I Gusti Putu Bawa Samar Gantang merupakan salah satu sosok penting dalam perkembangan sastra Bali modern. Karya-karyanya banyak mengeksplorasi tema leak dan sisi mistis khas Bali lainnya. Genere puisi yang ditekuni Samar Gantang kelak dikenal dengan istilah puisi modre.
"Saya mulai menulis puisi berbahasa Bali sejak 1979," tutur Samar Gantang yang saat dijumpai di rumahnya di Banjar Tegal Belodan, Desa Dauh Peken, Kecamatan Tabanan, Minggu (12/2/2023).
Baca juga: Melestarikan Bahasa Ibu dengan Sastra Bali |
Ketertarikan Samar Gantang menekuni puisi modre tidak terlepas dari pengalaman pribadinya semasa kecil hingga beranjak dewasa. Selama 53 tahun menjalani proses kreatifnya menekuni dunia sastra, dia ternyata pernah dituduh memiliki ilmu hitam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya lahir prematur. Dari kecil kerap mengalami gangguan (mistis)," kata Samar Gantang.
Suatu hari, kakek dan neneknya memberi penangkal di ubun-ubun sewaktu Samar Gantang masih kecil. Namun, penangkal itu kemudian dicabut lantaran ia dituduh menguasai ilmu hitam.
"Waktu SMA, sekitar 1986, saya belajar kebatinan di pencak silat. Guru saya bilang, saya ini pakai ilmu hitam. Padahal itu penangkal dari nenek dan kakek saya," kenangnya.
Sejak penangkal di ubun-ubun Samar Gantang dicabut, ia mengaku gampang sakit kepala. Ia juga sering mendengar bunyi-bunyian aneh yang kemudian mengilhaminya menulis puisi modre.
"Sejak itu (penangkal) dicabut saya jadi sering dengar suara aneh. Suara-suara itu kemudian saya tulis. Di sana saya mulai berpikir, bunyi-bunyian itu seperti pola modre," jelasnya.
Berikut nukilan salah satu puisi modre karya Samar Gantang yang ditulis dengan pola bunyi-bunyian berjudul Léak Lanang Léak Wadon Léak Kedi:
...
Hyang Durga Biang Durga Hyang
rajah sembahku rajah
rajah sambléh samelulung ayam sambléh rajah
getah getih getah
rah
réh
roh
dadosan api dadosan api dadosan api dadosan api dadosan
sedangan manah sedangan angen sedangan
angin
...
Proses Kreatif Samar Gantang
![]() |
Samar Gantang mengaku proses pembuatan satu puisi bisa memerlukan waktu bertahun-tahun. Salah satu puisinya yang dibuat pada 1979 bahkan baru selesai pada 1983.
"Ini karena puisi Modre bukan puisi kontemplatif. Cenderung puisi auditorium. Sama seperti drama harus dicoba atau ditulis berulang kali supaya enak dibaca," kata Samar Gantang.
Sebagai seorang sastrawan, Samar Gantang juga mempunyai bekal teori-teori vokal pada saat bermain drama. Perkenalannya dengan aksara-aksara Bali khususnya modre membuatnya lihai mengekplorasi lebih mendalam ketika menciptakan puisi modre.
Puisi-puisi modre itu pula yang kemudian mengantarnya menjelajah sejumlah negara di benua Afrika dan Eropa dalam ajang World Poetry.
"Buat saya, puisi modre itu enak dibaca. Saya suka pada puisi-puisi panjang dan kaya irama dan ada unsur-unsur dasaraksara. Kadang kalau baca bait-bait yang panjang saya pakai palawakya. Kalau bait-bait pendek biasanya rangda ngereh atau seha enggengan pamangku," jelasnya.
Selain puisi, Samar Gantang juga menuangkan pengalaman-pengalaman mistis yang ia rasakan ke dalam karya sastra lainnya seperti cerita pendek (cerpen) atau novel. Hal ini ia lakukan sejak aktif menulis pada 1979.
Baca juga: Melestarikan Bahasa Bali dengan Tembang |
Sesekali, Samar Gantang juga menulis karya-karya fiksi dalam bahasa Indonesia. Semisal cerpen Leak Rare atau Tonya yang sempat dikirimkan ke salah satu media cetak di Jakarta.
"Tapi di kemudian hari saya iseng menulis ulang ke dalam bahasa Bali. Itu kalau tidak salah sekitar 1980," kata pria yang pernah menjadi guru itu.
Beberapa buku kumpulan puisi Samar Gantang yang sudah terbit, antara lain Léak Kota Pala, Puisi Modré Samar Gantang, Léak Bukit Pecatu, Jangkrik Maénci, dan lainnya. Atas dedikasinya mengembangkan sastra Bali, Samar Gantang menerima Hadiah Sastra Rancage 2003 dari Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikan budayawan Ajip Rosidi.
(iws/gsp)