16 Dongeng Sebelum Tidur Panjang dan Pendek, Penuh Pesan Moral untuk Anak

16 Dongeng Sebelum Tidur Panjang dan Pendek, Penuh Pesan Moral untuk Anak

Rayza Teguh Prastiyo - detikJogja
Sabtu, 27 Jul 2024 16:02 WIB
mother and child daughter reading book in bed before going to sleep
Ilustrasi membacakan dongeng sebelum tidur kepada anak Foto: Getty Images/iStockphoto/evgenyatamanenko
Jogja -

Membacakan dongeng sebelum tidur kepada anak merupakan sesuatu yang baik untuk dilakukan. Biasanya, anak-anak menyukai cerita fantasi dengan tokoh utama pahlawan super atau binatang lucu. Simak kumpulan dongeng sebelum tidur panjang dan pendek yang penuh pesan moral untuk anak berikut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi terutama tentang kejadian pada zaman dahulu yang aneh atau tak masuk akal. Biasanya dongeng menceritakan cerita rakyat yang telah diturunkan sejak zaman dahulu secara lisan tanpa diketahui pengarangnya.

Bagi detikers yang sedang mencari bacaan dongeng untuk dibacakan sebelum tidur kepada anak, berikut detikJogja sajikan kumpulan dongeng sebelum tidur panjang dan pendek yang tentunya penuh dengan pesan moral untuk anak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Manfaat Membacakan Cerita Dongeng Sebelum Tidur kepada Anak

Dikutip dari laman resmi University of Nevada, dijelaskan beberapa manfaat yang didapatkan dengan membacakan cerita sebelum tidur kepada anak. Berikut pemaparannya:

1. Dapat Meningkatkan Kemampuan Bahasa Anak

Membaca cerita kepada anak membantu memperkaya kosa kata mereka dan memperbaiki keterampilan bahasa. Anak-anak yang sering mendengar cerita memiliki pemahaman yang lebih baik tentang struktur kalimat dan penggunaan kata yang tepat.

ADVERTISEMENT

2. Memperkuat Hubungan Emosional

Membacakan cerita dongeng kepada anak dapat menjadi waktu berkualitas bagi orang tua dan anak, memperkuat ikatan emosional di antara mereka. Ini juga memberikan rasa aman dan kenyamanan kepada anak.

3. Menstimulasi Imajinasi dan Kreativitas

Mendengarkan berbagai cerita memungkinkan anak untuk membayangkan dunia dan karakter yang berbeda, yang mendorong kreativitas dan pemikiran inovatif.

4. Mengajarkan Pesan Moral atau Pelajaran Hidup

Banyak dongeng mengandung pesan moral dan pelajaran hidup yang penting. Melalui cerita, anak-anak dapat belajar tentang nilai-nilai seperti kebaikan, kejujuran, dan keberanian.

5. Meningkatkan Konsentrasi dan Sifat Disiplin

Proses mendengarkan cerita membutuhkan konsentrasi dan perhatian. Ini membantu anak mengembangkan kemampuan untuk diam dan fokus dalam jangka waktu yang lebih lama.

6. Mengurangi Stres dan Meningkatkan Relaksasi

Aktivitas membaca cerita sebelum tidur membantu menciptakan rutinitas yang menenangkan dan dapat mengurangi stres. Ini membantu anak merasa lebih rileks dan siap untuk tidur.

16 Dongeng Sebelum Tidur Penuh Pesan Moral untuk Anak

Dongeng sebelum tidur untuk anak yang penuh dengan pesan moral ini dihimpun dari buku '20 Kumpulan Cerita untuk Anak Hebat' karya Endang Fatmawati, 'Kisah Seru Hewan di Sekitar Kita' karya Atisah dkk, laman Universitas Negeri Surabaya, serta laman Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi sebagai berikut:

Kumpulan Dongeng Sebelum Tidur Panjang

1. "Kisah Lubi Si Zebra"

Siang hari yang cerah, Lubi si Zebra merasa sangat bosan berjalan-jalan mengelilingi hutan Karudalang. Lubi terus berjalan hingga akhirnya Lubi sampai di depan rumah Kakek Bori si beruang bijak.

