Sosok MW Widyasastra Pitaya, Abdi Dalem Perawat Naskah Keraton Jogja

Sosok MW Widyasastra Pitaya, Abdi Dalem Perawat Naskah Keraton Jogja

Paradisa Nunni Megasari - detikJateng
Rabu, 28 Des 2022 16:54 WIB
MW Widyasastra Pitaya, abdi dalem perawat naskah Keraton Jogja.
MW Widyasastra Pitaya, abdi dalem perawat naskah Keraton Jogja. (Foto: dok. Keraton Jogja)
Yogyakarta -

Keraton Jogja memiliki pusat penyimpanan naskah dan arsip masa lalu yang disimpan di Kawedanan Widya Budaya. Di dalamnya terdapat ribuan layang, serat, babad dan dokumen-dokumen kenegaraan yang diterbitkan sejak abad ke-18.

Layang, serat, hingga dokumen Keraton Jogja tersebut dirawat dan dikelola oleh seorang abdi dalem bernama Mas Wedana Widyasastra Pitaya. Sosok MW Widyasastra Pitaya bertugas secara penuh menjaga, mengelola, serta mengawetkan naskah-naskah keraton, termasuk merestorasi demi memperpanjang usia naskah kuno.

Lalu, bagaimana cerita sosok MW Widyasastra Pitaya mengelola dan merawat naskah Keraton Yogyakarta? Berikut cerita lengkapnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Awal Mula Kelola Arsip Keraton

Dikutip dari laman resmi Keraton Jogja, kratonjogja.id, MW Widyasastra Pitaya yang bernama asli Muhammad Ali Pitaya atau yang kerap disapa Pitaya ini menceritakan awal mula ia bergabung dengan Keraton Jogja.

Pitaya mengatakan pada tahun 1995 ia aktif bekerja sebagai PNS di Kantor Arsip Daerah DIY. Pada saat itu kantor tempatnya bekerja tengah melakukan kegiatan pengelolaan arsip di Kawedanan Widya Budaya.

ADVERTISEMENT

"Tahun 1995 kebetulan Kantor Arsip Daerah ada kegiatan pengelolaan arsip di Widya Budaya. Salah satu tenaga proyek itu saya," kata Pitaya, dikutip detikJateng dari laman kratonjogja.id, Rabu (28/12/2022).

Berawal dari proyek tersebut Pitaya kerap ditugaskan di lingkungan keraton. Pitaya kemudian ditugaskan untuk membuat deskripsi arsip. Menurut Pitaya, saat pertama kali ia bertugas, daftar arsip di Kawedanan Widya Budaya belum sesuai standar.

"Kebetulan pada saat saya membuat daftar arsip yang pertama tahun 1996, (daftar arsipnya) belum sesuai standar yang berlaku, karena waktu itu pedoman pengelolaan arsip juga belum seperti sekarang," kata Pitaya.

Untuk itu, pria lulusan D3 Kearsipan UGM dan D4 Kearsipan Universitas Terbuka itu dan rekan timnya berinisiatif membuat daftar demi mempermudah pengunjung dan peneliti yang membutuhkan arsip tertentu. Mereka memilah-milah dokumen berdasarkan tema, tepas, kawedanan, dan periode sultan.

Salah satu tantangan yang dihadapinya saat itu adalah belajar membaca aksara Jawa 'seredan' atau aksara Jawa yang lebih mirip huruf bersambung. Hal itu diperlukan untuk memasukkan informasi di dalam naskah beraksara Jawa tersebut ke dalam arsip.

Pitaya mengatakan naskah dan persuratan tertua yang ada di keraton, berasal dari masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1828).

Menurutnya, tidak semua masa pemerintahan keraton memiliki arsip, hal ini disebabkan oleh adanya penjarahan naskah pada masa kolonial.

"Ada masa yang kosong atau cuma sedikit (arsipnya)," kata Pitaya.

Pitaya kemudian diangkat menjadi abdi dalem pada tahun 2000 atas rekomendasi Penghageng Widya Budaya berkat intensitas dan ketekunannya dalam menjalankan tugas. Hingga saat itu, ia sudah sering terlibat dalam kegiatan keraton, termasuk Hajad Dalem, seperti Labuhan dan Garebeg.

Pitaya memulai dari tahap magang dengan pangkat jajar. Pangkatnya naik secara berkala, menjadi Bekel Enom, Bekel Sepuh, dan kini Wedana.

Mulai Merestorasi Arsip Keraton

Pada tahun 2001, tim arsip Kawedanan Widya Budaya akhirnya bisa membuat pedoman yang sesuai standar. "Jadi yang kita buat bukan (lagi) daftar arsip, tetapi daftar senarai arsip," kata Pitaya.

