Cat biru pada sejumlah batang pohon terlihat di sepanjang bantaran Sungai Akejira atau 5 kilometer dari Desa Kulo Jaya di wilayah transmigran Kobe, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Cat itu menjadi tanda lahan itu sudah dikaveling oleh pihak tertentu.
"Setiap kayu yang dicat itu bertanda lahan kavelingan yang berkedudukan di hutan produksi. Kalau di tanah HPL (hak pengelolaan atas tanah) berarti itu batas dari antara dua pemilik lahan," ujar warga Desa Kulo Jaya bernama Abner Dowongi (46), saat berbincang dengan detikcom, Senin (22/4/2024).
Desa Kulo Jaya di kawasan lumbung pangan itu masuk dalam satuan pemukiman (SP) 3, kemudian Desa Woejerana SP 2, serta Desa Dowongi SP 1 dan 4. Kedua desa itu hanya berjarak 3 kilometer dari areal konsesi PT Weda Bay Nickel (WBN), disusul PT Mega Haltim Mineral dengan jarak 5 kilometer, dan PT Tekindo Energi 8 kilometer, dan PT Halmahera Sukses Mineral dengan jarak 10 km.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Abner, masyarakat berbondong-bondong masuk ke hutan untuk mengkaveling lahan sejak perusahaan tambang nikel hadir di wilayah Weda Tengah hingga Weda Utara. Nantinya, lahan tersebut dijual ke perusahaan dengan harga yang telah ditentukan.
"Harga standar yang dipatok perusahaan itu Rp 2.500 per meter. Saat ini hampir semua warga sudah melepas lahannya, tapi rata-rata lahan yang dikaveling tidak dibuatkan kebun," ujarnya.
Menurut Abner, khusus lahan yang terdapat tanaman tahunan dan bulanan akan diberi kompensasi oleh perusahaan berupa seng, batako, besi, dan tanah timbunan agar masyarakat dapat membangun rumah. Tapi skema seperti itu tidak sepenuhnya disetujui oleh warga.
"Katakanlah lahan seluas 2 hektare milik 4 orang. Kalau hasil penjualan Rp 50 juta dibagi ke masing-masing 4 orang, pasti tidak cukup untuk ongkos kerja tukang. Mau bayar tukang pakai apa, uang sebesar itu tidak bisa bangun rumah," ucapnya.
Menurut Abner, jika warga tetap mempertahankan lahannya, mereka akan diperhadapkan dengan oknum aparat keamanan. Praktik seperti itu membuat warga tidak berdaya sehingga dengan terpaksa melepaskan lahannya ke perusahaan, meski dengan harga rendah.
"Namanya kebun warga kalau dibongkar perusahaan, kalau warga melawan, mereka turunkan TNI-Polri. Jadi warga tidak lagi berhadapan dengan perusahaan, tapi aparat keamanan," ujarnya.
"Harusnya tidak usah libatkan aparat, turunkan pihak perusahaan biar sama-sama cari jalan tengah. Kalau turunkan aparat, sudah sama seperti upaya perampasan. Karena mereka turun dengan senjata lengkap," tutur Abner.
Penguasaan lahan lewat jalur-jalur legalitas dan prosedural sempat dialami oleh warga Desa Gemaf, Maklon Lube (43). Lahan kebunnya seluas 4 hektare yang ditanami pohon kelapa, pala, cokelat, sagu, dan pinang, digusur untuk pembangunan Jalan Hauling milik PT WBN.
Maklon mengaku sempat menolak menjual lahannya. Sebab, lahan kebun milik orang tuanya itu telah dikelola di atas 30 tahun. Dari sisi ekonomi, selain bisa meraup keuntungan Rp 5-10 juta dalam sekali panen, lahan itu akan diwariskan ke anak cucunya kelak.
"Kalau saya lepas dengan harga Rp 2.500 per meter, maka keuntungan yang saya peroleh hanya Rp 25 juta per hektare. Makanya saya memilih bertahan di hutan selama 3 bulan untuk jaga itu kebun," ujar Maklon kepada detikcom, Jumat (8/4).
Namun saat Maklon balik ke rumah, perusahaan kembali menggusur. Bahkan lahan kebunnya diberi garis polisi. Karena terus bertahan, Maklon dua kali dipanggil polisi pada pertengahan Desember 2023 dengan perkara mengganggu kegiatan pertambangan dan penguasaan lahan tanpa hak.
"Pemanggilan itu sebagai saksi dengan perkara tindak pidana merintangi, atau mengganggu kegiatan pertambangan dan penguasaan lahan tanpa hak," ucap Maklon.
![]() |
Dalam kondisi terdesak, Maklon meminta agar lahannya dibayar dengan harga di atas Rp 2.500 per meter. Alasannya, tanaman yang tumbuh di atas lahan tersebut harus ikut dihitung. Tapi perusahaan menolak dengan berbagai dalih.
"Perusahaan patok harga tanah per meter Rp 2.500, istilahnya tali asih atau ganti rugi. Mereka tidak mau harga di atas Rp 2.500, mereka tidak mau hitung tanaman yang tumbuh di atas lahan itu. Mereka juga bilang lahan saya masuk IPPKH, kalau melawan akan dipenjara," ujarnya.
Tekanan demi tekanan membuat pihak keluarga merasa iba. Maklon pun dibujuk untuk melepas lahannya, terlebih saat itu bertepatan dengan hari Natal. Dibantu pengacara, Maklon dengan berat hati akhirnya melepas lahannya ke perusahaan dengan harga Rp 2.500 per meter.
Maklon mengaku saat itu hanya bisa pasrah hingga meneteskan air mata saat menatap tanaman kebun yang telah dirawat selama puluhan tahun, lenyap dibabat habis ekskavator milik perusahaan. Kini, lahan kebun yang tersisa 3 hektare juga masuk dalam IPPKH PT WBN.
"Habis uang, habis tenaga, cukup sakit. Saya itu menangis. Saat ini (lahan kebun) tersisa 3 hektare yang masuk dalam wilayah IUP perusahaan. Jadi mau tidak mau tetap digusur," ujarnya.
Warga Desa Woejerana, Maba mengatakan saat ini lokasi yang masih menjadi tarik ulur antara warga dan perusahaan berada di km 27. Di situ terdapat kebun nanas milik sekelompok warga seluas 5 hektare.
"Kemarin ada pertemuan dengan camat, saat itu camat bilang kalian jual tidak jual perusahaan tetap bongkar. Padahal lokasi itu ada kebun nanas milik warga yang sudah dikelola puluhan tahun," ujarnya.
Menurut Maba, di atas lahan seluas itu, proses panennya memakan waktu 3-4 bulan. Adapun keuntungan dari hasil penjualan berkisar Rp 5-6 juta. Nantinya, uang tersebut akan dibagi Rp 1-2 juta ke setiap orang. Kini, lahan tersebut pun terancam digusur.
"Torang (kami) punya orang tua-tua ini hidup berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan di kebun itu. Mereka hanya balik ke kampung untuk ibadah," ucapnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Kawasan Mangrove Lenyap Dijual Warga
Dua kapal tongkang pengangkut ore nikel berkapasitas 50.000 ton terparkir di areal Dermaga Jetty milik PT Harum Sukses Mining (HSM) di Teluk Sepo, Desa Fritu, Kecamatan Weda Utara, Kamis (7/3). Dermaga Jetty milik PT HSM itu mulai difungsikan awal tahun 2023. Sedangkan di sebelahnya terdapat Dermaga Jetty milik PT Bakti Pertiwi Nusantara yang sedang dibangun.
Warga Desa Fritu, Arkipus Kore mengatakan lokasi yang dibangun Dermaga Jetty adalah areal mangrove yang dijual oleh seorang warga. Tapi pihak perusahaan tidak membocorkan identitas penjualnya. Ini sempat membuat masyarakat memalang areal Jetty pada tahun 2023.
"Katanya ada warga yang sudah jual ke mereka (perusahaan), tapi mereka tidak menyebut siapa orangnya. Jadi masyarakat tuntut soal dampak lingkungan dan (kerusakan) mangrove terkait ganti rugi atau tanam semula," kata Arkipus kepada detikcom, Senin (4/4).
Arkipus menuturkan, saat ini perusahaan tambang seperti PT Halmahera Sukses Mineral, PT HSM, PT Bakti Pertiwi Nusantara, hingga PT Dharma Rosadi Internasional telah beroperasi. Ore nikelnya diangkut melalui Dermaga Jetty milik PT HSM.
Aktivitas itu membuat deretan pohon mangrove di wilayah tersebut telah dibabat habis untuk pembangunan Dermaga Jetty seluas 1 hektare. Lokasi itu terbilang strategis. Sebab dalam kondisi cuaca ekstrem, kawasan itu terlindung dari sebuah pulau di depan selayaknya benteng.
Arkipus juga menyebut saat ini lahan di sepanjang pesisir Desa Fritu sedang dilobi oleh perusahaan dengan harga Rp 12.500 per meter. Hampir sebagian besar sudah dibayar, tapi belum digusur. Sedangkan di kawasan pegunungan ditawar dengan harga Rp 11.500 per meter.
"Jadi kalau soal ruang hidup, masyarakat di sini sebenarnya pembayaran lahan harganya sangat murah. Kita mau backup, tapi masyarakat sendiri juga tergiur melepaskan lahannya untuk investasi," katanya.
Tergerusnya lahan ketika investasi datang turut dirasakan oleh warga Desa Lelilef Woebulan, Weda Tengah, Abdullah Ambar. Rencana Abdullah memanfaatkan sebidang lahan di sekitar rumahnya untuk membangun gudang penampung es, ikan, dan peralatan mancing, dilarang oleh pemerintah desa setempat.
"Katanya itu lahan milik desa. Kalau pemerintah punya, kapan mereka buat pembebasan untuk lokasi ini. Kalaupun pemerintah bikin pembebasan, lokasi itu diperuntukkan untuk siapa," ucap Abdullah saat berbincang dengan detikcom, Selasa (5/3).
Belakangan, Abdullah mengaku menerima informasi bahwa areal di belakang rumahnya yang berhadapan langsung dengan laut masuk dalam titik reklamasi. Lokasinya dimulai dari kawasan bandara PT IWIP di Tanjung Ulie sampai pesisir Desa Kobe.
"Menurut kepala desa, lokasi itu masuk dalam areal reklamasi. Mulai dari areal bandara IWIP sampai areal Jetty PT Tekindo di pesisir Kobe. Jadi habis semua ini. Kalau rakyat mengeluh, apakah pemerintah mau lihat," tuturnya.
Menghadapi kenyataan itu, Abdullah meminta agar proyeksi tersebut perlu dikaji secara serius, terutama jalur keluar masuk perahu nelayan. Sebab jika tidak, maka nelayan akan tidak bisa melaut.
"Kalau reklamasi semua, perahu kami masuk keluar bagaimana. Sudah bunuh di darat, bunuh juga di laut. Jangan kepentingan investasi besar tapi rakyat korban. Ini perlu dikaji sama-sama," ujarnya.
"Negara mau kemanakan rakyat kalau semua sudah dicaplok perusahaan. Hak-hak rakyat di mana dan negara melindungi siapa, rakyat atau investasi. Karena tanpa investasi pun masyarakat masih bisa hidup," imbuh Abdullah.
![]() |
Abdullah mengakui, saat ini lahan warga telah habis dijual ke perusahaan. Bahkan lahannya di kawasan Bukit Kawinet, Desa Sagea, Weda Utara, seluas 9 hektare yang ditumbuhi pohon sagu diincar PT Shanghai dengan harga Rp 15.000 per meter. Tapi Abdullah menolak tawaran itu.
"Hari ini tanpa sadar saya jual 1-2 hektare untuk memenuhi kebutuhan, tapi anak cucu saya siapa yang lindungi. Tugas negara adalah menyadarkan saya. Karena katakanlah tanah per meter Rp 9.000, menurut saya (dengan harga itu) kami sudah ditinggalkan," ucapnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Persoalan Lahan, Persoalan Legalitas
Menanggapi hal itu, Kapolres Halmahera Tengah AKBP Faidil Zikri mengatakan persoalan lahan harus punya sandaran. Menurutnya, untuk membuktikan klaim-klaim atas hak kepemilikan lahan harus disertai bukti sertifikat.
"Yang berhubungan dengan tanah itu legalitas, berarti surat-surat. Mereka tidak punya surat-surat, hanya mengklaim ini (lahan) dan ini punya saya, bagaimana membuktikannya," kata Faidil kepada detikcom, Senin (1/4).
Faidil pun mempertanyakan identitas warga yang mengaku punya lahan kebun dan sudah dikelola di atas 30 tahun. Dia menegaskan, kasus pertanahan bukan urusan polisi tapi pengadilan. Polisi akan hadir jika ada unsur pidana di dalamnya.
"Kasus pertanahan itu bukan urusan polisi, itu dengan pengadilan. Kalau ada pidana di situ, itu urusan polisi. Kan sudah dibilang, kalau merasa dirugikan, silakan laporkan ke pengadilan. Legalitas tanah itu adalah sertifikat atau surat-surat lainnya yang menyatakan itu," ujarnya.
"Kedua, kita proporsional aja. IWIP sudah ngomong, kalau merasa lahan itu milik dia, silakan tuntut kami secara perdata. IWIP juga punya surat, kontrak karya, dan lain-lain. Aku bukan tidak tahu, modus orang di sana aku hapal," cetus Faidil.
Faidil menegaskan polisi dalam persoalan ini tetap bersikap profesional. Siapapun yang menghalangi proyek nasional akan ada sanksi hukumnya.
"Kita profesional aja. Untuk urusan perdata silakan ke pengadilan, kalau ada pidana kita akan proses. Karena menghalang-halangi objek vital nasional itu ada hukumannya. Mereka minta harga di atas harga tali asih, sementara pemda sudah tetapkan tali asih berapa," imbuh Faidil.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Halmahera Tengah Yusmar Ohorella menilai jika lahan itu bukan milik pribadi, pemerintah bisa mengambil langkah pencegahan. Tapi sosialisasi hingga penjelasan yang diberikan seakan tak menyurutkan niat warga untuk melepas lahannya ke perusahaan.
"Kalau hari ini lahan pemerintah mungkin masih bisa kami cegah. Karena itu milik pribadi jadi kadang kita beri penjelasan, tapi masyarakat punya kebutuhan mendesak dengan segala hal, akhirnya mereka jual. Kita tidak bisa larang juga," ujar Yusmar kepada detikcom, Selasa (26/3).
Menurut Yusmar, duduk persoalan yang terjadi saat ini ketika warga yang mempertahankan lahannya, ikut terkena dampak dari kegiatan pertambangan di sekitar lahan yang telah dijual. Ini membuat pemilik yang awalnya bertahan terpaksa ikut menjual lahannya.
"Misalnya satu hamparan lahan milik 10 orang, kemudian 6 orang sudah jual karena kebutuhan mendesak. Sedangkan yang di samping itu tidak jual, ketika kegiatan penambangan jalan, tetap dia kena dampak, akhirnya dia jual. Ini pernah saya temukan di Desa Sagea," tuturnya.
Yusmar menyebut para petani pada dasarnya berkomitmen tidak akan melepaskan lahannya sepanjang kegiatan penambangan tidak mengganggu aktivitas mereka. Namun fakta di lapangan tidak seperti yang diharapkan.
"Mereka pernah sampaikan ke saya, 'pak kadis, kalau kita komitmen tidak jual ya tidak jual semua, kita bertahan. Tapi kalau tambang sudah masuk, tetap dia berdampak ke kita juga'. Akhirnya kami punya kegiatan pertanian juga terhambat," tuturnya.
![]() |
Saat ini Dinas Pertanian Halmahera Tengah mendorong sebuah program, yaitu lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Tapi nomornya belum dicantumkan ke dalam peraturan daerah (perda) lantaran harus menyesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW).
"Perda itu saya minta perlindungan lahan sekitar 100 hektare. Tapi nomor perdanya belum ada, karena harus sesuai dengan RTRW. Petanya harus kasih cocok dengan RTRW dulu, tidak boleh bertentangan. Sedangkan RTRW sampai sekarang belum ada penetapan juga," ujarnya.
Namun belakangan ini, air Sungai Akejira di wilayah transmigran Kobe yang semula jernih kerap keruh. Saat hujan deras, air sungai meluber ke lahan-lahan pertanian di sebelahnya. Padi yang ditanam tak bisa tumbuh sempurna lantaran tertutup material lumpur coklat kemerahan.
Sementara, hulu sungai Akejira yang terletak di wilayah Mensakaulen masuk di areal konsesi PT WBN, PT HSM, dan PT Tekindo Energi. Peristiwa banjir hingga sulitnya mengairi sawah membuat petani di transmigran Kobe meninggalkan kegiatan pertanian sejak 5 tahun lalu.
"Memang kita mau bilang apa, ini kegiatan penambangan di dara (wilayah pegunungan), pertanian di lao (di bawah). Jadi memang ini tantangan. Kadang kita sering berdebat," ucap Yusmar.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Dorong LP2B saat Bertani Tak Lagi Diminati
Kondisi yang terjadi di wilayah transmigran Kobe turut dibenarkan oleh Staf Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Halmahera Tengah, Rusli Jamaluddin. Menurutnya, sebagian besar lahan persawahan di Desa Kulo Jaya, Desa Woejerana, dan Desa Dowongi sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh warga.
"Di transmigran Kobe mereka punya lahan sawah itu kebanyakan sudah tidak aktif. Ada yang beralih ke petambak ikan, itu di Desa Woejerana. Sedangkan di SP 3 Kulo Jaya itu petani sudah tidak berminat lagi untuk menggarap sawah. Ini mulai terjadi di tahun 2018," ungkap Rusli pada detikcom, Selasa (26/3).
Menurut Rusli, penyebab petani tidak menggarap sawah karena saat musim hujan, Sungai Akejira meluap membawa material lumpur yang mengakibatkan petani kerap gagal panen. Padahal, sempat ada rencana kerjasama antara petani dengan PT IWIP di sektor pertanian.
"Kalau tidak salah itu dalam satu pekan harus disiapkan sekitar 9 ton beras. Tapi petani di sana ya, jangankan untuk IWIP, memenuhi kebutuhan mereka sendiri saja sudah tidak bisa. Sedangkan di Desa Kulo Jaya dan Woejerana itu memang sudah tidak ada minat lagi," tuturnya.
Rusli menjelaskan, 100 hektare lahan yang didorong dalam LP2B sejak 2019 itu difokuskan di Desa Kulo Jaya. Rinciannya, lahan sawah 0,75 hektare, lahan pekarangan 0,25 hektare, dan lahan dua 1 hektare. Nantinya, lahan itu akan diterbitkan sertifikat dan dibagikan ke petani.
"Tapi tergantung masyarakat di sana. Kalau mereka jual ya, kita tidak bisa bikin apa-apa. Kami hanya berupaya bagaimana supaya lahan itu jangan mereka jual. Saya kurang tahu petani punya alasan apa untuk melepas itu," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Halmahera Tengah, Kimsan Lasaidi mengatakan, alasan instansinya mengodok LP2B agar warga bisa bertahan di sektor pertanian. Sebab, industri pertambangan tidak selamanya bertahan.
"Kita bisa bercermin dari Pulau Gebe, begitu tambang bergeser, kebutuhan hidup masyarakat habis. Itu jadi cerminan besar, makanya kami tetap mempertahankan lahan. Karena tambang ini kan tidak selamanya. Kalau ada yang sudah jual (lahan) kami tidak bisa tahan," ujar Kimsan.
Kimsan juga mengaku belum punya data terkait berapa jumlah petani di wilayah Weda Tengah dan Weda Utara saat ini. Bahkan, dalam pembahasan data statistik di tingkat provinsi, pihaknya mengusulkan agar penghitungan luas kawasan perkebunan di dua wilayah ini dihentikan.
"Kami tidak mau lagi menghitung luasannya, karena kami belum tahu berapa lahan perkebunan yang tersisa. Kan sudah diambil ini, jadi memang luasan lahan berpengaruh (dengan jumlah petani), lahan perkebunan warga mulai berkurang, mungkin sudah habis itu," tambah Kimsan.
Bahkan, lanjut Kimsan, jumlah petani di Desa Gemaf tersisa satu orang bernama Maklon Lube. Sementara, petani yang lain sudah menjual lahannya. Padahal, hampir semua lahan-lahan pertanian dan perkebunan di wilayah Weda Tengah dan Weda Utara sangat produktif.
"Di Gemaf tersisa satu petani saja yang bertahan tidak mau jual lahan kebunnya. Namanya Pak Maklon. Tinggal dia yang ada lahan, yang lain semua habis. Padahal lahan-lahan perkebunan di Weda Tengah dan Utara itu produktif semua. Tapi itu, semua sudah dijual," ujarnya.
![]() |
Tergerusnya lahan perkebunan membuat warga di Weda Tengah sempat menolak bantuan bibit kelapa dari Kementerian Pertanian pada tahun 2023. Sehingga, Dinas Pertanian Halmahera Tengah mengalihkan bantuan tersebut ke Pulau Sayafi di Kecamatan Patani.
"Bantuan itu setiap tahun, tapi lahan perkebunan sudah tidak ada. Cuman kendala di Pulau Sayafi itu banyak sapi. Hari ini tanam, besok sudah habis dimakan. Kecuali pengadaan buat pagar, tapi itu juga mau bertahan berapa lama," kata Kimsan.
