Eks Kepala Satpol PP Kota Semarang, Fajar Purwoto, memiliki kisah unik dalam upayanya nguri-uri budaya Jawa. Pensiunan Aparat Sipil Negara (ASN) itu hingga kini setia merawat 375 keris yang tak pernah ia beli.
Usai pensiun dari jabatan Kepala Satpol PP Kota Semarang sejak tahun lalu, Fajar kini lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Tapi siapa sangka, rumah Fajar justru menyimpan ratusan benda pusaka yang tak biasa, yakni ratusan bilah keris yang menurutnya datang sendiri, tanpa pernah ia beli.
"Jumlahnya sekitar 375 keris sekarang. Mulai dari keris lurus sampai yang ber-luk, dari 3 luk sampai 21 luk," kata Fajar saat ditemui di rumahnya, di Jalan Masjid, Kelurahan Tambakaji, Kecamatan Ngaliyan, Kamis (12/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Fajar, keris bukan sekadar benda tajam bersejarah. Ia menyebutnya sebagai bentuk kecintaannya pada budaya Jawa. Hobi ini mulai digelutinya sejak 2004, saat ia menjabat sebagai Camat Gayamsari. Tapi ia menegaskan, tidak pernah sekalipun ia membeli keris-keris itu.
"Saya enggak beli. Cuman aku kepengin keris Nogo Sosro Sabuk Inten. Tahu-tahu diberi bayangan. Akhirnya beberapa hari saya transfer di pohon depan rumah. Terus ngajak temen. 'Mas, kae ono kerise tolong dijikuk (itu ada keris tolong diambil). Akhirnya muncul," ungkapnya.
Kemudian sejak 2011, kisah datangnya keris-keris itu semakin sering terjadi. Ia mengatakan, dalam satu minggu kadang ada dua-tiga keris yang muncul.
"Tahu-tahu dapat 8. Jadi datang sendiri. Saya nggak pernah beli, karena kalau bicara nilai itu keris dibilang tidak ada nilainya, tapi juga bisa jadi miliaran bagi yang suka," ujarnya.
Bagi Fajar, keris-keris itu seperti 'datang sendiri'. Kadang ada yang muncul di depan rumahnya. Kadang juga terlihat di bawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap wingit alias angker. Namun, Fajar punya prinsip tidak pernah mengambil keris dari kuburan.
"Di kuburan pasti ada tapi jangan ngambil yang di kuburan karena orangnya kan tidak baik. Terus di tempat wingit, pasti ada kerisnya. Di pohon bambu, walaupun bambunya masih muda, di desa, di hutan. Di kota juga banyak. Sini kan masuknya kota," urainya.
![]() |
"Kalau orang bicara khodam atau isinya, ya tergantung keyakinan masing-masing. Tapi bagi saya, yang penting kita tetap percaya bahwa semua milik Allah. Kita manusia lebih mulia," tegasnya.
Dari ratusan keris yang ia miliki, ada satu yang paling berkesan baginya. Keris itu selalu ia bawa saat masih menjabat sebagai Kepala Dinas Satpol PP Kota Semarang.
"Orang-orang nggak tahu, dikira tongkat komando. Padahal itu keris. Namanya nggak saya sebutkan, biar yang tahu aja yang nyebut," kata Fajar sambil memperlihatkan keris berwarna emas.
Keris itu memiliki motif naga memakan bumi. Menurutnya, sugesti dari keris itu sangat kuat, terutama saat ia bertugas menegakkan aturan di lapangan.
"Ini sugestinya luar biasa, selalu bawa ke mana-mana, termasuk saat saya dimintai tolong rekayasa cuaca. Walaupun semuanya ya istimewa," tuturnya.
"Termasuk karena saya anggap ini yang paling baik dan membantu saya saat jadi Kasatpol, karena itu berat. Ini yang selalu menambah sugesti saat saya melakukan penindakan," lanjutnya.
Meski begitu, Fajar selalu menekankan agar tidak berlebihan dalam mempercayai hal mistis. Ia memegang erat prinsip bahwa yang harus disembah hanyalah Tuhan Yang Maha Esa.
"Jangan sekali-kali memperoleh bahwa karena ini jabatanmu naik, itu musyrik. Mendewakan itu. Nggak boleh. Jangan terlalu dipuja karena yang wajib kita sembah kan Allah," tegasnya.
Heran jika Ada yang Bilang Keris Barang Mahal
Bagi Fajar, mengoleksi keris bukan soal mistik atau harga. Bahkan, ia mengaku sering heran jika ada yang menilai keris sebagai barang mahal.
"Kalau mahal berarti saya kaya banget dong? Keris itu pendapat saya tidak laku, orang tidak suka, tapi bisa jadi mahal banget. Karena rangkanya kadang dilapisi emas, terus dikasih berlian. Itu yang bikin mahal," ungkapnya.
Fajar justru lebih khawatir jika generasi muda semakin asing dengan budaya Jawa. Pria asal Purbalingga itu pun kini kerap mengenalkan keris kepada cucunya yang berumur lima tahun.
"Aja (jangan) sampai wong (orang) Jawa iki ilang Jawane. Karena keris ini kan terbuat sekitar 5 Masehi. Suwi (lama) banget loh, zaman Keraton. Lah kita ini sudah generasi Z kalau anak-anak ndak ngerti ini apa, itu kan malah lucu," tuturnya.
![]() |
"Ini punya saya di atas 500 tahun. Karena ya tidak beli, ngambil dari alam gaib. Saya transfer di pohon, terus tinggal minta apa, misal minta kembang melati, tak taruh melati di situ, beli Rp 5 ribu tok," sambungnya.
Meski menurutnya keris-keris itu dari Sunan Kalijaga hingga Nyi Roro Kidul, Fajar tak neko-neko dalam merawat kerisnya. Ia cukup menggunakan kembang melati dan sabun cuci piring. Kerap kali ia menjamas kerisnya saat malam 1 Muharram alias 1 Suro.
"Ya karena kita sudah dipercaya ngopeni (merawat) ya kita resiki (bersihkan), jangan sampai nanti tahu-tahu 10 tahun tidak di jamas, pusakanya bolong-bolong," katanya.
Ia juga sering dimintai tolong oleh para kolektor untuk membersihkan pusaka mereka. Tapi sekali lagi, Fajar mengingatkan agar tidak sampai terjebak dalam fanatisme berlebihan terhadap benda pusaka. Ia juga tak menjual keris-keris yang kini disimpan di rumahnya itu.
"Kita itu lebih mulia di hadapan Allah. Jadi kerisnya ya tinggal aja, kan ada aturannya. Jangan diduduki pakai pantat, pasti marah lah. Tidak ada etika, nggak sopan. Kita kan etika Jawa dipakai. Nggo ngajeni (untuk menghargai), nggak ada niat lain," tuturnya.
"Misal begitu ini saya putus, kadang kita panas, emosi, tahu-tahu kita nyupir ditabrak. Kenapa harus percaya itu? Ya memang di Al-Qur'an disebutkan kita harus percaya kepada barang gaib. Tapi kita harus berkeyakinan bahwa kita lebih mulia dari mereka," tutupnya.