Penerbit Indie Bali Bertahan di Tengah Idealisme dan Keterbatasan

Geliat Penerbit Indie di Bali

Penerbit Indie Bali Bertahan di Tengah Idealisme dan Keterbatasan

Firizqi Irwan, Rizki Setyo, Agus Eka - detikBali
Kamis, 27 Feb 2025 16:16 WIB
Gde Aryantha Soethama menunjukkan beberapa buku karyanya yang diterbitkan melalui penerbit Prasasti. (Foto: Rizki Setyo Samudero/detikBali)
Gde Aryantha Soethama menunjukkan beberapa buku karyanya yang diterbitkan melalui penerbit Prasasti. (Foto: Rizki Setyo Samudero/detikBali)
Denpasar -

Bau tinta dan kertas menguar ketika memasuki ruang percetakan yang berlokasi di Jalan Pulau Kawe, Denpasar, Bali, itu. Dua pria berkacamata dengan rambut uban tampak sibuk dengan tugas masing-masing.

Seorang dari mereka dengan cermat dan penuh perhatian mengatur tumpukan kertas di atas meja mesin cetak. Tangannya terampil memindahkan lembaran demi lembaran ke posisi yang tepat.

Pria satu lagi berdiri di depan mesin cetak yang berderak keras. Tangan kanannya menekan tombol-tombol kontrol, sementara tatapannya tetap waspada memeriksa hasil cetakan yang keluar dari mesin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekelebat kemudian, seorang pria bercelana katok, kaos oblong abu-abu, dan kupluk di kepala muncul di ruang percetakan berlantai agak kusam itu. Dia adalah Gde Aryantha Soethama, seorang penulis senior sekaligus bos percetakan dan penerbit buku Prasasti.

"Dulu, dunia cetak mencetak bisa menjamin hidup, fee-nya lumayan. Jauh dari gaji saat masih menjadi wartawan," tutur Aryantha saat mengisahkan awal mula merintis usaha percetakan dan penerbitan kepada detikBali, Kamis (13/2/2025).

Buku-buku terbitan Prasasti dipasarkan secara daring. Beberapa judul juga dijual di toko-toko buku di Bali.

"Saya pasarkan juga di lapak saya. Kalau dapat pembeli, hasilnya masuk ke rekening Prasasti," imbuhnya.

Hingga kini, Aryantha hanya dibantu oleh dua karyawan untuk menjalankan usaha penerbitan dan percetakan itu. Sementara urusan desain dan layout, Aryantha mengerjakannya seorang diri.

Salurkan Idealisme

Aryantha mendirikan rumah penerbitan itu pada 1992. Prasasti menjadi semacam respons Aryantha terhadap terbatasnya ruang berekspresi di tengah kekuasaan tangan besi Orde Baru. Kala itu, Aryantha masih aktif sebagai jurnalis salah satu koran lokal di Bali.

"Zaman Soeharto, pers riskan dan risikonya besar. Koran ditutup, ngomong terbatas. Kalau ngetik berita, pasti ada aparat di belakang kita," imbuh peraih Khatulistiwa Literary Award 2006 melalui kumpulan cerpen Mandi Api itu.

Walhasil, idealisme Aryantha muda sulit tersalurkan karena tekanan dari pemerintah otoriter ketika itu. Aryantha juga mulai berpikir bahwa dirinya tidak bisa bertahan hidup dari menjadi pewarta.

"Saya kecewa dengan pers karena aturan dan tekanan-tekanan itu. Akhirnya saya berhenti (menjadi wartawan)," ujarnya.

Tak begitu sulit bagi Aryantha untuk memulai usaha penerbitan. Latar belakang sebagai wartawan media cetak membuatnya lebih mudah menguasai ilmu tata letak dan perwajahan buku.

Seiring waktu, Prasasti semakin berkembang dengan menerbitkan tulisan fiksi maupun kumpulan esai karya Aryantha. Salah satu bukunya bertajuk Bolak Balik Bali. Kumpulan esai yang membahas keseharian dan dinamika manusia Bali itu bahkan telah dicetak ulang beberapa kali.

Selain menerbitkan karya-karya Aryantha, Prasasti juga menerima karya tulis dari sejumlah penulis di Bali. Aryantha bahkan bersedia menerbitkan buku karya penulis Bali secara cuma-cuma asalkan tulisan yang dihasilkan layak.

"Penulis di Bali itu nggak punya uang untuk menerbitkan buku, saya fasilitasi," ujarnya.

Aryantha tak menyebutkan secara detail penghasilannya melalui usaha percetakan dan penerbitan itu. Ia merasa keberadaan Prasasti sudah cukup untuk menyalurkan idealismenya sebagai seorang penulis. "Saya menakar gerakan dengan idealisme itu," imbuh pria berusia 70 tahun itu.

