Suara kritikan dilontarkan seorang pengusaha clothing di Bandung usai social commerce ikut-ikutan merambah ke dunia bisnis digital. Pasalnya, banyak penggunanya yang kini bisa live dan berjualan produk yang ia dagangkan di medsos tersebut.
Pengusaha clothing di Bandung, Muhamad Rofik Rifai mengatakan, harus ada regulasi tegas yang mengatur setiap orang yang hendak live berjualan di social commerce. .
Baca juga: Awan Kelam di ITC Kebon Kalapa Bandung |
"Jadi soal bisnis di era digital, setahun ke belakang itu tidak terlalu ekstrem dampaknya. Tapi setelah social commerce datang, sekarang malah ekstrem banget. Karena yang saya rasa, social commerce beda dengan marketplace lain, terlalu berantakan kalau buat saya," katanya kepada detikJabar belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rofik mengaku mengikuti perkembangan bisnis yang sekarang sedang trend di social commerce. Ia lalu menemukan masalahnya yang membuat awan kelam di dunia perdagangan.
Masalah di antaranya, para pengguna social commerce yang biasanya berjualan dengan cara live di medsos tersebut bisa membanting harga jauh dari standar pasar. Namun setelah ia teliti, kualitasnya justru jauh dari yang diharapkan.
"Sekarang kenapa pasar sepi, seperti Tanah Abang, karena ada beberapa yang tadinya si orang (jualan) grosiran akhirnya jadi penjual di social commerce. Ada yang membatasi segi produk tapi ada juga social commerce yang tak membatasi produknya,," ungkapnya.
Belum lagi, Rofik melihat ada kebohongan yang ditawarkan para pengguna social commerce yang live untuk berjualan. Kadang kala, ada yang menawarkan suatu produk dengan harga miring dengan klaim kualitas yang sama. Tapi berdasarkan hitungan Rofik, itu semua tidak masuk akal.
"Kalau saya lihat, dia nawarin harga murah misalnya dengan tertentu, tapi penjualnya banyak yang ngebohong. Kenapa? Karena saya paham dunia produksi. Kadang saya itung, berapa sih kok sampai jual segini. Dan enggak mungkin kalau lihat harga bahan," tuturnya.
"Sebetulnya itu sah-sah saja, silakan. Tapi bagi saya, itu terlalu berantakan jadinya. Jadi enggak sehat juga, kasihan produk yang didagangkan offline kayak di pasar," ungkapnya menambahkan.
Ditambah, kini banyak artis maupun publik figur yang terjun langsung berjualan di social commerce. Dari sisi ini, Rofik pun menilai mereka hanya memanfaatkan kondisi aji mumpung karena memiliki ribuan pengikut di media sosial.
"Kalau menurut saya, mereka lebih ke aji mumpung karena followernya banyak. Tapi kalau dari segi material, bahan, kualitas, mereka enggak menguasai. Justru yang saya telusuri, parahnya lagi, mereka di social commerce lebih cuan daripada dari orang yang punya produksi. Tapi ya balik lagi, itu mah sah-sah saja sebetulnya," katanya.
Rofik yang sudah 25 tahun bergelut di industri fesyen pun mengaku lebih efektif memasarkan produknya secara face to face. Ia lebih memilih merangkul para komunitas kreatif untuk bisa menawarkan brand clothingannya di pasaran.
"Karena saya mah yakin promo paling jitu itu lebih face to face dibanding ke talent artis misalnya. Karena menurut saya, lebih kuat brandingnya," ucapnya.
Selain itu, bagi Rofik, persaingan dunia usaha di era digital pun sebetulnya tak melulu begitu kelam. Justru menurutnya, dengan perkembangan zaman, orang-orang sudah bisa menjadi pengusaha dan berjualan produknya secara digital.
"Di era sekarang plusnya itu orang mudah jadi pengusaha, bisa jualan dengan mudahnya. Kalau zaman dulu pas offline, kita susah, jual ke mana produknya. Otomatis harus punya relasi. Kalau sekarang, orang kreatif pasti bisa mudah menjadi pengusaha, tinggal mempelajari sisi-sisi lainnya," tuturnya.
"Dari segi marketing mudah, antara laku dan laku kan tinggal ke orangnya, produknya apa dan target pasarnya siapa kan menentukan juga. Jadi, sebenarnya ada keuntungannya buat yang mau usaha," kata Rofik menambahkan.
Baca juga: Suara Getir Pedagang di Pasar Andir Bandung |
Namun, ada syarat yang harus dilakukan pengusaha tersebut jika ingin bertahan usaha di dunia digital. Salah satunya, dia harus punya karya berupa produk sebagaimana yang Rofik jalankan selama ini di bisnis clothing-annya.
"Yang pasti jangan patah semangat, terus pelajari, ikuti era digital, tapi tetep punya karya sendiri. Jualan fashion itu harus punya konsep sendiri dan yakin dengan karyanya sendiri. Terus tinggal bentuk tim, banyak kok anak muda yang masih kuliah bisa diikutsertakan, jadi digital marketingnya, jadi content creator, tergantung kebutuhan," ungkapnya.
"Jadi tinggal melahirkan karya sendiri dan pertahanin kualitasnya. Kalau berpatokan mindset-nya ke nominal, pasti collapse. Yang saya rasa yah. Saya bertahan hampir 25 tahun, yang saya rasa nikmati aja. Selain karena hobi dan kecintaan saya di sana, saya juga ngikutin era, tapi jangan lupa punya karya sendiri," pungkasnya.