Apa Bedanya Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara?

Apa Bedanya Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara?

Ulvia Nur Azizah - detikJogja
Senin, 03 Nov 2025 17:52 WIB
Apa Bedanya Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara?
Sultan Hamengku Buwono VII. (Foto: Collectie Wereldmuseum/Wikimedia Commons/CC BY-SA 3.0)
Jogja -

Empat nama besar sering muncul saat membicarakan sejarah Jawa: Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara. Keempatnya memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Mataram Islam yang dulu berjaya di Jawa Tengah, namun kini menjadi simbol keberlanjutan tradisi kerajaan yang masih hidup hingga zaman modern.

Setelah runtuhnya Mataram akibat konflik internal dan campur tangan kolonial, kerajaan ini terpecah menjadi empat entitas utama. Dari Perjanjian Giyanti lahirlah Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin Hamengku Buwono dan Kasunanan Surakarta di bawah Paku Buwono. Beberapa dekade kemudian, muncul dua kadipaten otonom: Pakualaman dan Mangkunegaran. Masing-masing memiliki sejarah, struktur kekuasaan, serta simbol kebangsawanan yang unik.

Penasaran apa bedanya Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegaran, baik dari gelar, asal-usul, maupun peran dalam sejarah Jawa? Yuk, simak penjelasan lengkapnya berikut ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Poin utamanya:

  • Empat kerajaan di Jawa, yaitu Jogja, Pakualaman, Solo, dan Mangkunegaran merupakan hasil pecahan Kesultanan Mataram Islam.
  • Hamengku Buwono dan Paku Alam berpusat di Jogja, sedangkan Paku Buwono dan Mangkunegara berada di Solo.
  • Masing-masing memiliki gelar dan peran simbolik yang berbeda dalam menjaga warisan budaya dan politik Mataram.

ADVERTISEMENT

Runtuhnya Kesultanan Mataram

Sebelum membahas mengenai perbedaan antara Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara, kita perlu menilik sejarah Kesultanan Mataram. Dirangkum dari buku Ensiklopedi Raja-raja dan Istri-istri Raja di Tanah Jawa tulisan Krisna Bayu Adji, Raden Mas Sayidin yang dikenal sebagai Amangkurat I atau Sri Susuhunan Amangkurat Agung, merupakan raja kelima sekaligus penguasa terakhir Mataram Islam.

Di bawah kepemimpinannya, kerajaan mengalami masa kemunduran akibat konflik politik, pemberontakan, dan ketegangan keluarga. Setelah memindahkan ibu kota dari Kerta ke Plered pada 1674, Amangkurat I menghadapi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dari Madura dengan dukungan pasukan Makassar dan sebagian bangsawan Mataram, termasuk putranya sendiri, Raden Mas Rahmat.

Keruntuhan istana Plered pada 1677 menandai runtuhnya Mataram Islam sebagai kerajaan tunggal. Setelah Amangkurat I wafat di pengasingan pada 13 Juli 1677, Raden Mas Rahmat naik takhta dengan gelar Amangkurat II dan mendirikan pusat pemerintahan baru di Kartasura pada 1680. Namun, konflik politik dan perebutan kekuasaan terus terjadi hingga akhirnya kerajaan Mataram terpecah.

Dari perpecahan itu lahirlah beberapa kerajaan penerus. Pada 1745, Raden Mas Prabasuyasa mendirikan Kasunanan Surakarta sebagai penerus Kartasura. Sepuluh tahun kemudian, melalui Perjanjian Giyanti tahun 1755, wilayah Mataram dibagi dua, yaitu Surakarta (Solo) dan Yogyakarta (Jogja).

Dari sinilah muncul Kesultanan Jogja yang dipimpin oleh Raden Mas Sujana, bergelar Hamengku Buwono I. Setelah itu, lahir pula dua kadipaten baru, yakni Praja Mangkunegaran pada 1797 di bawah Raden Mas Said, serta Kadipaten Pakualaman pada 1812 oleh Pangeran Notokusumo.

Apa Bedanya Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara?

Setelah mengetahui sejarah singkat berakhirnya Kesultanan Mataram Islam, sekarang mari kita cari tahu yang membedakan empat entitas kerajaan di Jawa ini.

1. Hamengku Buwono

Menurut penjelasan Peri Mardiono dalam buku Genealogi Kerajaan Islam di Jawa, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri pada tahun 1755 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti. Kesepakatan ini ditandatangani pada 13 Februari 1755 antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur Jenderal Jacob Mossel.