Kimsan mengaku dilema dengan kondisi saat ini, meski ada upaya pemberdayaan dari pemerintah pusat hingga daerah. Karena hampir tidak mungkin untuk dilakukan perluasan wilayah perkebunan.
"Jadi kehadiran perusahaan tambang ini mempengaruhi luasan lahan perkebunan, itu pasti. Karena lahannya sudah diambil, tidak bisa dinafikan itu. Kalau mau dihitung, sudah habislah. Jadi mau bikin bagaimana. Mudah-mudahan petani bisa survive," harapnya.
"Ketika ada yang bertanya kenapa kalian bertahan, ya karena kita punya petani. Kalau kita juga sudah pas (angkat tangan), ya hapus sudah dinas ini, apa lagi yang mau dikerja. Saya itu berkaca dari Pulau Gebe, kasihan. Dari tahun 2000 sampai 2004 itu mereka kolaps," cetusnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Pembebasan Lahan Sudah Berlangsung 10 Tahun Lalu
Merespons hal itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Halmahera Tengah, Mustamin Jamal mengatakan proses pembebasan lahan sudah berlangsung sejak 5 hingga 10 tahun lalu. Saat ini, tidak ada lagi lahan yang tersisa bagi petani.
"Soal siapa yang jual lahan ketika perusahaan melakukan pembebasan lahan, proses ini berlangsung di 5 bahkan 10 tahun yang lalu, makanya tidak ada lahan lagi untuk aktivitas perkebunan," ujar Mustamin kepada detikcom, Rabu (27/4).
Mustamin mengakui dampak dari perkembangan industri mengakibatkan lingkungan di wilayah pedesaan rusak, sampah berserakan di mana-mana, hingga krisis air bersih. Selain itu, banyak lahan-lahan perkebunan yang beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman.
"Lahan-lahan perkebunan banyak beralih fungsi menjadi kawasan pemukiman untuk pembangunan kos-kosan dan lain-lain. Jadi yang harus dibangun adalah kesadaran kolektif bagi semua orang yang menempati kawasan tersebut," katanya.
Mustamin juga mengaku tidak tahu soal keterlibatan pemerintahan desa dalam upaya memuluskan rencana perusahaan menguasai lahan warga. Tapi dari setiap investasi yang masuk, aparatur pemerintahan di tingkat kecamatan hingga desa akan bertindak sebagai mitra.
"Saya kurang tahu, tapi saya mau bilang setiap investasi yang masuk di suatu wilayah sudah tentu kepala pemerintahan yang terdiri dari kades dan camat di lingkar perusahaan, pasti menjadi mitra untuk berdiskusi dan tukar informasi terkait kondisi sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan," imbuhnya.
Selanjutnya, Sekretaris Daerah (Sekda) Halmahera Tengah Bahri Sudirman juga mengaku belum tahu soal jual beli lahan di wilayah Weda Tengah dan Weda Utara dengan harga Rp 2.500 per meter. Dia beralasan dirinya baru menjabat sebagai sekda.
"Saya belum tahu itu, ini saya juga baru (menjabat) beberapa hari kemarin ini. Makanya saya bilang, saya belum tahu. Itu nanti dengan Disperkim (Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan) saja," ucap Bahri saat ditemui di ruangannya, Rabu (27/3).
Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Halmahera Tengah, Abdullah Yusuf menyebut skema tali asih bukan kebijakan pemda, tapi antara pemilik lahan dan perusahaan. Abdullah pun meminta persoalan itu ditanyakan ke Bappelitbangda dan Dinas Pertanian Halteng.
"Setahu saya pemberian tali asih itu bukan kebijakan pemda, kayaknya itu kesepakatan antara perusahaan dengan pemilik lahan garapan. Lebih jelas nanti konfirmasi ke Kaban Bappelitbangda dengan Dinas Pertanian," katanya.
Abdullah juga menyarankan bertanya langsung ke kepala desa maupun camat terkait praktik penguasaan lahan di lapangan. Karena selain sifatnya situasional, tugas Disperkim dan Pertanahan lebih pada pengadaan tanah untuk keperluan pemerintah.
"Coba konfirmasi ke kepala desa atau camat, karena ini sifatnya situasional. Kalau bidang tanah yang di Disperkim itu tupoksinya (tugas, pokok dan fungsi) lebih ke pengadaan tanah untuk keperluan pemerintah," imbuh Abdullah.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Transmigran Kobe Masuk KKPR, Warga Diberi Pilihan
Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Halmahera Tengah, Salim Kamaluddin meminta menanyakan langsung ke Kementerian Transmigrasi. Karena saat ini status wilayah transmigran Kobe masuk dalam Kegiatan Kesesuaian Peruntukan Ruang atau KKPR.
"KKPR itu izinnya di Kementerian ATR. Jadi hutan, tambang, industri, itu tidak ada izin di daerah, semua di pusat. Cari dulu ketentuannya di kementerian pembangunan pedesaan itu baru kita bisa ngomong. Jadi sudah tidak ada lagi transmigran Kobe," cetus Salim kepada detikcom, Senin (1/4).
Soal status wilayah transmigran Kobe menjadi KKPR, Salim kembali menyarankan detikcom bertanya langsung ke kementerian terkait yang memiliki data. Karena tugas pemerintah daerah hanya melakukan penyesuaian sesuai kebutuhan pemerintah pusat.
"Ya (transmigran Kobe diperuntukkan untuk apa) nanti tanya mereka (kementerian). Ruangnya dimanfaatkan untuk apa, kawasan industri kah, nanti cari tahu dulu. Karena mereka bikin surat lalu ke sana tinjau. Semua penuh dengan surat, semua punya landasan," ujarnya.