Kakek Bori sedang mengerjakan sesuatu di pekarangan rumahnya, terlihat banyak kayu dan perkakas berserakan. Lubi sangat tertarik, dia mendatangi Kakek Bori.

"Halo kakek Bori." serunya.

"Kakek sedang apa?" Tanya Lubi sambil penasaran.

"Hai Lubi, Kakek sedang membuat mainan dari kayu-kayu ini." jawab Kakek Bori.

Setelah itu ia masuk ke pekarangan rumah Kakek Bori dan melihat-lihat mainan kayu buatan Kakek Bori.

"Bisakah kita membuat kapal yang besar? Jadi kita bisa masuk ke dalamnya" kata Lubi.

"Wow... ide yang menarik itu Lu, ayo kita buat" kata kakek Bori.

Keduanya pun menyiapkan bahan-bahan dari kayu-kayu yang ada untuk membuat kapal yang besar. Kemudian keduanya pun mulai membuat kapal.

Tak lama, Riri si Bebek dan Momo si Monyet lewat di depan rumah Kakek Bori.

Mereka berdua langsung menghampiri setelah melihat Lulu dan Kakek Bori sedang membuat kapal. Kemudian Kakek Bori, Lubi, Riri dan Momo membuat kapal kayu bersama-sama.

Kakek Bori dan Lubi menyusun dan memaku kayu menjadi sebuah kapal. Sementara Momo mengecat kapal, Riri menyiapkan kain yang lebar untuk dijadikan layar kapal. Karena dikerjakan bersama-sama kapal itu tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk selesai

Setelah kapal selesai, mereka bersama-sama mendorong kapal itu menuju danau. Sesampainya di danau, mereka bersama-sama masuk ke dalamnya. Kapal kayu hasil buatan Kakek Bori, Lubi, dan teman-teman berlayar dengan indah di atas danau. Suasana di dalam kapal sangat menyenangkan

"Sekarang saatnya kita memancing!" kata Kakek Bori mengajak Lubi, Riri dan Momo. Kakek sudah menyiapkan alat pancing yang dibawa dari rumah.

Kakek Bori menjaga kapal, kemudian Lubi dan teman-teman memancing ikan. Waktu pun sudah mulai sore, ikan yang dipancing pun banyak hingga ember yang disiapkan Kakek Bori penuh dengan ikan. Kapal pun dibawa ke tepian danau.

"Terima kasih Kakek Bori dan teman-teman, hari ini menjadi hari yang sangat menyenangkan!" kata Lubi dengan gembira. Kemudian Lubi, Momo dan Riri pulang ke rumah dengan membawa ikan hasil tangkapan mereka.

Amanat:

Amanat yang dijadikan penutup dalam dongeng adalah segala sesuatu yang berat jika kita kerjakan bersama-sama maka akan terasa lebih mudah dan cepat selesai. Selain itu, ketika ada orang lain yang mengalami kesulitan maka kita yang melihatnya dan mampu untuk membantu harus mau bergerak dan memiliki kesadaran untuk membantu sebagai bentuk kepedulian kita kepada sesame. Dari hal baik yang kita lakukan kepada orang lain maka suatu saat kita akan mendapatkan balasan yang lebih baik juga.

2. "Balas Budi Burung Bangau"

Dahulu kala di suatu tempat di Jepang, hidup seorang pemuda bernama Yosaku. Kerjanya mengambil kayu bakar di gunung dan menjualnya ke kota. Uang hasil penjualan dibelikannya makanan. Terus seperti itu setiap harinya.

Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang dari kota ia melihat sesuatu yang menggelepar di atas salju. Setelah di dekatinya ternyata seekor burung bangau yang terjerat diperangkap sedang meronta-ronta. Yosaku segera melepaskan perangkat itu.

