Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menggelar Catur Sagatra 2024 di Museum Benteng Vredeburg, Kota Jogja. Dalam perhelatannya, Karaton Kasultanan Ngayogyakarta, Karaton Kasunanan Surakarta, Kadipaten Pakualaman, dan Kadipaten Mangkunegaran memamerkan sejarah prajurit masing-masing.
Pantauan detikJogja di lokasi pada Sabtu (3/8/2024) malam, setidaknya ada empat ruang yang disekat memamerkan busana hingga sejarah dan fungsi prajurit. Empat ruang itu ditempati oleh perwakilan Keraton Jogja, Keraton Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.
Tampak banyak pengunjung di keempat ruang tersebut. Setiap ruang menampilkan kekhasan prajurit masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kurator pameran, Fajar Wijanarko mengungkapkan Catur Sagatra digelar setiap tahun. Pada tahun ini penyelenggaraan secara spesifik bertemakan prajurit atau wireng. Dia mengatakan Catur Sagatra merupakan momen bertemunya keempat dinasti Mataram Islam.
"Tahun ini menjadi sebuah upaya yang baru yang kemudian digawangi Disbud DIY. Tema saat ini tema keprajuritan atau wireng," terang Fajar saat ditemui detikJogja di lokasi, Sabtu (3/8/2024).
Fajar mengungkapkan pameran tersebut pertama kalinya digelar. Dari pameran tersebut bisa dilihat sejauh mana empat penguasa monarki pecahan Mataram Islam itu dapat melestarikan tradisi prajurit.
Prajurit di empat dinasti Mataram Islam itu awalnya berfungsi sebagai kekuatan militer. Beriringan dengan perubahan zaman, prajurit tersebut memiliki beda fungsi.
"Tradisi prajurit yang semula sebagai armada militer yang hari ini berubah menjadi kesatuan kebudayaan," kata Fajar.
Dengan disodorkannya tema prajurit tersebut, masing-masing dinasti Mataram Islam itu merespons dengan narasi yang berbeda. Meski demikian, benang merah dari narasi tersebut, yakni transformasi fungsi prajurit itu.
"Masing-masing dari Keraton maupun Kadipaten menerjemahkan sesuai dengan kapasitas mereka dan sesuai dengan narasi yang mereka bawa hari ini," ungkapnya.
Selanjutnya, Fajar mengungkapkan pameran tersebut berlangsung pada 2 dan 3 Agustus 2024. Adapun tujuan dari pameran tersebut, dia menuturkan adalah untuk membuktikan tradisi prajurit warisan Mataram Islam masih eksis hingga kini.
![]() |
Prajurit Keraton Surakarta
Kurator pameran prajurit Keraton Surakarta, Wartadipura mengungkapkan Keraton Surakarta memiliki sembilan macam prajurit untuk saat ini. Adapun prajurit Kraton Surakarta sudah ada sejak di era Mataram Islam.
"Jadi prajurit di Keraton Surakarta itu lebih eksis dulu sebelumnya di era Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung. Itu di era Mataram di Kota Gede," jelas Wartadipura.
Di era itu ada 24 kelompok prajurit atau bergada. Sering perjalanan waktu fungsi yang semula sebagai penjaga itu berubah saat adanya kolonial Inggris.
"Di era Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Pakubuwana ke-6 itu yang sebelumnya prajurit memiliki fungsi sebagai pengamanan baik di dalam atau di luar negeri Mataram itu kemudian didegradasi di era kolonial Inggris. Jadi hanya sekadar pelengkap seremonial Kraton," katanya.
Pada era Pakubuwana (PB) X, jumlah prajurit berkurang menjadi 17 kelompok prajurit. Pada era tersebut ada tulisan yang menjelaskan teknis prajurit di lapangan.
Saat ini, tepanya di era PB XIII ada sembilan kelompok bregada. Sembilan kelompok prajurit itu dipimpin oleh komandan inti yang disebut sebagai kumendan inti.
Sembilan kelompok prajurit itu kini berfungsi sebagai penjaga kebudayaan di Keraton Surakarta. Kelompok prajurit itu kini mendapatkan tugas untuk menjalankan atraksi prajurit setiap Sabtu pukul 16.00 WIB di halaman Kori Kamandungan Utara.
"Sembilan prajurit ini masih eksis di Keraton Surakarta dan berfungsi sebagai bagian dari penjaga budaya," jelasnya.
Prajurit Keraton Jogja
Co-kurator pameran Keraton Jogja, Titan Kusuma mengungkapkan prajurit Keraton Jogja sudah ada sebelum Keraton Jogja terbentuk. Prajurit sudah ada sebelum Pangeran Mangkubumi mendirikan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
"Hingga kemudian masa Mangkubumi menjadi Hamengku Buwono (HB) I itu sudah punya pengikut yang menjadi pengikutnya beliau," terang Titan.
Intervensi Belanda dan Jepang membawa dinamika pada fungsi prajurit Keraton Jogja. Saat itu Belanda pun mengurangi jumlah prajurit yang awalnya 80 menjadi 60.
"Pasang surutnya mulai dari jumlahnya dikurangi dari yang 80 menjadi 60," ungkap Titan.
Dulunya prajurit tinggal di dalam benteng. Kemudian Belanda berpendapat ruang di dalam benteng sesak sehingga prajurit itu dipindah ke luar.
"Dulunya prajurit itu tinggal di dalam benteng hingga kemudian di dalam benteng terlalu padat penduduk dan kemudian dipindah ke luar benteng," ucap Titan.
