Salah satu pusat perbelanjaan di Cirebon yang cukup terkenal adalah Pusat Grosir Cirebon (PGC), yang terletak di Jalan Siliwangi, Kecamatan Kejaksaan, Kota Cirebon. Meski memiliki area yang cukup luas, PGC tampak cukup lenggang, terlihat dari area parkir dan bagian dalam PGC yang sepi pengunjung.
Salah satu pedagang di PGC adalah Heri (51), menurutnya sepinya PGC sudah berlangsung cukup lama. Tak jarang, karena terlalu lama sepi, dalam sehari, Heri tidak mendapatkan pembeli sama sekali.
"Dari semenjak COVID-19 saja tuh, itu mulai sepi, bahkan jarang kan sehari, dua sampai tiga hari juga pernah nggak ada yang beli. Ini kan hari Senin, hari Sabtu-Minggu juga kondisinya sama saja sepi, anjloknya sampai 100 persen," tutur Heri yang juga sebagai Ketua Paguyuban forum pedagang PGC, Senin (6/1/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai seorang pedagang yang sudah berjualan selama puluhan tahun di PGC, Heri merasakan betul perbedaan yang cukup signifikan antara dulu dan sekarang. Sebagai perbandingan. Dulu, Heri sendiri mempunyai 3 ruko, namun, karena sepi, sekarang Heri hanya memiliki 1 ruko yang tersisa.
"Saya jualan di sini dari tahun 2005, pas itu di sini masih bagus, toko sampai 3, pembelinya masih ramai, sampai sekarang sisa 1, di sini saja," tutur Heri.
Heri mengenang, di tahun-tahun awal ia berjualan, Heri bisa mendapatkan omzet yang cukup banyak. Apalagi ketika menjelang Lebaran, ia bisa mendapatkan omzet sampai puluhan juta per hari.
"Kalau dulu, pas bulan libur kayak sekarang, itu bisa buat modal setahun. Setiap liburan ramai, hari biasa juga ramai, dulu bisa sampai 30 juta, pas bulan puasa omzetnya. Kalau sekarang pas bulan puasa saja ramainya, itu pun nggak seramai dulu, paling dapatnya 5 - 10 juta, itupun momennya pas akhir bulan puasa saja. Kalau dulu mah 2 bulan sebelum puasa orang sudah belanja," tutur Heri.
Menurut Heri, ada beberapa penyebab kenapa PGC sepi, salah satunya karena banyaknya orang yang memilih untuk belanja secara online.
"Konsumennya nggak ada, pada ke online. Karena harga lebih murah, membuat harga yang dijual kitanya tuh jatuh, pedagang kayak offline gini kalah, dari mulai harga sampai modal kalah semua," Heri.
Meski berat, menurut Heri, sekarang para pedagang di PGC bisa bertahan saja itu sudah bagus. Karena, lanjut Heri, banyak pedagang di PGC yang gulung tikar, bahkan harus berutang hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena berbulan-bulan jualannya sepi, Heri sendiri sampai menjual mobilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
"Kuat juga karena terpaksa, di sini bertahan juga sampai berdarah-darah, dalam arti sampai jual segala macam barang, demi bisa bertahan, ibaratnya yang tadinya punya mobil sampai jual mobil, yang punya rumah tadinya, sekarang jual rumah, dan itu saya alami sendiri sampai jual mobil buat kebutuhan sehari-hari. Itu yang nggak punya utang, kalau yang punya utang itu lebih berat lagi," tutur Heri.
Sebagai ketua paguyuban pedagang PGC, Heri memperkirakan ada sekitar 50 persen pedagang PGC yang gulung tikar akibat sepinya PGC. Bahkan untuk lantai atas juga, sudah tidak digunakan lagi. "Paling sisanya 50 persen itu juga jalannya terseok-seok, sisa 50 persennya itu sudah gulung tikar, nggak tau pas kontraknya baru nanti pedagang pada minat lagi nggak," tutur Heri.
Menurut Heri, agar bisa mengikuti perkembangan zaman, dirinya dan pedagang yang lain juga sempat untuk berjualan secara online. Namun, tidak bertahan lama, karena kalah dengan yang sudah lebih dulu memulai berjualan. Sebagai pedagang, Heri berharap agar penjualan secara online dibuat regulasi dan aturan yang jelas. Jika tidak, maka akan mematikan pedagang konvensional seperti dirinya.
"Kita tetap coba bertahan, apapun caranya sampai jualan online, agar tetap eksis cuman susah. Kita nggak nyalahin konsumen yang beli online, cuman kalau bisa pemerintah bisa lebih memihak ke kita. Apalagi kita kan yang offline kena pajak, ditambah bayar sewa juga, di situ kebijakan pemerintah harus hadir," tutur Heri.
Apalagi, menurut Heri, kontrak pedagang PGC di tahun 2025 ini mau habis. Para pedagang yang berjualan harus memperbarui kontraknya, meski kemungkinan nominalnya menjadi lebih mahal.
"Ini kan tanahnya Pemda, bangunanya punya swasta. Nah sekarang kontraknya PGC mau habis, inikan PGC cuman sebagai pengelolaan, di bulan Juli tahun 2025, pedagang harus bayar, otomatis kan tambah mahal kontaknya, nggak kayak dulu, dengan kondisi kayak gini, nggak tau pedagang minat lagi apa nggak," tutur Heri.
Heri berharap semoga di bulan Ramadan, PGC dapat kembali ramai, agar bisa menutup modal jualannya selama satu tahun. "Yah semoga saja, pas bulan Ramadan bisa ramai lagi, dan kontraknya juga bisa lebih baik lagi buat pedagang, dan pengelola," pungkas Heri.
Selain Heri, pedagang lain yang mengeluhkan sepinya PGC adalah Dani. Sejak 2006, Dani berjualan pakaian di PGC. Berbeda dengan sekarang, dulu, dalam sehari Dani bisa mendapatkan omzet mencapai jutaan, tapi sekarang, tak jarang, dalam sehari Dani tidak mendapat omzet sama sekali. Meski begitu, Dani bertahan sambil berharap, PGC kembali ramai di bulan Ramadan tiba.
"Dulu hari biasa dapat 1 juta sehari itu gampang, tapi sekarang, sehari kadang nggak ada yang beli sama sekali juga pernah, penyebabnya yah tadi gara-gara jualan online," pungkas Dani.
(sud/sud)