Pasar Andir jadi salah satu pusat perbelanjaan ini cukup ternama di Kota Bandung. Pasar yang dibangun sejak tahun 1970-an ini terkenal dengan 'pasar malam'-nya.
Para pedagang sayur dan buah dari beragam daerah berdagang di yang cukup besar ini biasanya pada malam hari. Pembelinya mayoritas para pemilik warung makan yang harus menyiapkan keperluan sejak dini hari.
Baca juga: Awan Kelam di ITC Kebon Kalapa Bandung |
Bangunan pasar ini masih terjaga meski sudah puluhan tahun. Warna temboknya sudah usang, tapi wajahnya masih cantik memperlihatkan sejarah pembangunan saat usia kemerdekaan Indonesia masih belia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akan tetapi, di balik kemegahan dan ketenaran nama Pasar Andir, ada jeritan para pedagang yang menunggu pembeli datang. Ya, Pasar Andir mulai tergerus zaman.
Bukan cuma Pasar Tanah Abang Jakarta yang ikut terdampak live shopping di beberapa e-commerce dan media sosial, Pasar Andir pun sama nasibnya. Saat masuk ke area dalam, lebih banyak cahaya minimalis di sela-sela lorongnya.
Tak ada lampu dari toko atau penerang lorong. Pintu ruko banyak yang tutup, bahkan ditulis 'dikontrakkan'. Sepi sekali.
"Pasar Andir sudah melemah, pengunjung pun tidak ada (minim), kios banyak yang tutup, karena pasar ini sudah nggak ada pengunjung. Mungkin akibat dari persaingan toko online gitu. Ini pasar kecil kalau dibanding Pasar Tanah Abang, tapi mereka juga sama sepinya, ngeri dengan kondisi begini," keluh Asep Gunawan, seorang pedagang tas sekolah.
![]() |
Ingatan Asep menerawang jauh ke belakang. Ia masih ingat betul saat belasan tahun yang lalu dagangannya masih lengkap dan cantik-cantik. Keahliannya memang berdagang tas, tapi dulu yang ia pajang adalah tas-tas import kualitas terbaik.
"Dulu sebelum adanya Covid dan pasar online alhamdulillah, Andir tahun 2012 harum namanya. Setelah ada Covid, semua harus online, hancur semua. Dulu saya nggak jualan seperti ini, dulu tas-tas impor saya, tapi nggak kuat persaingan online. Dulu barang saya banyak, sekarang sedikit," kenangnya dengan lirih.
Tapi, Asep masih berusaha keras untuk mempertahankan usahanya yang tengah terombang-ambing ini. Belasan tahun berdagang, ia ingin tetap berusaha berdiri dan menyediakan barang dagangan untuk para pengunjung setia Pasar Andir.
Meskipun ia tahu, semakin hari pengunjungnya semakin sedikit. Bahkan sepinya Pasar Andir sudah ia rasakan sejak 8-10 tahun lalu, sejak kemajuan teknologi mulai berkembang.
Asep juga sadar usianya tak lagi muda, ia tak mampu lagi mengimbangi dan belajar teknologi. Tapi baginya, cobaan ini bukan sekadar siapa yang bisa berinovasi, tapi menurutnya memang persaingan pasar online tak sehat dengan harga yang tak wajar.
"Ini faktanya dilihat dari banyak toko yang tutup, karena nggak kuat. Apalagi yang punya karyawan? Padahal mereka harus digaji. Persaingan online kurang sehat lah, saya jual di sini Rp 300 ribu, kenapa di online bisa setengahnya? Barangnya padahal sama. Apalagi gratis ongkir, orang mikirnya nggak usah jalan, nggak usah ke pasar. Kalau persaingannya sehat ya gimana rezekinya. Sekarang ibarat uang sekarung pun habis untuk modal," cerita Asep.
Lain cerita dengan Nia Rohayatun (31). Usianya terbilang masih cukup muda dan sanggup untuk belajar live shopping. Tapi nyatanya, usaha Nia dan beberapa pedagang lain tak membuahkan hasil. Rupanya berdagang di toko online pun tak semudah yang diharapkan.
"Mengakalinya kan dengan postingan viral, kita cobain live gitu, tapi hasilnya sama. Penonton satu-dua orang saja, bahkan ada juga yang live satu-dua bulan tapi belum ada yang checkout, jadi ya gimana kita bingung. Sedangkan yang lewat eceran saja sudah nggak ada. Pasrah," kata Nia.
Menurutnya, bukan masalah para pedagang tak berusaha. Tapi banting harga besar-besaran dari kompetitor yang jadi masalah.
![]() |
Memang, live atau siaran langsung di e-commerce memudahkan calon pembeli untuk menyortir harga, barang, dan lokasi yang terbaik atau terdekat. Tapi Nia tak habis pikir, ada yang bisa menjual harga dagang terlalu murah.
"Persaingan harga juga nggak masuk akal, misalnya kita dari harga modal Rp100-110 ribu, sedangkan foto yang sama tapi di toko sebelah itu harganya jauh banget bisa 70 persennya bisa Rp 40 ribu. Nggak mungkin dong kita jual Rp 40-50 ribu, jadi ya kita bilang sangat nggak sehat," ujar Nia.
Nia dan para pedagang lainnya dibuat pusing karena jumlah pengunjung Pasar Andir pun kian menurun. Katanya, satu orang pengunjung saja mati-matian untuk didapatkan. Sama halnya dengan saat jualan online, tak semudah itu mendapat penonton.
Pendapatannya sangat menurun. Dulu, dalam satu hari Nia bisa mendapat keuntungan Rp 2-2,5 juta dengan mudahnya. Saat ini, untuk keuntungan Rp 100 ribu per hari saja sudah disyukuri. Bagaimana para pedagang tak histeris, mereka merugi hampir 90 persen.
"Dibanding hari ini, malah jualan lebih bagus waktu covid itu online-nya. Tapi sejak ada e-commerce yang lagi viral sekarang (live shopping), turun jauh. Intinya kalau dapat Rp 100 ribu saja sudah susah banget sehari. Menurut kita pedagang offline jadi mati, sekelas Tanah Abang aja udah sepi banget," ucap Nia
Kini, harapan para pedagang serupa. Mereka menyampaikan pesan pada pemerintah agar mau memperhatikan para pedagang offline di pasar. Persaingan harga makin tak sehat, sementara tanggungan uang sewa toko, karyawan, dan kebutuhan hidup terus menghantui.
"Semoga kami diperhatikan, sekarang untuk makan saja sudah syukur. Sudah pasrah saja ikuti alurnya," doa Nia.
(aau/orb)