PT Dewata Energi Bersih (DEB) mengajak Desa Adat Intaran, Sanur, Denpasar, untuk berdiskusi terkait polemik pembangunan terminal liquefied natural gas (LNG) di kawasan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai. Sejauh ini, PT DEB mengakui belum membangun komunikasi dengan Desa Adat Intaran yang menolak pembangunan LNG di kawasan mangrove.
"Harapan kami sebenarnya kami berdiskusinya secara kelembagaan antara PT DEB dengan pengurus Desa Intaran secara kelembagaan. Itu yang kita harapkan," kata Humas PT DEB, Ida Bagus I Ketut Purbanegara saat dihubungi detikBali, Rabu (22/6/2022).
Masyarakat Desa Adat Intaran sebelumnya sudah dua kali melakukan aksi turun ke jalan untuk menyatakan penolakan terhadap pembangunan LNG di kawasan mangrove. Beberapa alasan mereka untuk menolak pembangunan LNG di kawasan mangrove dikhawatirkan akan merusak lingkungan. Tak hanya itu, pembangunan terminal LNG di kawasan mangrove juga dituding berpotensi mengancam titik-titik suci di Desa Adat Intaran Sanur.
Terkait itu, Purbanegara menjelaskan, sesungguhnya kawasan yang akan dibangun ini tidak mengganggu kawasan suci yang ada di sekitar. PT DEB pun, kata dia, tetap mempertahankan estetika yang ada. Secara infrastruktur, pihaknya juga berusaha menyamarkan terminal LNG itu agar tidak terlihat menonjol dari jalan raya dan pantai.
"Kami berusaha menyamarkan itu, sehingga kami membuatnya di tengah-tengah hutan agar itu bisa disamarkan estetikanya. Tetap kita pegang. Kedua, kami ingin jarak cukup jauh dari kawasan aktivitas," tegasnya.
Dari segi perencanaan, Purbanegara megatakan proyek bernilai ratusan juta dolar ini seharusnya sudah beroperasi pada Februari 2023. Tahap awal, yang akan dibangun adalah dermaga sandar serta perpipaannya.
"Di tahap awal ini, yang akan kita bangun dermaga sandarnya dan perpipaannya dari Sidakarya sampai Pesanggaran. Kami punya waktu yang cukup mepet," ungkapnya.
Sebelumnya, PT DEB mengklaim, pembangunan terminal LNG di kawasan mangrove Tahura Ngurah Rai merupakan upaya efisiensi dalam mencapai kemandirian energi menuju tarif listrik murah di Bali. Hal itu mengingat, meningkatnya beban listrik Bali sebesar 1.185 Megawatt hingga 2023 seperti tercantum dalam RUPTL Perusahaan Listrik Negara (PLN) 2021-2030.
Purbanegara menyebut, sudah saatnya Bali memiliki pasokan listrik sendiri sebagai strategi inovatif mitigasi energi berkelanjutan dan jangka panjang.
"Dan perhitungan globalnya begini, tarif listrik dapat turun apabila tarif gas yang dipilih sebagai energi terbarukan untuk listrik juga bisa turun. Tarif LNG turun bila ongkos kirimnya dapat ditekan. Penurunan tarif itu dapat dilakukan jika pengirimannya dilakukan secara mandiri dan masif melalui terminal LNG tersebut, tanpa mengandalkan pihak lain," sebut Purbanegara dalam diskusi di Perumda Bali, Denpasar, Senin (20/6/2022).
Ia menyebut, kemandirian ini sesuai dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali dengan PT PLN pada 21 Agustus 2019 silam tentang penguatan sistem ketenagalistrikan dengan pemanfaatan energi bersih di Provinsi Bali.
Baca juga: Terminal Gas di Hutan Mangrove Bali |
"Apalagi Bali ini pintu masuk wisata dunia terbesar di Indonesia. Jadi sudah saatnya harus memiliki kepastian terhadap pasokan energi listrik berkelanjutan yang dapat dikelola dan dikontrol sekaligus ditentukan sendiri harga tarif dasar listriknya langsung oleh daerah, dalam hal ini Provinsi Bali," sambungnya.
Ini juga penyebab terminal LNG tidak dibangun di kawasan Pelabuhan Benoa milik Pelabuhan Indonesia (Pelindo).
"Langkah ini demi menjaga kemandirian energi menuju tarif dasar listrik lebih murah bagi rakyat Bali. Bukan berarti tidak boleh bergantung kepada Pelindo, tapi jika ada kesempatan melakukannya secara mandiri kenapa tidak," imbuhnya.
Simak Video "Video: Hasil Autopsi Penyebab Kematian Juliana Marins"
(iws/iws)