Seribuan kios di Internasional Trade Center (ITC) Kebon Kalapa, Kota Bandung, tutup. Aktivitas jual-beli online atau dalam jaringan (daring)) disinyalir jadi salah satu penyebabnya.
ITC Kebon Kalapa Bandung pun sepi pengunjung. Menurut data Perhimpunan Pemilik Penghuni Satuan Rumah Susun Pusat Perbelanjaan Kebon Kalapa (P3SRS-P2K) Bandung, dari 2.000 kios di ITC Kebon Kalapa, sekarang hanya 500 kios yang terisi.
Baca juga: Awan Kelam di ITC Kebon Kalapa Bandung |
Suasa di lantai dasar tampak masih ada aktivitas selayaknya pasar, mayoritas kios masih buka. Sejumlah pengunjung masih berdatangan. Namun, sepi langsung menyergap kala pengunjung berada di lantai satu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantai satu kondisinya lebih gelap dibandingkan lainnya. Sebab, mayoritas kios tutup. Hanya dihuni segelintir penjual batu akik dan penjual pakaian.
Salah satunya Nurlita Sukma, pemilik brand Viver Concept yang membuat bagian sudut di lantai satu ITC Kebon Kalapa Bandung menyala. Nurlita menempati beberapa kios. Memang tak ada satu pun pengunjung yang datang ke kiosnya, namun Nurlita dan pegawainya tampak sibuk.
Sejumlah pegawai tampak mengemas barang pesanan yang dibeli secara online. Kemudian, Nurlita juga rutin mengecek dua gawainya yang diletakan di etalase kiosnya. Nurlita duduk di kursi dan di sampingnya terdapat peralatan untuk live streaming, dari mulai lampu, kamera, mikrofon, dan tripod.
"Yang itu tinggal menunggu kurir datang, ya sudah dikemas tinggal diangkut," ucap Nurlita sambil menunjuk barang daganganya saat berbincang dengan detikJabar di ITC Kebon Kalapa Bandung belum lama ini.
Nurlita bergelut di dunia sandang. Perempuan asli Padang itu menjual pakaian, celana, dan lainnya dengan berbagai model. Pengalaman Nurlita berbisnis di dunia sandang membuatnya cepat beradaptasi di tengah perkembangan zaman.
Nurlita salah seorang pedagang yang tak panik ketika e-commerce mulai bermunculan, hingga era media sosial (medsos) menjadi ladang untuk berjualan melalui live streaming. Nurlita tak gentar. Ia perlahan menyesuaikan diri agar tak rungkad alias tumbang.
"Pasar itu sebenarnya sudah mulai sepi pada 2015, karena e-commerce sudah bermunculan. Jadi bukan hanya karena Corona (pandemi COVID-19). Saat itu (2015), ada yang sensitif, ada juga yang tidak (merespons) dan saya waktu itu juga ikut jual online daftar akun." jelas Nurlita.
![]() |
Adaptasi Digitalisasi
Nurlita juga tak menyangka perkembangan era digital begitu cepat. Perlahan ia belajar untuk terlibat dalam persiangan di dunia online. Ia tak ingin menjadi penonton dan hanya menjual secar offline.
"Kita harus berinovasi, kalau tidak inovasi ya punah (kalah saing). Yang bertahan, pasti yang bisa adaptasi," ujar perempuan yang akrab disapa Uni itu.
Saat 2015, Nurlita membuat akun di e-commerce. Namun, ia tak begitu mendalami. Sebab, saat itu ia masih fokus menjual grosiran dan eceran.
Kisah bisnis sandang Nurlita itu bermula pada 1999. Ia membangun bisnis sandang di Tanah Abang. Kemudian, pada tahun 2002, ITC Kebon Kalapa Bandung mulai dibuka. Nurlita pun melirik untuk pindah ke Bandung. Nurlita akhirnya memantapkan diri untuk berbisnis di ITC Bandung pada 2005.
Nyaris 20 tahun Nurlita akrab dengan aktivitas ITC Bandung. Setelah 10 tahun ia membuka beberapa kios, e-commerce bermunculan. Hingga akhirnya, ia dihadapkan dengan pandemi COVID-19 yang memaksa harus tutup toko.
"Kemudian setelah pandemi itu 'panas' lagi (aktivitas online) pada 2021. Nah, di 2022 karena sudah muncul TikTok Shop, perang harga, bakar uang di sana sudah ramai," ucao Nurlita.
Sembari memegang gawai, Nurlita menerangkan medsos merupakan candu dan mampu menyita banyak waktu. Menurutnya, wajar ketika orang-orang tertarik dengan jual-beli online, karena medsos menyediakan, salah satunya TikTok Shop. Nurlita kemudian mantap mendalami jual beli online.
"Sah-sah saja sebenarnya (penjualan online). Kan kita harus ambil sisi positif, kalau menurut kita itu menguntungkan dan bisa juga ikut jualan di sana," ucap dia.
Nurlita belajar secara otodidak tentang algoritma dan aktivitas medsos melalui YouTube. Ia juga getol melihat tren-tren yang muncul. Walhasil, Viver Cooncept, brand yang ia buat pun tetap berjaya. Nurlita dan timnya mengelola 15 akun penjulan untuk online.
"Setelah grosir dan retail (eceran) sepi. Saya ada kios di Pasar Andir dan tutup karena susah di sana untuk jual retail. Saya langsung fokus untuk jualan online," katanya.
"Dulu saat grosir kan saya terima bersih, karena tinggal jual dan perputaran uangnya cepat. Sekarang saya harus kelola semua, dari produksi, ya suplier juga, jadi buat konten juga, dan lainnya. Putaran uangnya juga beda," papar Nurlita.
Nurlita mengaku omzet saat jualan offline dengan online memang berbeda. Namun, hal tersebut tergantung bagaimana penjual mencari peluang. Saat jualan offline melalui grosir, Nurlita mengeruk omzet hingga Rp 200 juta per bulan. Saat ini, lanjut dia, omzet dari 15 akun yang dikelola berbeda-beda.
"Satu akun ada yang masih puluhan juta. Ada yang sudah Rp 150 juta omzetnya, beda-beda. Ya bisa sampai ratusan juta. Makanya kita fokuskan juga ke online. Ada satu akun yang masih kita pupuk juga, belum jadi," ucapnya
Fenomena Artis Live Jualan
Nurlita sendiri sering live streaming untuk berjualan. Ia juga tak kicep dengan persaingan live streaming, dimana para artis ikut turun tangan. Menurutnya, artis hanyalah affiliator.
"Nggak ada panik. Ya itu mah biasa," katanya.
Ia memprediksi fenomena itu tak akan berlangsung lama. Sebab, semua orang punya peluang untuk bisa bersaing dalam penjualan online.
"Barang yang dijual kan itu bukan punya dia (artis), dia kan affiliator. Misal, lisptik yang dijual artis itu murah, ya kuailitasnya juga pasti begitu. Lama-lama orang pasti akan lihat kualitas barang yang dijual juga," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan alasan orang ingin belanja dan menonton artis saat live streaming sembari jualan produk. "Itu sama saja kayak kita ingin ngobrol sama artis atau minta tanda tangan artis. Lama-lama juga orang mah biasa saja akhirnya," pungkas Nurlita.
(sud/orb)