"Benar korban cabut laporannya," katanya.
Menurut Teddy, korban tidak ingin melanjutkan kasus tersebut. Karena laporannya juga sudah dicabut, maka kasus tidak bisa dinaikkan ke tahap penyidikan.
"Kalau saksi korban tidak bersedia diambil keterangannya saat naik ke tahap penyidikan kan sulit. Apakah layak saksi korban kami paksa nanti kalau ambil keterangan?" kata Teddy.
Dia pun menyarankan agar pendamping dan kuasa hukum saksi korban bersama-sama melakukan pendampingan ke korban. Hal itu dilakukan agar keterangan korban bisa diambil saat naik ke tahap penyidikan.
"Jangan maksa naik sidik. Mau naik sidik juga percuma. Kalau tidak ada saksi korban yang diambil keterangannya. Solusinya apa coba? Nanti siapa yang akan diminta keterangan saat berkas kami serahkan ke JPU," imbuhnya.
Terlepas dari itu, Teddy menyebut kasus pelecahan 10 orang mahasiswi itu semestinya sudah pantas naik ke tahap penyidikan. Hal itu karena jelas ada tindak pidana. Bahkan, kata Teddy, saat terduga pelaku diperiksa juga sudah mengakui perbuatannya atas dasar suka-sama suka.
"Sekarang mari kita lakukan pendekatan ke korban. Agar mau diambil keterangan. Tidak mungkin kasus ini berjalan tanpa ada saksi korban," pungkas Teddy.
Diberitakan sebelumnya, puluhan mahasiswa bersama dosen Universitas Negeri Mataram (Unram) menggeruduk Polda NTB, Kamis (29/12/2022). Mereka menuntut agar kasus pelecehan seksual terhadap 10 mahasiswi di Mataram segera dinaikkan ke tahap penyidikan. Kasus pelecehan tersebut diduga dilakukan oleh dosen gadungan berinisial FA (55).
Direktur Biro Konsultan Bantuan Hukum (BKHB) Fakultas Hukum Unram Joko Jumadi menuding proses penyelidikan kasus pelecehan itu diduga sengaja diperlambat oleh penyidik Ditreskrimum Polda NTB. Padahal, menurutnya polisi sudah mempunyai alat bukti yang cukup.
"Kasus tidak naik-naik ini yang jadi masalah. Urusan tidak memenuhi unsur alat bukti dalam penyidikan itu pihak penyidik bisa memberikan SP3. Kami jadi punya upaya hukum prapradilan. Kalau kasusnya sudah diberikan SP2HP kita tidak bisa ngapa-ngapain. Ini tidak fair namanya," kata Joko.
(iws/gsp)