Warga Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, kembali menggelar aksi menuntut tanah peninggalan nenek moyangnya agar dikembalikan kepada petani. Warga kali mengadu kepada anggota DPRD Pati.
Pantauan detikJateng di lokasi, warga yang merupakan petani mendatangi kantor DPRD Pati hari ini, Senin (20/1/2025). Mereka membawa berbagai poster dengan tulisan aspirasi mereka dan dipasang di depan kantor wakil rakyat.
Warga yang terdiri dari bapak-bapak hingga emak-emak ini menggelar doa di depan kantor DPRD Pati. Perwakilan massa juga ditemui jajaran Komisi B DPRD Pati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu warga, Suryanto, mengatakan tanah yang menjadi konflik antara warga dengan sebuah perusahaan ini merupakan warisan nenek moyang petani Desa Pundenrejo. Menurutnya, tanah seluas 7,3 hektare itu telah digarap petani Desa Pundenrejo sejak 1950. Suryanto yang kini berusia 60 tahun lebih ini ikut menggarap tanah tersebut.
"1950 itu sudah digarap orang tua kami. Tahun 1960 sudah ditanami warga. Akhirnya hidup bertani di sana. Termasuk saya ikut garap sawah tanah ini," kata Suryanto saat mengadu kepada jajaran Komisi B DPRD Pati, hari ini.
Menurutnya, tanah itu selanjutnya dipegang oleh sebuah perusahaan pada tahun 1973. Setelah itu muncul sertifikat hak guna bangunan atau HGB pada 1973.
"Terus akhirnya tahun 1999 Pabrik Pakis tutup, tanah menjadi telantar," ungkap dia.
Setelah itu warga kembali menggarap tanah itu pada 2000 silam. Warga menggarap tanah itu sampai 2020. Namun pada 2021 perizinan HGB keluar dengan periode sampai 27 September 2024.
"Setelah habis digarap sama warga tapi masih dirusak PT LPI karena jangka waktu susah habis. Warga menanam pisang dirusak sama pihak PT LPI," ungkap dia.
![]() |
Warga lainnya, Sarmin, mengaku sudah lama memperjuangkan tanah peninggalan nenek moyangnya agar kembali ke petani Desa Pundenrejo. Sarmin berharap kepada wakil rakyat bisa memperjuangkan tuntutan warga.
"Tuntutan petani memang Pak DPRD sebagai wakil rakyat memang kami menuntut supaya permasalahan ini terselesaikan kita bersama-sama berjuang untuk mengembalikan tanah itu supaya kembali ke rakyat Pundenrejo," ujar Sarmin ditemui di kantor DPRD Pati.
"Memang konflik berkepanjangan ini rakyat membutuhkan saya minta supaya bapak DPR memberikan rekomendasi supaya tanah itu kembali ke rakyat Pundenrejo," dia melanjutkan.
Sarmin menyebut tanah itu dulunya peninggalan nenek moyang mereka. Akan tetapi ketika penjajah Belanda datang ke Pati, tanah itu direbut oleh penjajah. Maka Sarmin meminta tanah itu dikembalikan kepada warga.
"Karena tanah itu milik nenek moyang yang dulunya dirampas Belanda sekarang dirampas oleh orang yang berkapitalis. Kami bertekad memperjuangkan mengembalikan tanah itu kepada warga Pundenrejo," tutur dia.
Konfirmasi Perusahaan
Perwakilan PT LPI, Teguh Hindrawan, mengatakan perusahaannya masuk ke Pati mulai 2000 silam. Perusahaan ini bergerak di bidang industri makanan hingga gula.
"Masuk di sini dengan akuisisi lahan dan pabrik saat itu sedang tidak operasi," kata Teguh saat hadir di gedung DPRD Pati siang tadi.
Menurutnya justru perusahaan ini membantu ekonomi Pati karena membangkitkan pabrik gula yang saat itu kondisinya tidak beroperasi. Teguh mengklaim bisa kembali membangkitkan pabrik gula beroperasi mulai 2010.
"Kami masuk di sini dengan proses, kami ikuti perizinan sudah ada kita ikuti, sampai saat ini ikuti perizinan sedang berlaku," ujar dia.
Teguh mengatakan beriringan jalan membeli aset lahan tanah seluas 7,3 hektare yang ada di Desa Pundenrejo. Namun saat itu tanah itu dikuasai oleh masyarakat. Padahal menurutnya tanah itu milik dari pabrik gula.
"Sebagian besar dikuasi oleh masyarakat. Secara kepemilikan dari PT Pabrik Gula saat itu. Kita beli dengan aturan berlaku," ujarnya.
"Namun memang lahan dikuasai oleh bapak ibu penggarap. Sampai tahun 2016-2019 Bupati Pati saat itu mediasi akhirnya solusi menyelesaikan ini dengan mendaftarkan 77 penggarap," ujarnya.
Akhirnya sebagian besar petani yang sebelumnya menguasai tanah lalu menyerahkan kepada pihak perusahaan. "Saat itu 2019 masih digarap, sebagian besar penggarap menyerahkan secara sukarela kepada pihak pabrik," ujarnya.
Terkait dengan perizinan HGB, Teguh membenarkan hal tersebut. Namun tanah itu sejak awal dikuasi oleh masyarakat, sehingga pihaknya tidak bisa mengelola secara sesuai peruntukan sesuai izin HGB.
"Terkait dengan masalah HGB itu betul. Sertifikat HBG ada 5 sertifikat. Dari awal mendukung usaha tetapi karena dikuasai oleh masyarakat bagaimana cara memanfaatkan untuk membangun," terang dia.
Teguh juga mengaku saat ini mengurus untuk memperpanjang izin HGB tanah itu kepada pihak BPN Pati. Teguh berharap tanah itu bisa dikelola kembali oleh perusahaannya.
"Kami sebagai pemegang hak dan tanah memiliki HBG Kami mengajukan permohonan ini sudah kami lakukan sebelum masa HBG berakhir ini sudah kami lakukan ajukan," ucap Teguh.
Respons DPRD
Sementara itu, Ketua Komisi B DPRD Pati Muslikan mengaku mendengar permasalahan masyarakat yang ada di Pati. Dia berjanji akan menyelesaikan permasalahan ini untuk kepentingan rakyat.
"Apa pun persoalan yang muncul di Pati untuk kepentingan rakyat untuk diselesaikan secara bersama-sama. Kita tidak mau kedua belah pihak dirugikan," kata Muslikan.
"Apa pun langkah tidak menyalahkan aturan itu hak, kita selesaikan bersama," tambah dia.
Sebelumnya, warga juga sempat menggelar aksi di kantor Bupati Pati menuntut tanah peninggalan nenek moyang dikembalikan kepada petani Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu. Namun aksi yang digelar Jumat (4/10/2024) lalu tidak kunjung ada kejelasan.
Simak Video "Petani Kendeng Demo di DPRD Pati, Minta Hentikan Pendirian Pabrik Tambang"
[Gambas:Video 20detik]
(rih/ams)