Pusat Perbelanjaan Minim Cuan

Pusat Perbelanjaan Minim Cuan

Tim detikJabat - detikJabar
Senin, 25 Sep 2023 16:11 WIB
Suasana di ITC Kebon Kalapa, Kota Bandung.
Suasana di ITC Kebon Kalapa, Kota Bandung. (Foto: Sudirman Wamad/detikJabar)
Bandung -

Dulu, pusat perbelanjaan dikenal sebagai salah satu tempat peredaran cuan atau uang. Perputaran uang di sana sangat menggiurkan.

Namun, kejayaan pusat perbelanjaan perlahan mulai terkikis. Cara jual-beli secara online disinyalir jadi penyebabnya.

Pusat perbelanjaan tak lagi ramai seperti dulu. Bahkan, pusat perbelanjaan menjadi tempat yang minim perputaran cuan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Situasi itu terasa di berbagai pusat perbelanjaan di berbagai daerah, termasuk di Jawa Barat. Di Bandung misalnya, pusat perbelanjaan sudah minim pengunjung. Jangankan membeli, sekadar didatangi warga pun kini jadi hal yang langka.

Di Pasar Andir yang sudah ada sejak 1970-an misalnya, kini tak lagi jadi primadona, baik bagi pedagang maupun pembeli. Pasar Andir bahkan kini dihadapkan pada titik nadir.

ADVERTISEMENT

"Pasar Andir sudah melemah, pengunjung pun tidak ada (minim), kios banyak yang tutup, karena pasar ini sudah nggak ada pengunjung. Mungkin akibat dari persaingan toko online gitu. Ini pasar kecil kalau dibanding Pasar Tanah Abang, tapi mereka juga sama sepinya, ngeri dengan kondisi begini," keluh Asep Gunawan, seorang pedagang tas sekolah di Pasar Andir, kepada detikJabar, belum lama ini.

Asep sendiri merasakan betul bagaimana kejayaan Pasar Andir dan ia jadi salah satu yang menuai untung besar. Namun, hal manis tak selamanya manis. Ia bersama para pedagang lain di lokasi merasakan penjualan yang menukik dari waktu ke waktu.

"Dulu sebelum adanya Covid dan pasar online alhamdulillah, Andir tahun 2012 harum namanya. Setelah ada Covid, semua harus online, hancur semua. Dulu saya nggak jualan seperti ini, dulu tas-tas impor saya, tapi nggak kuat persaingan online. Dulu barang saya banyak, sekarang sedikit," kenangnya dengan lirih.

Meski begitu, Asep masih berusaha keras mempertahankan usahanya yang tengah terombang-ambing ini. Belasan tahun berdagang, ia ingin tetap berusaha berdiri dan menyediakan barang dagangan untuk para pengunjung setia Pasar Andir.

Meskipun ia tahu, semakin hari pengunjungnya semakin sedikit. Bahkan sepinya Pasar Andir sudah ia rasakan sejak 8-10 tahun lalu, sejak kemajuan teknologi mulai berkembang.

Asep juga sadar usianya tak lagi muda, ia tak mampu lagi mengimbangi dan belajar teknologi. Tapi baginya, cobaan ini bukan sekadar siapa yang bisa berinovasi, tapi menurutnya memang persaingan pasar online tak sehat dengan harga yang tak wajar.

"Ini faktanya dilihat dari banyak toko yang tutup, karena nggak kuat. Apalagi yang punya karyawan? Padahal mereka harus digaji. Persaingan online kurang sehat lah, saya jual di sini Rp 300 ribu, kenapa di online bisa setengahnya? Barangnya padahal sama. Apalagi gratis ongkir, orang mikirnya nggak usah jalan, nggak usah ke pasar. Kalau persaingannya sehat ya gimana rezekinya. Sekarang ibarat uang sekarung pun habis untuk modal," cerita Asep.

Di sini, banyak kios yang sudah tutup karena penyewanya tak lagi sanggup bertahan. Alhasil, Pasar Andir kini tak lagi seramai dulu. Selain minim pembeli, pedagang pun sedikit.