Perjanjian tersebut membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu wilayah Kasunanan Solo di bawah Sunan Paku Buwono III dan wilayah Jogja di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi. Setelah pembagian itu, Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I dan memulai pemerintahan sebagai pendiri Kesultanan Jogja.

Nama 'Yogyakarta' berasal dari bentuk lama 'Yodyakarta', gabungan kata Ayodya (kerajaan dalam kisah Ramayana) dan karta (damai). Pemilihan nama ini mencerminkan harapan akan negeri yang makmur dan tenteram. Setelah diangkat sebagai sultan, Hamengku Buwono I segera membangun ibu kota dan keraton baru sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Jogja.

Pada masa kolonial Belanda, kesultanan berstatus negara dependen yang diatur melalui kontrak politik, dengan perjanjian terakhir ditetapkan pada tahun 1940 (Staatsblad 1941 No. 47). Setelah Indonesia merdeka, status politik kesultanan berubah pada tahun 1950, ketika Kesultanan Jogja dan Kadipaten Pakualaman resmi menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jadi, Hamengku Buwono adalah gelar raja Kesultanan Jogja, dimulai dari Sultan Hamengku Buwono I sebagai pendiri. Gelar ini diwarisi oleh para sultan Jogja berikutnya hingga kini, dan menjadi simbol kepemimpinan, legitimasi politik, serta kesinambungan tradisi kerajaan Mataram di wilayah Jogja.

Berikut ini adalah daftar sultan yang memimpin Keraton Jogja dari awal berdiri hingga kini:

  • Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792)
  • Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1828)
  • Sri Sultan Hamengku Buwono III (1810-1814)
  • Sri Sultan Hamengku Buwono IV (1814-1822)
  • Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855)
  • Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877)
  • Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921)
  • Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939)
  • Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988)
  • Sri Sultan Hamengku Buwono X (1989-sekarang)

2. Paku Alam

Dikutip dari artikel berjudul Yogyakarta dalam Lintasan Sejarah tulisan Suhatno, Kadipaten Pakualaman berdiri pada 1813 pada masa pemerintahan Inggris di Jawa di bawah kepemimpinan Thomas Stamford Raffles. Latar belakang berdirinya kadipaten ini berawal dari konflik antara Sultan Hamengku Buwono II dan pemerintah kolonial yang berujung pada penyerbuan Keraton Jogja oleh pasukan Inggris pada 28 Juni 1812.

Setelah peristiwa itu, Putra Mahkota Hamengku Buwono III diangkat kembali sebagai sultan, sementara Pangeran Notokusumo, saudara sultan yang membantu Inggris, diangkat oleh Raffles sebagai penguasa merdeka dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam I.

Secara resmi, Kadipaten Pakualaman dibentuk melalui Perjanjian Politik 17 Maret 1813, yang memberikan wilayah seluas 4.000 cacah tanah kepada Paku Alam I, diambil dari wilayah Kasultanan Jogja. Selain itu, Paku Alam I juga memperoleh tunjangan bulanan dan hak untuk memiliki pasukan sendiri.

Gelar Paku Alam berarti 'penyangga dunia' atau 'peneguh tatanan alam', mencerminkan peran penguasa sebagai pelindung dan penjaga keseimbangan dalam kerajaan. Sejak saat itu, gelar ini diwariskan turun-temurun kepada para penguasa Pakualaman, menjadikan mereka sebagai bagian penting dalam struktur politik dan budaya Kesultanan Jogja hingga kini.

Berikut ini adalah daftar Adipati Paku Alam dari masa ke masa:

  • Paku Alam I (1813-1829)
  • Paku Alam II (1829-1858)
  • Paku Alam III (1858-1864)
  • Paku Alam IV (1864-1878)
  • Paku Alam V (1878-1900)
  • Paku Alam VI (1901-1902)
  • Paku Alam VII (1903-1937)
  • Paku Alam VIII (1937-1989)
  • Paku Alam IX (1989-2015)
  • Paku Alam X (2015-sekarang)

3. Paku Buwono

Latar belakang berdirinya Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo berawal dari masa kemunduran Mataram setelah pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677. Akibat kerusuhan itu, Amangkurat II memindahkan ibu kota dari Plered ke Kartasura.

Namun, pada masa Sunan Paku Buwono II, Kartasura hancur akibat pemberontakan Tionghoa tahun 1742. Karena kota itu tak lagi layak dihuni, Paku Buwono II memerintahkan pembangunan ibu kota baru di Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Lokasi ini ditemukan oleh Tumenggung Honggowongso bersama Tumenggung Mangkuyudha dan perwira VOC J.A.B. van Hohendorff.