Selain mempertanyakan informasi soal lahan-lahan di transmigran Kobe yang telah dilepas ke perusahaan tambang, Salim juga meminta detikcom membocorkan identitas warga yang menjual lahan. Termasuk perusahaan mana saja yang membeli lahan warga.
"Tahu dari mana (jual beli lahan di transmigran Kobe)? Siapa yang punya data? Warganya siapa? Jangan Anda jebak begitu. Harus tahu orangnya, datanya di mana? Siapa yang bayar? Jadi tanya di perusahaan. Kalau ada data mari kita telusuri, apakah valid atau tidak," tuturnya.
"Tanya mereka (warga), Anda punya berapa lahan? Masuk di mana? HPL kah, hutan kah, gitu. Perusahaannya apa? IWIP kah, Tekindo kah, HSM kah, PT Bacan kah, PT Obi kah, PT Labuha kah, PT Bau-bau kah," ujar Salim.
Salim juga mengaku tidak tahu terkait transaksional lahan-lahan pertanian tersebut. Tapi menurutnya, semua proses penjualan punya mekanisme. Sebab, tidak boleh saling mengklaim hak kepemilikan tanpa alas bukti yang jelas.
"Kita tidak saling tahu (transaksi lahan). Kalau mereka (perusahaan) mau membebaskan (lahan) sesuai dengan izin peruntukkan, mereka menyurat. Ada kepala desa, semua kumpul, cek, betul Anda (warga) punya (lahan)? Baru mereka (perusahaan) bayar. Kalau mereka (warga) ngaku-ngaku begitu datanya mana?" cetus Salim.
Di Halteng terdapat kawasan transmigran Wairoro di Kecamatan Weda Timur dan transmigran Waleh di Weda Utara. Jika ke depan transmigran Kobe dialihkan sebagai kawasan industri, maka warga akan diberi pilihan untuk menempati salah satu dari dua wilayah tersebut.
"Kan ada kawasan transmigrasi di Wairoro dan Waleh. Tapi mereka bersedia untuk masuk transmigrasi lagi apa tidak? Lahannya sendiri mereka jual. (Soal warga terpaksa jual lahan karena dalam situasi terdesak) tidak juga, tidak juga. Konfrontir baik-baik," tuturnya.
Menurut Salim, status KKPR adalah bagian dari IPPKH sehingga perlu dikonfrontir dengan perusahaan pemegang izin. Sedangkan soal harga lahan Rp 2.500 per meter, Salim menegaskan pemda tidak ikut campur. Sebab sudah ada surat edaran yang mengatur tentang harga lahan.
"IPPKH itu KKPR tadi. (Soal tali asih) itu mereka (pemilik lahan) dengan mereka (perusahaan), pemerintah daerah tidak bisa campur. Karena itu sudah membatasi orang punya urusan. Masyarakat mau jual, oke, tidak jual ya silakan. Pemerintah daerah ada surat edaran, ada keputusan bupati tentang pembayaran lahan itu, tanaman, ada," ujarnya.
Imbauan Tak Jual Lahan di Masa Bupati Edy Langkara
Kepala Bidang Transmigrasi dan Tenaga Kerja Disnakertrans Halmahera Tengah, Fauji Basir mengatakan masyarakat di wilayah transmigran sebenarnya sudah diimbau untuk tidak menjual lahan di masa Bupati Edy Langkara.
"Kan pemerintah pusat buat transmigran dengan tujuan untuk bagaimana merubah pola hidup masyarakat. Tapi kenyataannya setelah perusahaan masuk ya, mungkin karena faktor kebutuhan sehingga mereka jual lahan itu," ujar Fauji kepada detikcom, Senin (1/4).
Fauji mengakui, perluasan kawasan industri mencakup wilayah Weda Tengah dan Weda Utara. Bahkan menyasar Kecamatan Patani. Itu artinya, kawasan transmigran Kobe hingga Waleh masuk dalam zona industri. Namun Fauji tetap tak membenarkan praktik jual beli lahan.
"Kami kan setiap kunjungan sudah sampaikan ke warga, itu lahan pemerintah tidak boleh dijual. Tapi jujur saja, tetap saja mereka jual. (Apalagi lahan-lahan di wilayah transmigran) sudah sertifikat, termasuk di transmigran Kobe itu sudah semua sertifikat," katanya.
Namun, Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Halmahera Tengah, Imam Budi Santosa menilai transaksional lahan di wilayah Weda Tengah dan Weda Utara lebih bersifat personal. Beda jika lahannya diperuntukan untuk fasilitas umum.
"Itu kan langsung antara pembeli dan penjual. Kalau penjualnya enggak mau (jual) ya enggak jadi. Beda kalau misalnya (lahan diperuntukan) jalan raya, bandara, untuk kepentingan umum. Dia kan melalui panitia pengadaan, nilainya pakai appraisal," kata Imam saat berbincang dengan detikcom di ruangannya, Kamis (28/3).
Imam tidak menjawab secara langsung soal status kepemilikan lahan di wilayah transmigran. Tapi menurutnya, jika kawasan itu belum diserahkan ke pemda, maka statusnya milik Departemen Transmigrasi di bawah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
"Kalau belum diserahkan ke pemda, masih miliknya departemen transmigrasi. Kalau sudah diserahkan berarti miliknya pemda. Jadi kalau sudah disertifikatkan hak milik berarti status lahannya milik warga. Kecuali ada yang misalnya (dimanfaatkan) untuk fasilitas umum," ujar Imam.
