Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara mengungkapkan pencemaran pada sungai Sagea tergolong fatal. DLH menduga perubahan warna air yang bercampur lumpur disebabkan aktivitas pertambangan.
"Memang informasi yang kami peroleh dari masyarakat setempat itu, tingkat pencemarannya sangat fatal karena lumpurnya lebih kental," ungkap Kepala Bidang Penataan dan Penaatan Lingkungan Hidup DLH Halteng, Abubakar Yasin kepada detikcom, Rabu (16/8/2023).
Sungai sepanjang 7,467 kilometer itu berada di wilayah Desa Sagea dan Desa Kiya, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah. Perubahan pada warna sungai mulai terlihat dalam sebulan belakangan ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya, hasil turun lapangan kemarin (Selasa, 15 Agustus 2023) ada fakta bahwa terjadi perubahan pada warna air sungai Sagea dan itu cukup memprihatinkan," imbuh Abubakar.
Namun menurut Abubakar, untuk melihat berapa tinggi tingkat pencemaran harus diuji di laboratorium. Kendati begitu Abubakar tak menampik material endapan lumpur yang terbawa ke aliran sungai terindikasi bersumber dari aktivitas pertambangan.
"Terkait apakah pencemarannya melampaui baku mutu atau tidak harus dicek di lab. Terus material berupa endapan lumpur yang terbawa itu terindikasi bersumber dari kegiatan pertambangan," ungkapnya.
Saat meninjau di lokasi lanjut Abubakar, DLH belum mengambil sampel berupa air karena harus memastikan dulu sumber pencemarannya. Selain itu, tingkat kekeruhan pada air berangsur berkurang jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.
"Belum (ambil sampel) karena kami harus pastikan dulu sumbernya, karena yang kami datang pantau kemarin tingkat kekeruhan sudah menurun. Tapi kalau dibandingan dengan kondisi sebelumnya itu cukup tinggi, jadi yang perlu torang (kami) cari itu sumbernya dulu," jelasnya.
Lebih lanjut Abubakar menuturkan DLH juga melakukan observasi hingga di kawasan destinasi Gua Boki Maruru yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Desa Sagea. Hasilnya tingkat kekeruhan mulai berkurang.
"Iya, torang (kami) kemarin observasi sampai di Batu Lobang (Gua Boki Maruru), cuma kemarin torang (kami) pantau sudah berkurang. Jadi sekarang torang (kami) gali informasi dulu, karena kalau mau telusuri sampai di hutan itu setengah mati," tuturnya.
Dalam menelusuri sumber pencemaran, Abubakar mengaku belum bisa menyebut berapa perusahaan yang terindikasi melakukan pelanggaran. Tapi jika ditemukan maka akan ada langkah penindakan. Sebab, sungai Sagea merupakan sumber kehidupan masyarakat desa setempat.
"Torang (kami) belum bisa menyebut berapa perusahaan, karena torang (kami) masih fokus mencari sumber aliran. Pastinya ada penindakan, kami akan berkoordinasi dengan balai penegakan hukum untuk langkah-langkah penindakan. Apalagi sungai Sagea itu menjadi sumber kehidupan masyarakat," ujarnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
"Hasil investigasi akan dilaporkan ke (DLH) provinsi dan (dilanjutkan) pusat untuk dilakukan aksi bersama. Karena DLH punya bidang terkait dengan pengawasan dan pengendalian pencemaran serta kerusakan lingkungan yang punya tugas pokok untuk itu," ujar Fachruddin saat dihubungi terpisah.
Fachruddin mengaku sudah 2 kali menggelar rapat untuk membahas persoalan yang terjadi di sungai Sagea. Salah satu kesepakatannya adalah menunggu laporan hasil investigasi DLH Halteng. Bahkan tim DLH provinsi dan KLHK berencana turun bersama setelah mendapatkan hasil investigasi dari DLH Halteng.
Ia mengaku belum bisa berspekulasi terkait perusahaan mana yang terindikasi melakukan pelanggaran, karena semua harus melalui uji sampel di laboratorium hingga menelusuri sumber pencemarannya.
"Belum bisa diandaikan-andaikan. Pertama mesti ada uji lab dulu, apakah ada unsur yang dikategorikan pencemaran atau tidak, kemudian di telusuri sumber pencemarannya dari mana," katanya.
Menurut Fachruddin, perubahan pada warna air sungai belum tentu disebut pencemaran. Meskipun secara visual terlibat warna air sungai berubah, tapi hal itu bisa disebabkan hutan gundul atau berkurangnya pepohonan yang berfungsi sebagai penahan tanah.
"Kalau air berubah warna itu tidak berarti terjadi pencemaran. Secara visul perubahan warna itu bisa terjadi, karena tanah atau lumpur yang turun dari posisi yang lebih tinggi, bisa saja diindikasikan bahwa hutannya gundul atau pohon-pohon sebagai penahan tanah itu berkurang," ujarnya.
"Jadi kalau terjadi hujan tidak ada tumbuhan yang menahan air, maka tanah dan lumpur ikut terbawa ke sungai. Tapi ini hanya perkiraan saja, harus dipastikan dengan investigasi. Jadi kita tunggu hasil investigasi DLH Halteng," imbuh Fachruddin.
Sebelumnya diberitakan, sungai Sagea di Kabupaten Halmahera Tengah berubah warna menjadi keruh kecokelatan. Perubahan pada warna air sungai tersebut diduga akibat aktivitas pertambangan.
Simak Video "Demo Pencemaran Sungai, Massa Aktivis Kirim Sampah ke Kantor Walkot Tasik"
[Gambas:Video 20detik]
(asm/sar)