Aryantha tidak memiliki harapan muluk-muluk terkait usaha percetakan dan penerbitannya itu. Ia mengibaratkan penerbit bak orang yang mengalami sakit keras dan hanya menunggu keajaiban. "Apalagi yang mau saya lakukan? Saya nggak bisa hidup dengan cara lain.Bertani nggak bisa," pungkasnya.

Halaman selanjutnya: Bertahan di Tengah Keterbatasan...

Bertahan di Tengah Keterbatasan

Selain Prasasti besutan Aryantha, penerbit indie yang berbasis di Bali lainnya adalah Nilacakra. Penerbit Nilacakra didirikan oleh Ida Bagus Arya Lawa Manuaba pada 2018.

Gus Arya, panggilannya, menyebut keterbatasan biaya menjadi salah satu persoalan para penulis Bali untuk mengantar buah pikiran mereka sampai ke khalayak pembaca. Di sisi lain, tidak banyak penerbit yang mau memproduksi buku dengan jumlah yang minim.

Realitas itu pula yang membuat Gus Arya mendirikan Nilacakra. Ia semakin mantap mengelola usaha penerbitan itu setelah naskah karyanya berjudul Alien Menurut Hindu ditolak beberapa kali oleh penerbit major. Idealisme pula yang menggerakkan Gus Arya untuk mengelola Nilacakra.

"Sebagian besar buku yang saya tulis bersifat esoterik. Topik-topik yang dibahas berbeda dengan umum. Buku 'Alien' itu yang membuat saya 'ya sudah kita bikin sendiri (penerbitan).' Akhirnya jalan," ujar Gus Arya kepada detikBali, Sabtu (15/2/2025).

Selain menerbitkan karya-karyanya, Gus Arya juga membantu memfasilitasi sejumlah penulis Bali yang hendak menerbitkan buku. Beberapa buku yang diterbitkan lewat Nilacakra, antara lain Barong Brutuk (2019), Gula Pedawa (2021), hingga Waralaba 4.0 yang menyabet gelar buku terbaik III kategori kewirausahaan dalam Anugerah Pustaka Perpusnas 2020.

"Saya merangkul beberapa penulis dengan tipenya, dengan cirinya sendiri. Ada penulis sastra modern dan sebagian besar penulis yang datang kepada kami adalah para akademisi," ungkap Gus Arya.

Gus Arya tak begitu berpikir mendapat royalti dari buku-buku yang diterbitkan melalui Nilacakra. Ia hanya ingin ekosistem perbukuan di Bali lebih terstruktur dan sesuai standar penerbitan.

Bagi dia, penyebaran buah pikiran melalui buku jauh lebih penting ketimbang royalti. Terlebih bagi penerbit berskala kecil yang dia kelola itu.

"Hampir semua penerbit indie mengalami. Kami ingin buku itu terpublikasi. Apakah buku itu terindeks di mesin pencari atau tidak," imbuhnya.

I Made Sugianto bersama buku-buku terbitan Pustaka Ekspresi. (Foto: Ahmad Firizqi Irwan/detikBali)I Made Sugianto bersama buku-buku terbitan Pustaka Ekspresi. (Foto: Ahmad Firizqi Irwan/detikBali)

Made Sugianto juga memiliki kisah terkait usaha penerbitan yang dikelolanya. Sugianto merintis Pustaka Ekspresi, usaha penerbitan miliknya, sejak 2009. Mantan wartawan yang juga penulis sastra Bali modern itu tetap eksis mengelola Pustaka Ekspresi meski tak bisa meraup keuntungan banyak.

"Saya tidak mencari keuntungan di sana, tapi saya mencari kebanggaan. Misi saya, melestarikan bahasa Bali melalui tulisan," ujar Sugianto saat ditemui di kediamannya di Desa Kukuh, Tabanan, Senin (10/2/2025).

Pustaka Ekspresi lebih banyak menerbitkan buku-buku sastra Bali modern. Selain menerbitkan karya sendiri, Sugianto juga memfasilitasi penerbitan buku karya penulis Bali lainnya. Belakangan, Pustaka Ekspresi juga menerbitkan buku-buku berbahasa Indonesia.

Kini, Sugianto mengelola Pustaka Ekspresi di tengah-tengah kesibukannya sebagai Perbekel Kukuh, Tabanan. Penulis novel berbahasa Bali bertajuk Sentana Cucu Marep itu tidak pernah berpikir mendapat royalti dari penulis yang karyanya diterbitkan melalui Pustaka Ekspresi.

"Terus terang, saya hanya ingin membantu teman, terutama yang membuat buku berbahasa Bali," pungkas peraih Hadiah Sastra Rancage pada 2012 dan 2013 itu.



Simak Video "Video: Kala Alun-alun Bogota Jadi Lautan Botol Plastik"
[Gambas:Video 20detik]

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikbali

Hide Ads