Kisah Majalah Djaka Lodang, 51 Tahun Eksis Nguri-uri Bahasa Jawa

Kisah Majalah Djaka Lodang, 51 Tahun Eksis Nguri-uri Bahasa Jawa

Paradisa Nunni Megasari - detikJateng
Minggu, 01 Jan 2023 08:46 WIB
Kantor Majalah Djaka Lodang di Patehan, Kraton, Jogja. Foto diambil Senin (26/12/2022)
Majalah Djaka Lodang di Jogja (Foto: Paradisa Nunni Megasari/detikJateng)
Yogyakarta -

Djaka Lodang, salah satu majalah berbahasa Jawa yang berkantor di Jalan Patehan Tengah, Kraton, Jogja, saat ini sudah berusia 51 tahun. Majalah yang satu ini tetap eksis dengan semangatnya nguri-uri atau melestarikan kebudayaan Jawa.

Pimpinan Redaksi Djaka Lodang, Kuswinarni atau yang kerap disapa Wiwin mengatakan, majalah Djaka Lodang sebelumnya didirikan oleh ayahnya Kusfandi dan rekannya Abdullah Purwodarsono.

Wiwin mengatakan majalah yang bernama Djaka Lodang itu sebelumnya bernama Kembang Brayan dan didirikan pada 1 Juni 1971.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Djaka Lodang ini berdiri tahun 1971, kita ulang tahun setiap tanggal 1 Juni dan pendirinya adalah Pak Kusfandi dan Pak Abdullah Purwodarsono. Kalau saya putranya Pak Kusfandi," kata Wiwin saat ditemui detikJateng di Kantor Djaka Lodang, pada Senin (26/11/2022).

Wiwin mengatakan majalah yang didirikan oleh ayahnya itu berfokus untuk melestarikan bahasa dan kebudayaan Jawa. "Kami memang berkonsentrasi untuk nguri-uri kebudayaan Jawa dan bahasa Jawa," kata Wiwin.

ADVERTISEMENT

Wiwin mengungkap sebelum bernama Djaka Lodang, majalah tersebut bernama Kembang Brayan. Kemudian diubah menjadi Djaka Lodang yang diambil dari nama karya sastra milik pujangga Jawa bernama Ranggawarsita.

"Dulu namanya Kembang Brayan, kemudian bapak dan Pak Abdullah mengganti nama jadi Djaka Lodang. Nama ini diambil dari karya sastranya Raden Ngabei Ranggawarsita, serat milik Ranggawarsita," kata Wiwin.

Redaktur Djaka Lodang, Tatiek Kalingga menambahkan kisah tentang latar belakang berdirinya Djaka Lodang. Menurutnya, para pendiri Djaka Lodang ingin membangun sebuah media berbahasa Jawa agar memiliki ciri khas yang berbeda dari majalah atau berita-berita harian lainnya yang berbahasa Indonesia.

"Saya bergabung (dengan Djaka Lodang) hampir 20 tahun. (Saya) mendengar cerita para pendiri, karena kalo (berita) Bahasa Indonesia dari berita harian sudah banyak, karena dulu Pak Kusfandi punya Bernas Jogja," kata Tatiek.

"Karena (Pak Kuswandi) sudah banyak mengelola media berbahasa Indonesia, makanya bagaimana caranya bisa mendirikan majalah yang berbahasa Jawa untuk melestarikan bahasa, kalau nggak dirawat dari awal mungkin sampai saat ini kita sudah kehilangan ya," imbuh Tatiek.

Pelanggan Setia Djaka Lodang

Wiwin mengatakan hingga saat ini Djaka Lodang masih memiliki pelanggan setianya. Menurutnya, pelanggan setia mereka adalah para generasi tua yang masih menyenangi majalah offline atau membaca fisik majalah secara langsung. Maka, Wiwin yakin Djaka Lodang masih dapat hadir memfasilitasi pelanggannya.

"Kita ini kan (media) offline ya, pembaca setia kita masih ada, masih banyak, masih cukup, meskipun susah ya mempertahankannya. Pembaca kita masih ada, dan generasinya tua, kami tetap menjaga karena kan kalo sudah pada sepuh (tua) kan kalau harus pakai yang baru-baru atau online kan susah, kami masih punya keyakinan, masih ada dan masih bisa, dan kami masih bisa hadir," kata Wiwin.

Selangkapnya di halaman berikut.

Wiwin mengungkap sebelumnya, Djaka Lodang sempat berhasil terjual hingga 15 ribu eksemplar. Masa-masa keemasan Djaka Lodang itu terjadi pada era 1980-an.

"Beberapa tahun yang lalu kami pernah mempunyai omset yang tinggi sekitar 15 ribu eksemplar," kata Wiwin.

"Itu sekitar tahun 1980-an," kata Tatiek.

Hingga saat ini, Wiwin mengatakan salah satu rubrik yang menjadi ikon Djaka Lodang adalah Jagading Lelembut. Rubrik tersebut menceritakan kisah-kisah horor. Bahkan, saat ini rubrik Jagading Lelembut tersebut telah diterbitkan menjadi buku kumpulan rubrik tersendiri.

"Ikon kami ada Jagading Lelembut, itu cerita-cerita horor. Dan itu sudah ada buku antologinya, baru edisi pertama, dan alhamdulillah ini laris juga, maka kita akan buat edisi selanjutnya. Rubrik ini banyak penggemarnya," kata Wiwin.

Tatiek mengungkap, Djaka Lodang sukses menjual 300 eksemplar dari 500 eksemplar produksi buku antologi jagading lelembut tersebut yang dijual dengan harga Rp 75.000 per bukunya.

"(Produksi) Sekitar 500 eksemplar, laku terjual 300 eksemplar dan harganya hanya Rp75.000," ujar Tatiek.

Halaman 2 dari 2
(ams/aku)


Hide Ads