Kondisi nyaris serupa juga terjadi di ITC Kebon Kalapa Bandung. Dulu, pusat perbelanjaan ini tergolong ramai, khususnya didatangi kalangan menengah ke bawah. Namun perlahan kejayaan ITC juga menukik tajam.

Banyak kios atau toko yang sudah tutup. Tak hanya itu, penerangan di lokasi juga tak lagi benderang. Beberapa titik terlihat 'gelap'.

Meski begitu, masih ada pedagang yang bertahan di lokasi. Mereka tetap berharap bisa meraup cuan meski situasi tak lagi nyaman.

"Aktivitas perihal pedagang tetap berjalan, dalam artian tetap berjualan di sini. Ya lebih tepatnya masih ikhtiar," kata Ketua Perhimpunan Pemilik Penghuni Satuan Rumah Susun Pusat Perbelanjaan Kebon Kalapa (P3SRS-P2K) Bandung Ahmad Kustedi.

Ahmad Kustedi mengatakan kondisi sepi pengunjung memang sudah dirasa sejak pandemi COVID-19. Kemudian, ditambah dengan aktivitas jual beli secara online yang terus berkembang, dari mulai live berjualan, diskon gede-gedean, produsen langsung berjualan, hingga publik figur yang ikut turun tangan.

"Aktivitas marketplace atau jualan online mulai bermunculan, otomatis terasa banget bagi pedagang. Sangat terasa banget," kata Ahmad Kustedi.

Ahmad Kustedi menyebutkan dari 2.000 kios yang ada di ITC Kebon Kalapa Bandung, saat ini hanya 500 kios yang terisi. Penyusutan jumlah pedagang di ITC itu berlangsung secara bertahap.

"Di ITC Kebon Kalapa ada 2.000 kios, yang terisi 500 kios. Setelah pandemi itu tinggal 700 kios. Sekarang hanya 500," ucapnya.

Balubur Town Square (Baltos) juga jadi salah satu pusat perbelanjaan yang mengalami penurunan aktivitas penjualan. Namun, tetap ada para pedagang kreatif yang bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, yakni ikut berjualan secara online.

Meski begitu, ada juga yang tetap berjualan dengan mengandalkan cara lama atau konvensional. Sebab, tak semua konsumen suka membeli barang secara online, masih ada yang suka berbelanja dengan cara lama.

Seperti halnya Kumara Batik yang berlokasi di lantai D1 Baltos. Kios batik milik Reny Kumara (47) ini tetap menganut metode penjualan konvensional tanpa ikut-ikutan berjualan online. Reny punya alasan akan hal tersebut.

"Karena kita masih menganut ya terutama saya sendiri ya kalau mau beli baju atau bahan, kalau beli online kadang gak sesuai, terus kalau beli barangnya datang tipis, gak bagus, jadi saya masih menganut jualan konvensional, gak online," ucap Reny saat berbincang dengan detikJabar, belum lama ini.

Di kiosnya, Reny menjual berbagai macam batik dari Solo, Yogyakarta hingga Cirebon. Batik yang sudah dalam bentuk kemeja, selendang hingga kain itu dipajang dengan harapan ada pembeli yang datang.

Reny mengaku gempuran online cukup berimbas terhadap penjualan batik. Meski tidak mengungkap jumlah batik yang terjual maupun omzet yang didapat, namun dia mengaku imbas itu tetap ada.

Tapi hebatnya, Reny sangat yakin jika kiosnya akan selalu didatangi pembeli. Sebab, Reny punya strategi untuk menarik pembeli datang. Strategi itu yakni menjaga hubungan baik dengan pelanggan yang pernah datang membeli batik.

"Ya terimbas mah ada cuma kita punya pelanggan konvensional yang memang ingin langsung lihat bahannya, misal yang mau nikah cari seragam batik, milih motif sendiri," ujarnya.

"Jadi menjaga hubungan dengan pelanggan supaya datang lagi," imbuhnya.

Simak lika-liku pusat perbelanjaan yang kini justru minim perputaran cuan:

1.


2.


3.


4.


5.


6.


7.


8.


9.


10.


11.


12.


13.


14.

(orb/orb)


Hide Ads