Imam mengaku sudah ada beberapa sertifikat hak milik atas tanah yang dikeluarkan BPN di wilayah transmigran Kobe. Tapi belum diketahui berapa jumlahnya, karena harus dicek satu persatu. Namun soal harga lahan Rp 2.500 per meter, kembali kepada kesepakatan pemiliknya.
"Saya enggak hafal, tapi di daerah Kobe ada sih. Terbitnya sertifikat atau belum kan harus saya cek satu-satu. (Soal harga lahan Rp 2.500) kalau orangnya setuju. Bedanya melalui proses pengadaan untuk instansi pemerintah. Kalau itu (tali asih) kan tidak pakai appraisal," ujarnya.
Lebih lanjut Imam menegaskan, lahan-lahan perkebunan di wilayah IPPKH yang sudah dikelola di atas 30 tahun bukan kewenangan BPN. Kewenangan BPN untuk mengeluarkan sertifikat hak milik atas tanah hanya di luar kawasan hutan.
"Kalau wilayah kami di luar kawasan hutan. Karena kalau masuk kawasan hutan, kami mau buat sertifikat tidak bisa. Jadi kalau di kawasan hutan, enggak mungkin kami keluarkan sertifikat," jelasnya.
Saat ini pemda bersama DPRD sedang mematangkan Perda RTRW Halteng tahun 2024 - 2044. Seperti apa peruntukan wilayah transmigran Kobe kedepannya, BPN tetap menunggu hasil kesepakatan dari seluruh lintas sektoral.
"Itu (RTRW) masih dalam pembicaraan ya. (Keterlibatan BPN dalam pembahasan RTRW) dengerin, iya. Kami kan cenderung (mengikuti) instansi penggunanya. Nanti tata ruang itu keluarnya seperti apa, ya (posisi BPN) paling kami dimintai data sih. Rapat itu kan ada lintas sektoral, nanti pembahasan di lintas sektoral," ujarnya.
Imam menyebut data yang diminta oleh beberapa instansi dalam rapat pembahasan RTRW berupa penggunaan tanah di suatu wilayah. Tapi Imam tak menampik jika wilayah Weda Tengah dan Weda Utara akan diperuntukan untuk kawasan industri.
"Ya itu, (data tentang) penggunaan tanah di daerah itu (wilayah Weda Tengah dan Weda Utara), biasanya mereka minta-minta seperti itu ke kami. Dengar-dengar drafnya (wilayah Weda Tengah dan Weda Utara diperuntukan untuk kawasan industri) seperti itu," imbuh Imam.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Sisipkan 7.000 Hektare Kawasan Cadangan Industri di Patani
Saat ini, Pemda bersama DPRD Halmahera Tengah melalui Perda RTRW tahun 2024-2044 mendorong perluasan kawasan industri di wilayah Weda Utara yang mencapai 15.517 hektare dari semula 4.027,67 hektare mencakup Weda Tengah. Dari luasan itu, ada upaya penambahan sekitar 11.489,33 hektare.
Belakangan, Pemda bersama DPRD menyisipkan kawasan cadangan industri seluas 7.000 hektare di Kecamatan Patani. Tapi dari rencana itu, baru 12.000 hektare yang dianulir oleh pemerintah pusat. Itu berarti, terdapat 26.034 hektare yang masih menunggu persetujuan.
Isu soal titipan kawasan cadangan industri 7.000 hektare di wilayah Patani secara sepihak dibantah oleh Ketua DPRD Halmahera Tengah, Zakir Ahmad. Menurutnya, cadangan kawasan industri di Patani sebagai bentuk ikhtiar jika kelak akan dibutuhkan untuk kepentingan industri.
"Tidak ada titipan, yang ada adalah kita inginkan pencadangan kawasan untuk industri di wilayah Patani. Itu sebagai bentuk ikhtiar ke depan bilamana dibutuhkan untuk kepentingan industri tertentu," ujar Zakir kepada detikcom, Rabu (27/3).
Zakir menyebut, DPRD sangat mendukung keberlangsungan hidup para petani dan nelayan. Oleh karena itu, DPRD mendorong adanya pencadangan kawasan industri. Sebab, kawasan yang dicadangkan untuk industri adalah wilayah yang tidak produktif dari segi pertanian.
"DPRD sangat mendukung petani dan nelayan. Karena itu, kawasan yang dicadangkan untuk industri adalah kawasan yang tidak produktif untuk pertanian," kata Zakir.
Lebih lanjut Zakir menuturkan bahwa untuk kepentingan pengembangan industri di wilayah Teluk Weda hingga Patani, dipersiapkan areal seluas 22.000 hektare, Weda Tengah seluas 15.000 hektare. Sedangkan Patani disiapkan kawasan cadangan pengembangan industri seluas 7.000 hektare.
"Untuk kepentingan pengembangan industri di wilayah Teluk Weda sampai Patani 22.000 hektare, Weda Tengah dan sekitarnya 15.000 hektare. Sementara, Patani kita cadangkan 7.000 hektare untuk kawasan pengembangan industri," katanya.
Zakir menyebut, setelah rapat lintas sektor pada Senin (25/3), pihaknya akan menunggu 20 hari ke depan untuk mendapatkan persetujuan. Setelah itu, bupati akan segera menyampaikan ke DPRD agar disahkan lewat rapat paripurna.
"Setelah rapat lintas sektor pada tanggal 25 (Maret 2024), kita tunggu paling lambat 20 hari ke depan untuk mendapatkan persetujuan, baru bupati akan segera sampaikan ke DPRD untuk diparipurnakan," imbuh Zakir.
