Baru-baru ini kain sasirangan yang dikenakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X tengah menyita perhatian masyarakat luas. Hal inilah yang membuat tidak sedikit orang penasaran terkait makna motif sasirangan yang dipakai sosok Raja Keraton Jogja tersebut.
Saat diminta konfirmasi oleh detikJogja, Caos Kagunan Kawedanan Kridha Mardawa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Dicky Firmanto, menjelaskan terkait kain yang dikenakan oleh Sultan HB X saat bertemu dengan Joko Widodo. Ternyata kain tersebut bukanlah sejenis batik, melainkan sasirangan.
"Di foto itu Ngarsa Dalem (Sultan) memakai kain semacam kain sasirangan atau tie dye, bukan batik," ungkap Dicky Firmanto, pada Jumat (17/1/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, dijelaskan oleh Dicky Firmanto bahwa pemakaian kain sasirangan oleh Sri Sultan HB X tersebut tidak dikhususkan terhadap tujuan tertentu.
"Di acara kemarin bukan termasuk acara adat dan Ngarsa Dalem juga tidak memakai busana adat, jadi setahu saya tidak ada ketentuan khusus untuk busana dan motifnya," jelas Dicky Firmanto di kesempatan yang sama.
Meskipun demikian, ternyata ada filosofi mendalam yang menarik untuk ditelisik secara lebih dekat terkait kain sasirangan ini. Bahkan kain sasirangan juga menyimpan sejarah menarik yang menjadi kearifan lokal sebuah daerah di Indonesia.
Lantas, seperti apa gambaran singkat mengenai kain sasirangan? Mari simak informasinya secara rinci melalui artikel ini.
Makna Motif Sasirangan
Sebagai salah satu kain khas Nusantara, ternyata ada makna menarik yang mengiringi sasirangan. Seperti diungkap dalam 'Majalah Adiluhung Edisi 16: Wayang, Keris, Batik dan Kuliner Tradisional' oleh Redaksi Majalah Adiluhung, sasirangan merupakan nama kain adat suku Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Istilah sasirangan sendiri berasal dari kata menyirang atau menjelujur. Hal tersebut dikarenakan proses pembuatannya yang menjelujur atau menyirang dengan menggunakan perintangan dan pewarnaan tertentu. Biasanya pembuatan kain yang satu ini dilakukan dengan bahan perintang, baik itu tali, benang, atau sejenisnya untuk menciptakan corak-corak tertentu.
Sementara itu, diungkap dalam jurnal 'Strategi Penanaman Nilai Kearifan Lokal Motif sasirangan dalam Keluarga di Kampung sasirangan Kota Banjarmasin' oleh Melly Agustina Permatasari, dkk., bahwa sasirangan mulanya lebih dikenal dengan nama kain pamintan. Hal tersebut dikarenakan pamintan memiliki arti parmintaan atau permintaan.
Ari dari kata tersebut adalah saat ada selembar kain putih yang diberi warna dan motif tertentu berdasarkan permintaan seseorang yang berobat kepada pihak perajin kain pamintan. Hal ini dilakukan sebagai harapan agar penyakitnya tersebut bisa sembuh.
Oleh karena itu, fungsi kain sasirangan yang sebelumnya disebut sebagai pamintan adalah sarana pengobatan berbagai macam penyakit seseorang atau pihak keluarga yang sedang sakit. Bahkan sebagian masyarakat pada saat itu juga memiliki kepercayaan fungsi kain sasirangan sebagai pengobatan penyakit fisik, gangguan jiwa, maupun penyakit lainnya yang disebabkan oleh gangguan makhluk kasat mata.
Sejarah Sasirangan
Lantas seperti apa asal-usul sejarah sasirangan? Merujuk dari modul 'Buku Profil Produk Unggulan Kalimantan Selatan: Kain sasirangan' yang diterbitkan secara resmi oleh Dinas Perindustrian Provinsi Kalimantan Selatan, sejarah sasirangan bermula pada sekitar abad ke-12.
Pada saat itu, kain sasirangan disebut sebagai lagundi karena berfungsi sebagai pengobatan atau kain pengobatan. Lagundi sendiri biasanya dibuat sesuai dengan permintaan. Tak hanya dikenal sebagai lagundi, sasirangan juga awalnya disebut sebagai pamintan karena dibuat berdasarkan permintaan.
Kain pamintan sempat dipercaya memiliki kekuatan yang magis terhadap upaya penyembuhan orang yang sedang mengalami gangguan kesehatan tertentu. Menurut hikayat Banjar, terdapat seorang patih bernama Patih Lambung Mangkurat yang tengah bertapa di atas lanting atau rakit dengan mengikuti aliran sungai. Suatu ketika Patih Lambung Mangkurat tiba di sebuah wilayah yang disebut sebagai Rantau Kota Bagantung.
Saat tiba di sana, sang patih melihat buih-buih berwarna putih yang terdengar suara wanita. Suara tersebut rupanya berasal dari Putri Junjung Buih. Melihat putri tersebut, sang patih berharap bisa menjadikannya sebagai pendamping hidupnya.
Namun demikian, Putri Junjung Buih meminta syarat-syarat tertentu sebelum menerima niat dari sang patih. Syarat yang diminta oleh putri adalah agar patih membuat Istana Batung yang megah dan harus selesai dalam satu hari. Istana tersebut harus dibuat oleh 40 orang pria lajang.
Tidak hanya itu saja, putri juga meminta sang patih membuatkannya sehelai kain Lagundi warna kuning yang juga harus selesai dalam sehari. Kain inilah yang nantinya dikenal sebagai sasirangan.
Berbeda dengan istana yang melibatkan 40 orang pria lajang, pembuatan kain Lagundi yang diinginkan Putri Junjung Buih harus dilakukan oleh 40 orang wanita lajang. Motif yang diminta oleh sang putri adalah Padiwaringin.
Kemudian berbekal niat Patih Lambung Mangkurat yang begitu besar, permintaan Putri Junjung Buih dapat dipenuhi dengan baik. Bahkan sang putri akhirnya meninggalkan alam sebelumnya dan pindah ke alam manusia. Inilah yang menjadi alasan kain Lagundi dulunya adalah sebuah kain kebesaran yang hanya dikenakan oleh pihak keluarga kerajaan saja.
Filosofi Warna Kain Sasirangan
Selanjutnya ada sejumlah filosofi yang dapat dijumpai pada setiap warna kain sasirangan ini. Masih merujuk dari majalah yang sama, kain sasirangan dibuat dengan zat pewarna yang sifatnya alami. Sebut saja daun-daunan, buah-buahan, umbi-umbian, hingga tanaman yang tumbuh liar atau sengaja dibudidayakan untuk dipanen nantinya.
Bahkan campuran dari warna-warna alami tersebut dikolaborasikan dengan bahan alami agar lebih awet. Bahan alami yang dimaksud misalnya garam, lada, cengkeh, kapur, cuka, jintan, pala, jeruk nipis, cuka, terusi, hingga kapur.
Kemudian warna-warna tertentu menunjukkan filosofi tersendiri yang berkaitan dengan simbol atau lambang tertentu yang dipercaya oleh sebagian masyarakat setempat. Berikut beberapa di antaranya:
1. Warna Kuning
Kain sasirangan warna kuning biasanya dibuat dengan menggunakan bahan alami berupa kunyit atau temulawak. Warna kuning kerap disimbolkan sebagai proses mengobati penyakit kuning atau wisa dalam bahasa Banjar oleh pemakainya.
2. Warna Cokelat
Selanjutnya warna cokelat yang berasal dari bahan alami mar atau kulit buah rambutan. Warna cokelat dimaknai sebagai simbol seseorang sedang mengobati keluhan tekanan jiwa.
3. Warna Hitam
Ada juga warna hitam yang diambil dari kabauu atau uar. Warna hitam menunjukkan lambang bahwa pemakainya sedang dalam pengobatan terkait keluhan demam atau gatal-gatal di kulit.
4. Warna Merah
Lain halnya dengan warna merah yang biasanya diambil dari buah mengkudu, gambir, kesumba atau lombok merah. Melalui warna ini, merujuk pada tanda simbolik seseorang sedang dalam pengobatan sakit kepala atau susah tidur.
5. Warna Ungu
Kemudian ada warna ungu yang diambil dari biji buah gandaria. Tanda simbolik warna ungu menunjukkan pemakainya dalam pengobatan keluhan terkait pencernaan. Baik itu diare, kolera, hingga disentri.
6. Warna Hijau
Warna terakhir adalah hijau yang dibuat dengan menggunakan daun pudak atau jahe. Serupa dengan warna-warna yang lain, hijau juga mengacu pada tanda simbol tertentu. Adapun hijau dimaknai sebagai mewakili pengobatan penyakit stroke atau lumpuh.
Nah, itulah tadi penjelasan mengenai kain sasirangan yang menyimpan filosofi dan sejarah menarik untuk diketahui oleh masyarakat. Semoga informasi ini bermanfaat.
(sto/ams)
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja
Megawati Resmi Dikukuhkan Jadi Ketum PDIP 2025-2030