabaya mendapat panggilan dari Panembahan Senopati yang tak lain adalah mertua Ki Ageng Mangir Wanabaya.
"Jadi saya pernah mendengar cerita dari sesepuh di Bantul, mentul-mentul itu awalnya saat Ki Ageng Mangir Wanabaya mendapat panggilan Panembahan Senopati untuk mengahadap," ucapnya.
Berdasarkan cerita tersebut, kata Lintang, Ki Ageng Mangir Wanabaya melakukan perjalanan dari arah selatan. Akan tetapi, sesampainya di salah satu wilayah yang saat ini dikenal Cepit, Kalurahan Pendowoharjo, Kapanewon Sewon, Kabupaten Bantul terjadi pergolakan di hati Ki Ageng Mangir Wanabaya.
"Dalam perjalanan itu, tepatnya sampai di Cepit ada pergolakan batin, pergolakan hati, keragu-raguan atau mentul-mentul apakah harus datang atau tidak. Karena saat itu bisa dibilang Panembahan Senopati rival Mangir," ujarnya.
Dalam keraguannya itu, Ki Ageng Mangir akhirnya tetap melanjutkan perjalanan untuk menemui Panembahan Senopati. Mengingat saat itu Ki Ageng Mangir juga diantar beberapa orang dari Mangir.
"Tapi karena beliau (Ki Ageng Mangir Wanabaya) bukan orang sembarangan merasa tidak boleh gentar meski hatinya mentul-mentul. Lalu ada pasukan Mataram dari arah timur yang sudah siap untuk menjemput karena Ki Ageng Mangir Wanabaya dihargai sebagai menantu (Panembahan Senopati)," ucapnya.
Hingga akhirnya Ki Ageng Mangir Wanabaya tetap melakukan perjalanan ke Kotagede untuk menghadap Panembahan Senopati.
"Jadi meski hatinya mentul-mentul akhirnya Ki Ageng Mangir Wanabaya tetap melakukan perjalanan ke Kotagede. Itu kalau versi lain cerita asal muasal nama Bantul dari mentul-mentul," katanya.
Sementara itu, Kepala Seksi Sejarah dan Permuseuman Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Bantul, Devi Puspitasari, mengatakan bahwa awal pembentukan wilayah Kabupaten Bantul adalah perjuangan gigih Pangeran Diponegoro melawan penjajah bermarkas di Selarong sejak tahun 1825 hingga 1830.
Seusai meredam perjuangan Diponegoro, Pemerintah Hindia Belanda kemudian membentuk komisi khusus untuk menangani daerah Vortenlanden yang antara lain bertugas menangani pemerintahan daerah Mataram, Pajang, Sokawati dan Gunungkidul.
Selanjutnya, tanggal 26 dan 31 Maret 1831 Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat melakukan kontrak kerja sama tentang pembagian wilayah administratif baru dalam Kasultanan disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya.
"Saat itu Kasultanan Jogja dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara dan Kalasan untuk kawasan timur," katanya.
Simak lebih lengkap di halaman berikutnya.
"Tanggal 20 Juli inilah yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Bantul," ujarnya.
Selain itu, tanggal 20 Juli juga memiliki nilai simbol kepahlawanan dan kekeramatan bagi masyarakat Bantul mengingat Perang Diponegoro dikobarkan tanggal 20 Juli 1825.
Sedangkan struktur pemerintahan di bawah Bupati saat itu masih berupa Kademangan. Namun istilah diubah menjadi distrik sesuai arahan dari Pemerintah Belanda.
Selanjutnya, pada tahun 1868 Kabupaten Bantul terdiri dari 13 distrik yang membawahi 641 desa. Lebih lanjut, pada tahun 1878 terjadi reorganisasi wilayah distrik menjadi 8 distrik yang membawahi 1.005 desa.
"Tahun 1900 jumlahnya berubah lagi menjadi 7 distrik. Tahun 1958 berdasarkan Perda DIY No.1/1958 diubah lagi, hingga saat ini total menjadi 17 kapanewon, 75 desa dan 933 dusun," katanya.
Simak Video "Video: Heboh 10 Nisan Makam di Bantul Dirusak OTK"
[Gambas:Video 20detik]
(sip/sip)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Bikin Aksi Saweran Koin Bela Hasto Kristiyanto
Direktur Mie Gacoan Bali Ditetapkan Tersangka, Begini Penjelasan Polisi