Jasa dr Soewandhie dalam pertempuran 10 November 1945 Surabaya sangat besar. Tak heran Pemkot Surabaya kemudian mengabadikan namanya menjadi nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
Penggiat Sejarah Pertempuran 10 November 1945, Achmad Zaki Yamani mengatakan dr Soewandhie merupakan Arek Suroboyo asli. Meski tidak pernah memanggul senjata, namun jasanya merawat para pejuang yang terluka saat pertempuran sangat besar.
"Dokter Soewandhie itu tak lepas dari peran beliau yang ikut merawat. Makanya nama beliau jadi nama RS di Surabaya. Memang beliau orang Surabaya dan ikut merawat," kata Zaki Yamani kepada detikJatim, Sabtu (5/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaki menambahkan dr Soewandhi sebenarnya bukan satu-satunya dokter yang ada masa revolusi. Sebab juga ada sejumlah dokter lainnya yang juga punya peran besar dalam merawat para pejuang yang terluka saat pertempuran.
Tercatat, dr Soewandi bersama-sama turut berjuang merawat dan mengobati para pejuang bersama Soetopo yang kala itu menjabat Kepala Rumah Sakit Simpang. Kemudian ada juga drg Moestopo dan sebagainya.
Pada masa revolusi kemerdekaan, dr Soewandhie merupakan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Surabaya pertama. Karena peran dan jasanya, dr Soewandhie kemudian diangkat menjadi Ketua PMI Jatim.
Karena perannya ini dan merupakan Arek Suroboyo, Pemkot Surabaya akhirnya memutuskan mengabadikan menjadikan nama rumah sakit yang berada di Jalan Tambarejo itu.
"Kenapa dokter Soewandhie? Beliau menjadi ketua PMI pertama di Surabaya. Kemudian naik lagi menjadi Ketua PMI Jawa Timur," terang Zaki.
"Ya mungkin pertimbangannya itu, peran dan asli Suroboyo. Itu dulu RSUD awalnya puskesmas Tambakrejo kemudian dikembangkan menjadi rumah sakit. Dan untuk menghargai jasa-jasanya diabadikan nama dr Soewandhie," imbuhnya.
Dalam pertempuran 10 November 1945, terang Zaki, dr Soewandhie merawat para pejuang yang terluka di Rumah Sakit Simpang. Saat itu bersama Kepala rumah sakit dr Soetopo mengevakuasi sekitar 3 ribu pejuang yang terluka keluar Surabaya.
Para pejuang yang terluka itu diangkut menggunakan kereta api di Stasiun Gubeng hingga 5 hari. Itu dilakukan karena posisi tentara sekutu terus memukul mundur posisi pejuang Surabaya.
Meski sama-sama merawat para pejuang pada Pertempuran 10 November 1945, namun saat itu para dokter dibagi sesuai spesialisasi dan bidangnya. Ada di bagian bedah, anatomi hingga anestesi sendiri. Pada Pertempuran 10 November 1945, dr Soewandhie merupakan salah satu dokter di markas pertahanan Surabaya.
"Kalau dokter Soewandhie itu kan memang dia menjadi dokter markas pertahanan Surabaya. Jadi dia banyak yang mengurusi korban, karena tidak ada dokter yang menganggur pada saat itu, tidak ada dokter yang istirahat, termasuk dokter Soewandhie," terang Zaki.
"Sehingga nama beliau diabadikan menjadi nama RS Pemkot Surabaya. Kalau dokter Soetomo punya provinsi, kalau dokter Soewandhie punya pemkot. Diabadikan namanya menjadi RS Pemkot Surabaya," sambungnya.
Dalam pertempuran itu, terang Zaki, suasana rumah sakit sangat mengerikan Karena hampir setiap saat para pejuang ada yang dibawa ke rumah sakit Simpang.
Tingginya jumlah pasien dan keterbatasan obat-obatnya turut melengkapi situasi pada saat itu. Tak heran pada saat itu, Gubernur Suryo dan Bung Tomo sampai memanggil semua dokter yang ada di Jakarta untuk membantu ke Surabaya.
"Ya kalau ada situasi rumah sakit di Surabaya yang over pasien dalam sejarah ada dua momen. Pada waktu perang 10 November 1945 dan COVID-19 kemarin itu. Cuma beda waktu dan konteksnya saja," ujar Zaki.
"Bayangkan saja, saat itu dengan keterbatasan obat-obatan, pejuang-pejuang yang terluka itu dibedah tanpa dibius. Dokter juga terbatas," tuturnya.
"Nah, dr Soewandhie memang perannya beliau dalam merawat korban perang sangat luar biasa. Tak hanya dokter Soewandhie, Wali Kota Surabaya pertama era kemerdekaan dulu adalah dokter bernama dr Radjamin Nasution juga sampai ikut merawat korban dan tugas pemerintahan ditinggal sejenak untuk merawat korban. Anaknya juga dokter dan ikut merawat," tandas Zaki.