Pada 17 Februari 1745, Keraton baru resmi ditempati dan diberi nama Surakarta Hadiningrat. Namun, Paku Buwono II wafat pada 1749 setelah menyerahkan kedaulatan Mataram kepada VOC. Sejak saat itu, Belanda memiliki hak untuk melantik raja-raja Mataram. Tak lama kemudian, putranya, Paku Buwono III, naik takhta di Surakarta sebagai penerus kerajaan yang kini berada di bawah pengaruh VOC.

Setelah Perjanjian Giyanti 1755, Surakarta atau Solo menjadi pusat pemerintahan baru Kasunanan, sementara Jogja didirikan sebagai kerajaan tandingan di barat. Raja Solo menyandang gelar Sunan Paku Buwono, yang berarti 'peneguh dunia' atau 'pemelihara bumi', melambangkan tanggung jawab spiritual dan politik raja sebagai penerus tradisi Mataram.

Wilayah Solo kemudian menyusut setelah Perjanjian Salatiga tahun 1757 yang mengakui Raden Mas Said sebagai penguasa merdeka dengan gelar Adipati Mangkunegara I dan membentuk Praja Mangkunegaran. Kekuasaan Kasunanan semakin terbatas setelah Perang Diponegoro (1825-1830), ketika wilayah mancanegara diserahkan kepada Belanda sebagai kompensasi perang.

Dengan demikian, Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjadi kerajaan pewaris langsung Mataram di wilayah timur Jawa, sementara gelar Paku Buwono diwariskan turun-temurun kepada para raja Solo sebagai simbol keberlanjutan dinasti dan penjaga warisan budaya Mataram hingga kini.

Di bawah ini merupakan daftar pemimpin Keraton Solo dari PB II hingga XIII.

  • Paku Buwono II (1745-1749)
  • Paku Buwono III (1749-1788)
  • Paku Buwono IV (1788-1820)
  • Paku Buwono V (1820-1823)
  • Paku Buwono VI (1823-1830)
  • Paku Buwono VII (1830-1858)
  • Paku Buwono VIII (1858-1861)
  • Paku Buwono IX (1861-1893)
  • Paku Buwono X (1893-1939)
  • Paku Buwono XI (1939-1945)
  • Paku Buwono XII (1945-2004)
  • Paku Buwono XIII (2004-2025)

4. Mangkunegaran

Dikutip dari buku Mengenal Kerajaan-kerajaan Nusantara tulisan Deni Prasetyo, Praja Mangkunegaran berdiri pada tahun 1757 di Solo sebagai hasil Perjanjian Salatiga, yang mengakhiri konflik antara Raden Mas Said dengan Kasunanan Solo dan VOC. Setelah perjuangan panjang melawan dominasi Belanda dan Kasunanan, Raden Mas Said diakui sebagai penguasa mandiri dan diberi wilayah kekuasaan sendiri yang kemudian dikenal sebagai Mangkunegaran.

Penguasa Mangkunegaran menyandang gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara, bukan Sunan atau Sultan, karena statusnya sebagai kadipaten otonom, bukan kerajaan penuh. Setelah Perang Diponegoro (1825-1830), wilayah Mangkunegaran meluas hingga mencakup sebagian besar wilayah Wonogiri, Karanganyar, dan sebagian Gunungkidul.

Mangkunegaran memiliki tradisi tersendiri yang membedakannya dari Kasunanan Solo, misalnya jumlah penari bedaya hanya tujuh, bukan sembilan. Setelah Indonesia merdeka, Mangkunegara VIII menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hingga kini pemerintahan adat ini masih berdiri di Pura Mangkunegaran, Solo, dipimpin oleh Mangkunegara X.

Inilah daftar pemimpin Praja Mangkunegaran dari awal hingga kini.

  • Adipati Mangkunegara I (1757-1795)
  • Adipati Mangkunegara II (1795-1835)
  • Adipati Mangkunegara III (1835-1853)
  • Adipati Mangkunegara IV (1853-1881)
  • Adipati Mangkunegara V (1881-1896)
  • Adipati Mangkunegara VI (1896-1916)
  • Adipati Mangkunegara VII (1916-1944)
  • Adipati Mangkunegara VIII (1944-1987)
  • Adipati Mangkunegara IX (1988-2021)
  • Adipati Mangkunegara X (2022-sekarang)

Mengetahui perbedaan antara Hamengku Buwono, Paku Alam, Paku Buwono, dan Mangkunegara membantu kita memahami bagaimana sejarah Mataram terus hidup dalam empat kerajaan yang masih berpengaruh di Jawa hingga kini. Semoga bermanfaat, detikers!




(sto/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads