Sejarah Pertempuran 10 November, Kisah Heroik Arek-arek Surabaya

Sejarah Pertempuran 10 November, Kisah Heroik Arek-arek Surabaya

Angely Rahma - detikJatim
Sabtu, 09 Nov 2024 14:40 WIB
7 Tokoh Pertempuran Surabaya 10 November: Profil dan Perannya
Ilustrasi pertempuran di Surabaya. Foto: Edi Wahyono/detikcom
Surabaya -

Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa para pahlawan yang gugur dalam pertempuran Surabaya. Simak sejarah pertempuran 10 November di Surabaya.

Momen heroik yang terjadi pada tahun 1945 ini merupakan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Sejarah Pertempuran Surabaya 10 November 1945

Pertempuran Surabaya pada 10 November bukan hanya menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan, tetapi juga bukti nyata semangat juang rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari kekuatan asing yang berusaha kembali menguasai negeri ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedatangan Pasukan Sekutu

Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari ancaman penjajahan. Salah satu ancaman terbesar datang dari pasukan sekutu, yang tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945.

Pasukan Inggris dari Brigade 49, yang dipimpin Brigadir Jenderal A W S Mallaby mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Tujuan resmi kedatangan mereka adalah melucuti senjata tentara Jepang yang telah kalah dalam Perang Dunia II, dan menyelamatkan para tawanan sekutu yang ditahan Jepang.

ADVERTISEMENT

Namun, kehadiran mereka menimbulkan kecurigaan dan ketegangan di kalangan rakyat dan pemerintah Jawa Timur. Pada awalnya, rakyat Surabaya, yang dipimpin Gubernur RMTA Suryo enggan menerima kehadiran pasukan sekutu.

Alasan utamanya karena ada dugaan pasukan Inggris membawa serta tentara Belanda dari Netherlands Indies Civil Administration (NICA), yang berniat memulihkan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Untuk meredakan ketegangan, diadakan pertemuan antara Jenderal Mallaby dan para pemimpin rakyat Surabaya. Dalam pertemuan itu, Inggris berjanji tidak akan melibatkan tentara Belanda dan hanya akan melucuti senjata Jepang. Kedua belah pihak juga sepakat menjalin kerja sama demi menjaga ketertiban dan keamanan di Surabaya.

Sekutu Melanggar Kesepakatan

Meski telah ada kesepakatan antara pasukan sekutu dan rakyat Surabaya pada 26 Oktober 1945, nyatanya Inggris melanggar janji yang telah dibuat. Pasukan sekutu menyerang penjara Kalisosok untuk membebaskan tawanan Belanda.

Tak hanya itu, mereka juga menyebarkan pamflet yang memerintahkan rakyat Surabaya menyerahkan senjata yang mereka miliki. Tindakan ini memicu kemarahan besar dari rakyat Surabaya dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian bertekad mengusir pasukan sekutu dari Indonesia.

Pada 27 Oktober 1945, terjadilah kontak senjata pertama antara rakyat Surabaya dan pasukan Inggris. Para pemuda Surabaya berhasil melumpuhkan beberapa tank milik sekutu dan merebut beberapa objek vital di kota.

Pertempuran ini terus meluas, hingga memaksa sekutu meminta bantuan dari Presiden Soekarno untuk menengahi konflik dan mengupayakan gencatan senjata. Pada 29 Oktober 1945, gencatan senjata berhasil disepakati, namun situasi di lapangan tetap tidak stabil.

Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby

Kedamaian sementara ini pecah pada 30 Oktober 1945, ketika terjadi insiden yang menyebabkan kematian Brigadir Jenderal Mallaby. Mobil yang ditumpangi Mallaby meledak di sekitar Jembatan Merah.

Saat itu, ia sedang dalam perjalanan menuju Gedung Internatio, markas besar Inggris di Surabaya. Kematian Mallaby memicu kemarahan besar dari pihak sekutu, yang kemudian menuntut pertanggungjawaban dari rakyat Surabaya.

Ultimatum Inggris

Sebagai tanggapan atas tewasnya Jenderal Mallaby, pada 9 November 1945, Mayor Jenderal E C Mansergh, yang menggantikan Mallaby sebagai komandan pasukan Inggris di Surabaya, mengeluarkan ultimatum kepada seluruh rakyat Surabaya.

Ultimatum tersebut berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata mereka, mengibarkan bendera putih, dan berjalan dengan tangan di atas kepala menuju pos-pos pasukan Inggris. Ultimatum ini diberi tenggat waktu hingga pukul 06.00 pagi pada 10 November 1945.

Ultimatum tersebut dianggap sebagai penghinaan besar terhadap harga diri dan martabat bangsa Indonesia. Gubernur Suryo, sebagai pemimpin Jawa Timur, secara tegas menolak ultimatum ini atas nama rakyat Surabaya.

Rakyat Surabaya memilih mempertahankan kemerdekaan yang telah mereka peroleh dengan darah dan air mata, meski harus menghadapi ancaman kekuatan militer sekutu yang jauh lebih besar dan lebih lengkap persenjataannya.

Pertempuran 10 November

Menjelang pagi pada 10 November 1945, pasukan Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran ke Surabaya, baik melalui darat, laut, maupun udara. Mereka membombardir Kota Surabaya dengan kekuatan penuh.

Namun, rakyat Surabaya tidak tinggal diam. Dipimpin tokoh-tokoh penting seperti Bung Tomo, yang melalui siaran radionya membakar semangat juang para pemuda, perlawanan rakyat semakin menguat. Bung Tomo dengan orasi berapi-apinya menjadi simbol perlawanan rakyat Surabaya yang dikenal sebagai "Arek-arek Suroboyo".

Tidak hanya para pemuda yang berjuang, seluruh elemen masyarakat ikut terlibat dalam pertempuran ini. TKR, Partai Rakyat Indonesia (PRI), Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Tentara Pelajar, dan Polisi Istimewa turut serta dalam perjuangan ini.

Bahkan, kelompok buruh, pelajar, dan masyarakat sipil dari berbagai lapisan bahu-membahu mempertahankan kota mereka dari serangan sekutu. Pertempuran 10 November 1945 berlangsung selama tiga minggu dengan intensitas yang sangat tinggi.

Kota Surabaya porak-poranda akibat serangan artileri dan pengeboman, namun semangat perlawanan rakyat tidak pernah padam. Walaupun banyak korban berjatuhan di pihak Indonesia, baik dari pejuang maupun rakyat sipil, namun perlawanan rakyat Surabaya berhasil menahan gempuran pasukan Inggris dan Belanda.

Tokoh-tokoh Penting dalam Pertempuran Surabaya

Selain Bung Tomo yang dikenal luas karena orasi-orasinya, ada beberapa tokoh penting lain yang ikut dalam pertempuran ini. Gubernur Suryo, sebagai pemimpin daerah Jawa Timur, memberikan dukungan penuh terhadap perjuangan rakyat. Ia menolak ultimatum sekutu dan mengimbau rakyat untuk tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Drg Moestopo, seorang tokoh militer dan pemimpin pasukan, juga memainkan peran penting dalam mengatur strategi pertahanan rakyat Surabaya. Di samping itu, KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah, serta para kiai dan santri dari pesantren-pesantren di sekitar Surabaya turut menggerakkan rakyat untuk ikut serta dalam perlawanan.

Artikel ini ditulis oleh Angely Rahma, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(abq/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads