Rencana pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,5% dari pedagang online di platform e-commerce besar memicu keresahan di kalangan pedagang online. Termasuk di Tarakan, Kalimantan Utara.
Fina, seorang pedagang online di TikTok yang telah berjualan makanan olahan homemade sejak 2017, mengaku khawatir. Pasalnya, penarikan pajak akan mengerek harga jual dan mempengaruhi omzet karena daya beli berisiko turun.
"Pedagang yang lemah modal, kurang pandai iklan, tentu akan teriak, bisa jadi gulung tikar. Turunnya omset karena pelanggan berkurang, kami harus kuat-kuatan kasih promo atau harga tetap tapi ukuran dikecilkan," ujarnya kepada detikKalimantan, Jumat (27/6/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fina menyebutkan bahwa pedagang kecil seperti dirinya akan lebih terdampak dibandingkan pedagang besar yang sudah memiliki nama dan pelanggan tetap. Di sisi lain, ia juga menyoroti dampak positif yang mungkin dirasakan negara dari kebijakan tersebut seperti peningkatan penerimaan pajak.
"Dampak positifnya ya buat negara, entah di mana untungnya buat pedagang," ujarnya.
Untuk bertahan, Fina mengaku harus lebih gencar dalam promosi, meningkatkan pelayanan, memperbaiki kualitas produk, dan mencari inovasi baru agar tetap dilirik masyarakat.
"Otomatis jam usaha lebih panjang. Yang tadinya jualan pagi sampai sore, mungkin sampai malam," keluhnya.
Baca juga: Siap-siap Toko Online Kena Pajak 0,5% |
Fina berharap agar tarif pajak tidak terlalu tinggi dan membebani pedagang kecil. Ia mengaku, minat pembeli kini mulai menurun akibat maraknya konten resep di media sosial. Ia pun berpesan pada pemerintah agar mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap pedagang kecil.
"Kami cuma ingin usaha tetap jalan, bisa bayar karyawan, dan pelanggan tidak kabur," tutupnya.
Sementara itu, Ketua Forum Komunikasi UMKM Kalimantan Utara (Fokutara), Suri Trisnawati, menyatakan jika dilihat dari pendapatan, rencana aturan ini mungkin kurang relevan untuk UMKM di Kaltara.
"Sejauh ini, belum ada UMKM di Kaltara dengan omset mencapai Rp 4,8 miliar dari e-commerce," ujarnya.
Ia menilai kebijakan ini lebih cocok diterapkan di Pulau Jawa, di mana pendapatan pedagang online jauh lebih besar. Suri juga menyoroti beban tambahan bagi pedagang online, yang sudah harus membayar biaya iklan di platform e-commerce.
"Pajak ini pasti berimbas dan terasa berat karena ada potongan dari platform itu sendiri," katanya.
Namun, ia belum bisa mengomentari dampak pasti karena kebijakan ini belum diterapkan. Menurutnya, jika ada UMKM di Kaltara yang terkena pajak, itu justru menunjukkan perekonomian daerah yang cukup pesat.
"Tapi karena belum mencapai angka tersebut, diperlukan dorongan lebih untuk menjadi tolak ukur perekonomian di Kaltara," pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang finalisasi aturan terkait pemotongan pajak penghasilan (PPh) bagi pedagang di toko online. Dalam hal ini penyedia platform e-commerce ditunjuk sebagai pemungut pajak.
Pemerintah berencana mewajibkan platform e-commerce untuk memungut pajak sebesar 0,5% dari pendapatan penjual. Kriteria pedagang yang dikenakan pajak adalah mereka yang memiliki omzet antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar per tahun.
(des/des)