Sementara itu, tugas utama Pitaya sebagai abdi dalem di kawedanan, yaitu merestorasi naskah-naskah lama yang terancam rusak. Dalam pelaksanaannya, pihak Arsip Nasional memberi bimbingan pada tahap awal restorasi.

Naskah yang rusak parah kemudian diprioritaskan untuk direstorasi. Kondisi tersebut membuat tim arsip harus melakukan digitalisasi naskah. Metode ini akan memperpanjang usia naskah asli yang tak boleh sering-sering tersentuh tangan.

Antara tahun 2009-2011, Universitas Leipzig, Jerman memberikan bantuan teknis terkait kodikologi (analisis aspek-aspek fisik naskah kuno), restorasi, dan digitalisasi. Universitas tersebut mengajarkan cara-cara untuk menjilid, mengganti sampul, dan sebagainya.

Hingga pada tahun 2015, Pitaya mengemban peran besar sebagai penentu naskah yang harus direstorasi sesuai level urgensinya karena keraton menjalankan program restorasi tersebut secara mandiri.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.

Selain itu, Pitaya dan rekannya di tim arsip juga harus menjadi pemandu dalam acara pameran yang dilaksanakan oleh Kawedanan Widya Budaya dalam setahun sekali. Kawedanan Widya Budaya juga bertanggung jawab menyiapkan Hajad Dalem.

Satu lagi peran besar dari Pitaya adalah mengalihaksarakan naskah dari aksara Jawa ke aksara latin, kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Pitaya dan rekannya mengalihaksarakan naskah-naskah ini setiap hari.

Kerja keras Pitaya dan rekannya tersebut akhirnya teruji dan dipercaya saat pimpinan Arsip Nasional meminta sebuah arsip. Pitaya pun berhasil menyediakan arsip tersebut dalam waktu setengah menit.

"Dulu pernah ada kunjungan Kepala Arsip Nasional. Beliau menantang kami petugas untuk mencari arsip. Waktu itu tidak sampai setengah menit kami dapat menyajikan arsip yang beliau kehendaki," kata Pitaya.

Tantangan Merestorasi Naskah Tua dan Rapuh

Naskah kuno yang sudah sangat tua dan rapuh memerlukan restorasi dengan gerak cepat untuk menyelamatkannya, sementara tenaga yang ada terbatas.

Hal tersebut membuat Pitaya berharap agar generasi muda dapat berperan menjaga warisan budaya apapun bentuknya.

"Warisan budaya lama kelamaan akan rusak termakan usia. Bagaimana cara mereka (generasi muda) agar bisa menikmati sekaligus menjaga kelestariannya," kata Pitaya.

Terkait dengan arsip, Pitaya berharap penataan dan digitalisasi arsip di keraton cepat selesai. "Kalau cepat kita selamatkan, membuat panjang umur arsipnya karena di sini masih ada jutaan lembar arsip yang perlu diselamatkan," kata Pitaya.

"Walau kita tidak berharap arsip rusak tetapi untuk antisipasi kita harus buat backup digitalisasinya karena kalau arsip (ada) yang sebagian tintanya aman, ada yang sebagian tinta dan kertasnya dalam jangka waktu tertentu rusak karena keasaman. (Kita) bisa baca dari digitalisasinya," imbuhnya.

Untuk itu, hingga saat ini, Pitaya terus berkontribusi sekuat tenaga menjaga warisan budaya dengan keahlian berharga yang dimilikinya.

Bangga Jadi Abdi Dalem Keraton

Pitaya bertugas di keraton selama tiga hingga empat kali dalam seminggu. Selain itu, ia masih punya sederet aktivitas profesional kearsipan di luar keraton.

Pitaya mengaku bangga bisa menjadi abdi dalem keraton, karena menurutnya, status tersebut dipandang lebih oleh masyarakat. "Jika bertugas di luar sambutan masyarakat sangat senang, minta foto," kata Pitaya.

Selain itu, ia juga kerap dimintai informasi, pendapat, bahkan saran terkait peristiwa yang tengah ramai dibahas. Hal serupa pernah ia lihat sebelumnya saat sang ayah juga pernah bertugas sebagai abdi dalem di Kepatihan (Kantor Gubernur) dan menangani tata usaha hingga masa pensiunnya.

Bagi Pitaya salah satu kebaikan yang melekat pada diri abdi dalem adalah tata krama yang terjaga, termasuk saat berbicara dengan orang yang lebih tua. Selain itu adalah perasaan yang semeleh, jauh dari keserakahan.

Menurut Pitaya, tidak ada upaya saling menjatuhkan di dalam keraton, semua pihak bekerja sama dengan baik.

Halaman 2 dari 2
(aku/ams)


Hide Ads