Bau tinta dan kertas menguar ketika memasuki ruang percetakan yang berlokasi di Jalan Pulau Kawe, Denpasar, Bali, itu. Dua pria berkacamata dengan rambut uban tampak sibuk dengan tugas masing-masing.
Seorang dari mereka dengan cermat dan penuh perhatian mengatur tumpukan kertas di atas meja mesin cetak. Tangannya terampil memindahkan lembaran demi lembaran ke posisi yang tepat.
Pria satu lagi berdiri di depan mesin cetak yang berderak keras. Tangan kanannya menekan tombol-tombol kontrol, sementara tatapannya tetap waspada memeriksa hasil cetakan yang keluar dari mesin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekelebat kemudian, seorang pria bercelana katok, kaos oblong abu-abu, dan kupluk di kepala muncul di ruang percetakan berlantai agak kusam itu. Dia adalah Gde Aryantha Soethama, seorang penulis senior sekaligus bos percetakan dan penerbit buku Prasasti.
"Dulu, dunia cetak mencetak bisa menjamin hidup, fee-nya lumayan. Jauh dari gaji saat masih menjadi wartawan," tutur Aryantha saat mengisahkan awal mula merintis usaha percetakan dan penerbitan kepada detikBali, Kamis (13/2/2025).
Buku-buku terbitan Prasasti dipasarkan secara daring. Beberapa judul juga dijual di toko-toko buku di Bali.
"Saya pasarkan juga di lapak saya. Kalau dapat pembeli, hasilnya masuk ke rekening Prasasti," imbuhnya.
Hingga kini, Aryantha hanya dibantu oleh dua karyawan untuk menjalankan usaha penerbitan dan percetakan itu. Sementara urusan desain dan layout, Aryantha mengerjakannya seorang diri.
Salurkan Idealisme
Aryantha mendirikan rumah penerbitan itu pada 1992. Prasasti menjadi semacam respons Aryantha terhadap terbatasnya ruang berekspresi di tengah kekuasaan tangan besi Orde Baru. Kala itu, Aryantha masih aktif sebagai jurnalis salah satu koran lokal di Bali.
"Zaman Soeharto, pers riskan dan risikonya besar. Koran ditutup, ngomong terbatas. Kalau ngetik berita, pasti ada aparat di belakang kita," imbuh peraih Khatulistiwa Literary Award 2006 melalui kumpulan cerpen Mandi Api itu.
Walhasil, idealisme Aryantha muda sulit tersalurkan karena tekanan dari pemerintah otoriter ketika itu. Aryantha juga mulai berpikir bahwa dirinya tidak bisa bertahan hidup dari menjadi pewarta.
"Saya kecewa dengan pers karena aturan dan tekanan-tekanan itu. Akhirnya saya berhenti (menjadi wartawan)," ujarnya.
Tak begitu sulit bagi Aryantha untuk memulai usaha penerbitan. Latar belakang sebagai wartawan media cetak membuatnya lebih mudah menguasai ilmu tata letak dan perwajahan buku.
Seiring waktu, Prasasti semakin berkembang dengan menerbitkan tulisan fiksi maupun kumpulan esai karya Aryantha. Salah satu bukunya bertajuk Bolak Balik Bali. Kumpulan esai yang membahas keseharian dan dinamika manusia Bali itu bahkan telah dicetak ulang beberapa kali.
Baca juga: Membumikan Sastra Bali lewat Majalah |
Selain menerbitkan karya-karya Aryantha, Prasasti juga menerima karya tulis dari sejumlah penulis di Bali. Aryantha bahkan bersedia menerbitkan buku karya penulis Bali secara cuma-cuma asalkan tulisan yang dihasilkan layak.
"Penulis di Bali itu nggak punya uang untuk menerbitkan buku, saya fasilitasi," ujarnya.
Aryantha tak menyebutkan secara detail penghasilannya melalui usaha percetakan dan penerbitan itu. Ia merasa keberadaan Prasasti sudah cukup untuk menyalurkan idealismenya sebagai seorang penulis. "Saya menakar gerakan dengan idealisme itu," imbuh pria berusia 70 tahun itu.
Aryantha tidak memiliki harapan muluk-muluk terkait usaha percetakan dan penerbitannya itu. Ia mengibaratkan penerbit bak orang yang mengalami sakit keras dan hanya menunggu keajaiban. "Apalagi yang mau saya lakukan? Saya nggak bisa hidup dengan cara lain.Bertani nggak bisa," pungkasnya.
Halaman selanjutnya: Bertahan di Tengah Keterbatasan...
Simak Video "Video: Kala Alun-alun Bogota Jadi Lautan Botol Plastik"
[Gambas:Video 20detik]