Setelah Perang Diponegoro, Titan mengungkapkan Belanda mengatur agar prajurit Keraton Jogja tidak boleh berperang. Fungsinya diganti untuk mengadakan upacara seremonial saja.
"Setelah Perang Diponegoro ada peraturan Belanda juga yang mengatakan prajurit Keraton itu hanya untuk seremonial. Sudah tidak boleh berperang," jelasnya.
Pada masa Hamengku Buwono (HB) IX, Jepang meminta prajurit Keraton Jogja untuk menjadi prajurit Negeri Sakura itu. Namun, HB berpendapat untuk meniadakan prajuritnya daripada dimanfaatkan Jepang.
"Kemudian HB IX merasa, secara kasarannya, 'daripada saya kasih kamu lebih baik tak hilangkan saja sekalian'. Itu sama kaya Romusha. Ketika HB IX diminta Jepang untuk menyerahkan rakyatnya untuk Romusha, HB IX memilih untuk membuat selokan Mataram supaya tidak keluar," jelasnya.
Saat ini Keraton Jogja memiliki 10 macam prajurit. Prajurit itu dikembalikan pada tahun 1970-1971 saat HB X belum naik tahta. Mereka berfungsi sebagai pengawal kebudayaan.
"Saat ini kami punya 10 prajurit," katanya.
Prajurit Kadipaten Pakualaman
Penjaga stan pameran Kadipaten Pakualaman, Supriyanto mengungkapkan saat ini prajurit Kadipaten Pakualaman ada dua kelompok bregada. Dua bregada itu yakni Lombok Abang dan Plangkir.
"Saat ini ada dua prajurit, bregada Lombok Abang dan Plangkir," jelasnya.
Adapun bregada asli Pakualaman yakni Lombok Abang. Plangkir dulunya merupakan pemberian dari kolonial Inggris sebanyak 100 orang pada masa Paku Alam V.
"Yang Plangkir kan bantuan dari Inggris untuk menjaga Kadipaten Pakualaman sampai saat ini," katanya.
Selain kedua prajurit itu, Supriyanto menyebutkan ada prajurit berkuda yakni Dragonder. Namun begitu saat ini prajurit berkuda itu sudah tidak ada.
"Prajurit Dragoner pasukan berkuda karena kita sudah tidak memiliki kuda jadi prajurit dihapus," ungkapnya.
Prajurit Pakualaman ada sejak Kadipaten Pakualaman berdiri. Dulunya prajurit Plangkir berfungsi sebagai penjaga Pakualaman. Adapun prajurit Lombok Abang berfungsi sebagai pengawal raja.
Sekarang para prajurit berfungsi untuk menjaga Regol atau pintu masuk. Lombok Abang dan Plangkir secara bergantian menjaga Regol setiap 35 hari.
"Gantinya pada Sabtu Kliwon sesuai hari lahir Kanjeng Gusti. Setiap 35 hari pasti ada pergantian," katanya.
Di Kadipaten Mangkunegaran terdapat prajurit perempuan atau Estri Ladrang Mangungkung. Seperti apa kekhasannya? Simak di halaman berikut:
![]() |
Prajurit Kadipaten Mangkunegaran
Representasi dari Mangkunegaran, Ima Gusti mengungkapkan pihaknya membawa tema prajurit perempuan Mangkunegaran atau dikenal dengan Estri Ladrang Mangungkung. Dia mengatakan saat ini sudah tidak ada prajurit di Mangkunegaran.
"Di Mangkunegaran sudah tidak ada bragada yang berfungsi sebagai prajurit," katanya.
Dia mengatakan prajurit yang dimaksud hanya ditampilkan pada event budaya saja seperti Kirab Pusaka 1 Syuro. Lebih lanjut, Ima mengatakan prajurit Estri disebut dalam Babad Tutur.
"Era Mangkunegaran I punya prajurit Estri," ungkapnya.
Prajurit perempuan tersebut merangkap peran tidak hanya sebagai pasukan tetapi juga mengisi ranah domestik seperti ibu rumah tangga atau peran lainnya. Namun begitu jumlah prajurit Estri masih belum diketahui. Terakhir prajurit Estri ada saat terbentuknya pemerintahan Indonesia.
"Prajurit Estri sendiri tidak hanya sebagai prajurit tapi juga peran sebagai ibu rumah tangga dan peran lainnya," katanya.
Dia mengungkapkan perlunya diangkat prajurit Estri untuk memberitahukan kepada khalayak umum siapapun bisa menjadi prajurit. Ima menjelaskan Suralaksana Tri Dharma Tungga Wira sebagai tiga pion yang harus dimiliki oleh prajurit.
"Tiga pion kami tampilkan di sini dari tiga ilustrasi," katanya.
Tiga ilustrasi itu yakni Dewi Sri yang merupakan representasi dari dedikasi, Dewi Saraswari sebagai kebijaksanaan, dan Dewi Durga sebagai kekuatan.
Prajurit Estri membawa tiga senjata yakni keris, panah dan konde. Selain itu mereka menunggangi kuda saat bertugas.
"Mereka membawa panah, keris dan tusuk konde sebagai senjata," jelasnya.
Simak Video "Pemanfaatan Terhalang Oleh Ormas Yang Belum Termediasi"
[Gambas:Video 20detik]
(apu/apu)
Komentar Terbanyak
Heboh Penangkapan 5 Pemain Judol Rugikan Bandar, Polda DIY Angkat Bicara
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja
Pernyataan Ridwan Kamil Usai Tes DNA Anak Lisa Mariana