Masjid Al-Hamzah, menjadi salah satu bukti sejarah peradaban agama Islam dan Hindu di Banjar Soka Kanginan, Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali. Masjid ini didirikan oleh Puang Ordi yang mencerminkan kerukunan antarumat beragama.
Dikisahkan, Kerajaan Tabanan meminta salah satu tokoh untuk membantu menjaga hasil bumi baik yang hendak menjual dan sesudah menjual. Kala itu, masyarakat saling bertukar hasil bumi di wilayah Kota Tabanan dan Kota Singaraja.
Baca juga: Asal-usul Kampung Islam di Pulau Dewata |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Puang Ordi, menjadi salah satu tokoh muslim pertama di Desa Senganan yang hingga kini masih terus beregenerasi hingga keturunan ke-13. Tokoh asal Bugis Bone, Sulawesi Selatan, itu memiliki istri yang berasal dari Desa Angantiga, Kecamatan Petang, Badung.
Dari hasil pernikahan tersebut, Puang Ordi memiliki anak, salah satunya Puang Al-Hamzah. Nama Puang Al-Hamzah dijadikan sebagai nama masjid pertama di Desa Senganan tersebut.
Salah satu keturunan Puang Al-Hamzah, Wayan Muhammad Mukhsin, mengatakan Masjid Al-Hamzah sebelumnya berada di perbatasan antara Desa Bolangan dan Desa Soka. Pada 1960, masjid ini masih disebut langgar oleh masyarakat.
"Awalnya masjid dalam bentuk langgar, sebelum akhirnya pindah ke Desa Soka di tahun 1960. Kalau dulu pakai gedek (anyaman bambu), tiangnya dari pohon pinang, atap masih menggunakan ilalang," ujar Wayan Mukhsin ditemui detikBali, Selasa (25/3/2025) sore.
Pria berusia 51 tahun itu menyebut Puang Ordi tidak hanya menjadi tokoh muslim saja, tapi juga sosok penting di wilayah Desa Senganan. Begitu pula dengan Puang Hamzah yang berjuang untuk meneruskan pendirian masjid di lingkungan masyarakat Hindu di Desa Senganan. Puang Al-Hamzah memperistri perempuan asal Tabanan, yang kemudian menjadi seorang mualaf.
Wayan Mukhsin mengatakan Masjid Al-Hamzah tetap kokoh berdiri hingga saat ini karena keturunannya sangat menjaga kerukunan umat beragama, baik di Desa Senganan maupun sekitarnya.
![]() |
"Prinsipnya dari dulu tetap menjaga kerukunan umat beragama. Karena dari nenek kami juga banyak yang mualaf, ada yang dari Puri Marga, Desa Abiantuwung Kediri, sama dari daerah Soka," lanjutnya.
Masjid Al-Hamzah dahulu berada di dataran tinggi. Di mana posisi saat sebelum dibangun kurang lebih memiliki tinggi 50 meter dari jalan raya. Seiring berjalannya waktu, Masjid Al-Hamzah berpindah dan mulai dibangun perlahan.
Pembangunan tidak hanya dilakukan oleh umat muslim, tapi juga umat Hindu Bali yang ada di Desa Senganan dan sekitarnya. Mereka dibagi menjadi lima regu, di mana satu regu terdiri dari 15-20 orang. Mereka ikut meratakan tanah hingga membangun Masjid Al-Hamzah yang dikenal sampai saat ini.
"Masjid dibangun pelan-pelan, sampai akhirnya kelar di tahun 2007. Kalau bangunan asli yang masih dipertahankan itu tinggal ukuran bangunannya saja (tinggi). Soalnya banyak perubahan untuk membuat kokoh masjid ini," jelas Wayan Mukhsin.
Untuk masuk ke Masjid Al-Hamzah, pengunjung harus melewati 35 anak tangga. Masjid yang memiliki luas delapan are dan parkir tiga are ini biasa disebut dengan Perkampungan Muslim Soka.
![]() |
Selain masjid, pemakaman menjadi salah satu bukti peradaban Islam di Desa Senganan. Ada dua lokasi pemakaman di dekat masjid.
Pemakaman pertama berjarak kurang lebih dua kilometer. Kuburan tersebut menjadi tempat peristirahatan Puang Ordi hingga keturunannya, termasuk Puang Al-Hamzah. Total ada 20 makam.
![]() |
"Kalau (pemakaman) dekat masjid jaraknya 50 meter, makamnya sudah ada 30 yang berbarengan kepindahan dari Masjid Al-Hamzah," imbuh pria yang juga sebagai Wakil Takmir, Nadzir, dan Marbot Masjid Al-Hamzah itu.
(nor/nor)