Kepala Bappelitbangda Halmahera Tengah, Salim Kamaluddin menambahkan, dalam masterplan yang dirumuskan secara khusus oleh DPRD, terdapat 15.000 hektare. Tapi semua ada tahapan. Sebab dari sekian ribu lahan yang diusulkan, baru 12.000 hektare yang disetujui oleh pemerintah pusat.
"15.000 hektare yang di dalam masterplan-nya dia (Ketua DPRD). Tapi itu kan ada tahapan 1, tahapan 2, tahapan 3, tahapan 4, dan yang baru mendapatkan persetujuan negara itu baru 12.000 hektare sekian. Itu sudah mendapatkan persetujuan," ujar Salim saat dihubungi terpisah.
Salim mengakui 7.000 hektare di wilayah Patani hanya bersifat cadangan. Tujuannya untuk perkembangan kawasan industri di wilayah Weda Tengah, Weda Utara, hingga Patani, dalam rangka pemerataan ekonomi.
"Agar bagaimana wilayah Patani itu berkembang dan sejajar dengan Weda. Siapa tahu hasilnya dapat dimanfaatkan. Tapi bukan untuk perusahaan tertentu. Itu hanya disiapkan (sebagai cadangan) dalam rangka kepentingan KI (kawasan industri) Teluk Weda," tambahnya.
Salim juga membantah isu soal penambahan kawasan cadangan industri 7.000 hektare di wilayah Patani dilakukan secara sepihak antara Bappelitbangda dengan DPRD. Bahkan, Salim menegaskan jika ada pihak yang tidak setuju dengan perencanaan itu bisa dihapus.
"Itu (tudingan) menyesatkan itu, (kami) sama-sama dengan DPRD usul kok. Setiap pembahasan itu terbuka dan punya berita acara. Rapat pembahasan DPRD usul kok. Kalau mau dihilangkan ya hilangkan saja. Karena itu hanya indikasi dan tidak tergambar dalam peta, tapi kalau memang DPRD tidak setuju ya hilangkan saja," cetusnya.
Lebih lanjut Salim menegaskan semua lembaga tahu soal mekanisme penyusunan RTRW. Bappelitbangda tidak punya kewenangan dalam memutuskan. Karena bagaimanapun pengusulannya, jika tak diakomodir oleh kementerian tetap tidak bisa.
"RTRW itu semua lembaga terkait tahu (mekanisme penyusunan), tidak ada kewenangan kita di situ. Kita usul, kalau tidak bisa, tetap tidak bisa. Ketentuan peraturan dan perundang-undangan ketat di situ. Karena melibatkan seluruh (stakeholder)," katanya.
"Dalam rangka kepentingan itu (pengembangan kawasan cadangan industri), makanya DPRD usul, minta, gitu. Kalau bisa, ada buka ruang untuk perimbangannya mengarah ke sana (Patani), makanya dibuka (7.000 hektare) itu," jelasnya.
Tidak Ada Hubungan dengan PT BBH
Transparency International Indonesia sempat merilis laporan hasil riset tentang rencana dan peran para aktor tambang di Pulau Halmahera pada Selasa (19/4). Data itu mengungkap bahwa wilayah Patani Timur sedang disasar oleh sebuah perusahaan tambang nikel PT BBH milik politikus Golkar berinisial HJ.
Dalam salinan surat permohonan usulan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) komoditi nikel yang diperoleh detikcom, PT BBH berencana menambang di atas lahan seluas 4.453 hektare di wilayah Patani Timur. Tapi Salim menegaskan, tidak ada hubungan dengan kawasan cadangan industri 7.000 hektare.
"Tidak ada hubungan (kehadiran PT BBH). Itu (WIUP) bukan kewenangan kami. Soal izin itu kewenangan Kementerian Pertambangan (ESDM). Kami tidak ada kaitan dengan itu. WIUP itu tidak ada kaitan dengan kita. Di dalam RTRW itu hanya memberikan indikasi-indikasi," katanya.
Lagi pula, kata Salim, perencanaan yang diusul dalam RTRW belum final. Karena peruntukan kawasan industri harus berdasarkan izin dari kementerian. Meski begitu, pemda tetap membuka ruang sebagai bentuk dukungan percepatan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah Weda.
"Peruntukkan kawasan industri itu mesti ada izin dan (pemda) harus buka ruang. Karena ini kawasan industri, kawasan pertumbuhan ekonomi, harus membuka diri. Kalau kita tidak membuka ruang ya, kita tidak bisa mendukung percepatan dan pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Salim menambahkan perencanaan kawasan pengembangan industri dalam dokumen RTRW disusun oleh Tarto selaku konsultan yang telah menerima lisensi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Tarto saat ini menetap di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
"Tim ini tinggal di Lombok. Tim konsultan itu sejak tahun 2019 mereka dikerjasamakan. Sesuai ketentuan itu, mereka dengan kami dan mereka mendapatkan lisensi dari Kementerian ATR. Karena RTRW itu harus ada konsultan yang memiliki spesifikasi tentang itu," katanya.
Detikcom sempat meminta nomor kontak Tarto. Tapi nomor yang diberikan Salim tidak bisa dihubungi. Salim ketika dikonfirmasi pada Kamis (4/3), mengaku ada yang salah dari nomor itu. Tapi saat kembali dikonfirmasi lewat WhatsApp pada Sabtu (6/4), Salim tak merespons.