Masjid Tua Katangka adalah salah satu masjid tertua yang ada di Sulawesi Selatan. Seperti namanya, masjid ini berdiri kokoh di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa.
Masjid ini menjadi saksi bisu perkembangan Islam di Kerajaan Gowa. Hal ini juga terlihat dengan adanya sejumlah makam Raja-raja Gowa di sekitar area masjid.
Hingga saat ini, masjid ini masih digunakan warga setempat untuk beribadah sehari-hari. Selain itu, masjid ini juga kerap menjadi destinasi wisata religi oleh pengunjung dari berbagai daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, seperti apa sejarah dan keunikan Masjid Tua Katangka ini? Berikut ulasan lengkapnya dirangkum detikSulsel dari berbagai sumber.
Sejarah Masjid Tua Katangka
Dilansir dari jurnal Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar yang berjudul "Masjid Tua Al Hilal Katangka Sebagai Pusat Pengembangan Islam di Gowa", Masjid Tua Katangka dibangun pada tahun 1603 M oleh Raja Gowa XIV I Mangngarangi Daeng Manrabbia.
Awalnya masjid ini disebut Masjid Al Hilal atau Masjid Tua Al Hilal Katangka. Katangka diambil dari nama sebuah pohon yaitu 'katangka', pohon yang terkenal keramat pada masa Raja I Tumanurung.
Kawasan ini dipilih lantaran dianggap suci karena tidak pernah dijadikan tempat berjudi, berzina, dan perbuatan maksiat lainnya. Katangka juga termasuk dalam kawasan penting yang memiliki banyak instrumen sejarah, bangunan bersejarah, dan prasasti-prasasti bersejarah.
Pemberian nama Katangka pada Masjid Tua Katangka juga tidak lain untuk mengenang dan merenungi kejadian sejarah masa lalu yang terjadi di daerah itu.
Masjid Tua Katangka didirikan di atas lahan dengan luas sekitar 150 meter persegi. Tahun berdirinya masjid ini dapat dilihat dari prasasti yang terdapat di bagian depan pintu masjid. Di prasasti itu tertulis bahwa Masjid Tua Katangka didirikan pada tahun 1603 M.
Dikisahkan bahwa pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV, I Mangngerangi Daeng Manrabbia (1596-1639), istana kedatangan tamu yaitu seorang Syekh dari Arab. Ketika sedang berunding bersama Raja Gowa di Barugaloea, Syekh berpamitan untuk melaksanakan salat Jumat.
Syekh tampak menuju ke barat, ke arah Bukit Tamalate, sebuah hamparan tanah yang luas. Di kemudian hari tempat tersebut merupakan lokasi Masjid Tua Katangka sekarang.
Akhirnya, ketika Raja Gowa memeluk agama Islam di sekitar tahun 1603. Dirinya pun memerintahkan agar dibangun sebuah tempat beribadah untuknya dan tamu-tamunya yang beragama Islam di tempat tersebut.
Arsitektur Masjid Tua Katangka
Berdasarkan Jurnal Dosen dan Mahasiswa Arsitektur UIN Alauddin Makassar yang berjudul "Identifikasi Wujud Akulturasi Budaya Terhadap Arsitektur Masjid Al-Hilal Tua Katangka", masjid ini merupakan salah satu masjid di Indonesia yang dipengaruhi oleh budaya lokal dan budaya asing yang masuk ke Indonesia.
Budaya inilah yang menjadikan Masjid Tua Katangka berbeda dengan masjid-masjid lainnya. Ciri khas utamanya terletak pada perpaduan budaya dalam bentuk bangunan dan arsitektur Masjid Tua Katangka.
Secara bentuk bangunan, Masjid Tua Katangka tidak begitu banyak dipengaruhi oleh budaya lokal. Namun, secara arsitektur, ada bagian-bagian ornamen yang terletak di pintu utama dan mimbar yang memiliki perpaduan bahasa Arab dan bahasa Makassar.
Berikut ulasan tentang perpaduan budaya gaya arsitektur Eropa, Jawa, Cina, Arab, dan Makassar pada bentuk bangunan dan arsitektur Masjid Tua Katangka.
Gerbang Utama
Gerbang utama masjid ini berwarna putih Nieuwe Bouwen, warna ciri khas gaya arsitektur Kolonial Belanda. Gerbang ini juga mengadopsi ornamament Kolonial Belanda yaitu ornament gawel yang bervariasi pediment (ornamen berbentuk segitiga).
Secara bentuk, gerbang ini tampak seperti bangunan Eropa yang mirip seklai dengan ciri khas bangunan Benteng Rotterdam. Gerbang utama ini dibangun menggunakan bata merah yang tebal.
Pilar Bangunan Masjid
Pilar bangunan masjid ini berfungsi sebagai penyangga utama untuk menopang atap pada bangunan masjid. Tiang penyangga ini sangat besar dan terbuat dari susunan bata merah yang diplaster menyerupai silinder.
Bagian kolom atau pilar ini menggunakan material dari Kolonial Belanda. Sementara ornamen pada kolom menggunakan ornamen order doric yang berciri khas klasik Yunani.
Atap Masjid
Terdapat tiga kebudayaan yang mempengaruhi gaya arsitektur masjid ini. Ada cina, Kolonial-Belanda, dan Jawa.
Bagian atap terdapat mustaka atau keramik guci yang kono katanya berasal dari negeri Cina. Sedangkan material atap menggunakan material genteng yang didatangkan khusus dari Belanda.
Sementara kebudayaan Jawa dapat dilihat dari bentuk atap masjid yang berbentuk seperti atap Joglo. Atap Masjid Tua Katangka juga bersusun dua yang pada setiap sisinya terdapat dua buah jendela.
Serambi Masjid
Bagian serambi masjid mengadopsi kebudayaan Jawa. Dapat dilihat dari fungsi serambi sebagai ruang peralihan untuk tempat wudhu.
Bagian teras yang lain, terdapat bedug yang digunakan masyarakat sebagai alat untuk menandai masuknya waktu salat.
Mimbar Masjid
Mimbar masjid ini cukup unik karena bentuknya menyerupai atap klenteng. pada sekitar mimbar terdapat keramik yang berbentuk loster buatan Cina.
Juga ada ukiran menggunakan tulisan Arab tetapi berbahasa Makassar. Jadi, mimbar ini dipengaruhi tiga kebudayaan, yaitu Cina, Arab, dan Makassar.
Jendela
Jendela pada Masjid Tua Katangka berbentuk seperti jendela yang berasal dari budaya kolonial. Dapat dilihat kemiripan jendela masjid ini dengan jendela di Benteng Fort Rotterdam.
Dari segi ukuran, ciri khas jendela ini memiliki lebar yang cukup luas. Jendela Masjid Tua Katangka sendiri memiliki lebar 2 meter.
Dinding
Dinding Masjid Tua Katangka mirip sekai dengan gaya arsitektur Belanda. Mulai dari warnanya yang putih, yaitu warna Nieuwe Bouwen yang begitu terkenal di tahun 1900-an.
Ketebalan dinding ini juga mencapai 120 centimeter. Hal ini ada sebabnya dengan zaman pada saat itu yang merupakan zaman perang atau zaman penjajahan Belanda, sehingga masjid ini juga digunakan sebagai benteng pertahanan.
Nilai-Nilai Filosofi Bangunan Masjid Tua Katangka
Dikutip dari laman resmi Kemenag, Masjid Tua Al-Hilal Katangka terdaftar sebagai cagar budaya pemerintah Sulawesi Selatan dengan nomor urut inventaris 98. Selain itu juga ditetapkan sebagai benda cagar budaya nasional melalui surat keputusan Nomor:240/M/1999 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Karakteristik bangunan ini juga mengandung nilai-nilai filosofis yang tinggi. Seperti disebutkan dalam jurnal UIN Alauddin Makassar, "Masjid Tua Al-Hilal Katangka Sebagai Pusat Pengembagan Islam di Gowa Abad XVIII", berikut nilai-nilai filosofis yang terkadung dalam tiap kerangka bangunan masjid ini:
- Mustaka yang terdapat di puncak masjid menunjukkan bahwa Allah SWT itu Esa.
- Atap masdji yang bertingkat dua menyimbolkan dua kalimat syahadat.
- Soko guru yang berjumlah empat menunjukkan epat orang sahabat Nabi SAW yakni, Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
- Hiasa yang berbentuk segi empat adalah simbol sulapaeppa dalam kepercayaan Bugis-Makassar. Konsep inilah yang melahirkan huruf-huruf lontara.
- Hiasan daun pakis adalah sumber kehidupan masyarakat sekitar.
- Hiasan kaligrafi yang terdapat pada bagian atas pintu guna untuk mengingatkan pada Tuhan Yang Maha Esa.
- Pintu masjid yang berjumlah tiga menandakan angka ganjil yang sakral dalam kehidupan.
- Masjid yang memiliki enam jendela pada dinding ruang utama, memiliki arti 6 rukun iman dalam Islam.
Nah, itulan sejarah dan arsitektur Masjid Tua Katangka sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Gowa. Semoga semakin menambah wawasan kalian ya, detikers!
(edr/urw)