Bangau itu sangat gembira, ia berputar-putar di atas kepala Yosaku beberapa kali sebelum terbang ke angkasa. Karena cuaca yang sangat dingin, sesampainya dirumah, Yosaku segera menyalakan tungku api dan menyiapkan makan malam. Saat itu terdengar suara ketukan pintu di luar rumah.

Ketika pintu dibuka, tampak seorang gadis yang cantik sedang berdiri di depan pintu. Kepalanya dipenuhi dengan salju.

"Masuklah, nona pasti kedinginan, silakan hangatkan badanmu dekat tungku," ujar Yosaku.

"Nona mau pergi kemana sebenarnya?", Tanya Yosaku.

"Aku bermaksud mengunjungi temanku, tetapi karena salju turun dengan lebat, aku jadi tersesat."

"Bolehkah aku menginap di sini malam ini ?"

"Boleh saja Nona, tapi aku ini orang miskin, tak punya kasur dan makanan." kata Yosaku.

"Tidak apa-apa, aku hanya ingin diperbolehkan menginap".

Kemudian gadis itu merapikan kamarnya dan memasak makanan yang enak. Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah menyiapkan nasi. Yosaku berpikir bahwa gadis itu akan segera pergi, ia akan merasa kesepian. Salju masih turun dengan lebatnya.

"Tinggallah di sini sampai salju reda." kata Yosaku.

Setelah lima hari berlalu salju mereda. Gadis itu berkata kepada Yosaku, "Jadikan aku sebagai istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah ini."

Yosaku merasa bahagia menerima permintaan itu. "Mulai hari ini panggillah aku Otsuru", ujar si gadis.

Setelah menjadi Istri Yosaku, Otsuru mengerjakan pekerjaan rumah dengan sungguh-sungguh. Suatu hari, Otsuru meminta suaminya, Yosaku, membelikannya benang karena ia ingin menenun. Otsuru mulai menenun. Ia berpesan kepada suaminya agar jangan sekali-kali mengintip ke dalam penyekat tempat Otsuru menenun.

Setelah tiga hari berturut-turut menenun tanpa makan dan minum, Otsuru keluar. Kain tenunannya sudah selesai.

"Ini tenunan ayanishiki. Kalau dibawa ke kota pasti akan terjual dengan harga mahal".

Yosaku sangat senang karena kain tenunannya dibeli orang dengan harga yang cukup mahal. Sebelum pulang ia membeli bermacam-macam barang untuk dibawa pulang.

"Berkat kamu, aku mendapatkan uang sebanyak ini, terima kasih istriku. Tetapi sebenarnya para saudagar di kota menginginkan kain seperti itu lebih banyak lagi. "Baiklah akan aku buatkan", ujar Otsuru.

Kain itu selesai pada hari keempat setelah Otsuru menenun. Tetapi tampak Otsuru tidak sehat, dan tubuhnya menjadi kurus. Otsuru meminta suaminya untuk tidak memintanya menenun lagi. Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri. Jika tidak ada maka Yosaku akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Yosaku pada istrinya.

"Baiklah akan ku buatkan lagi, tetapi hanya satu helai ya", kata Otsuru.

Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis menenun, Yosaku berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun. Tetapi ia sangat terkejut ketika yang dilihatnya di dalam ruang menenun, ternyata seekor bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain.

Sehingga badan bangau itu hampir gundul kehabisan bulu. Bangau itu akhirnya sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Yosaku, bangau itu pun berubah wujud kembali menjadi Otsuru.

"Akhirnya kau melihatnya juga," ujar Otsuru. "Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu pernah Kau tolong", untuk membalas budi aku berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini," ujar Otsuru. "Berarti sudah saatnya aku berpisah denganmu," lanjut Otsuru.

"Maafkan aku, ku mohon jangan pergi," kata Yosaku. Otsuru akhirnya berubah kembali menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan sayapnya terbang keluar dari rumah ke angkasa. Tinggallah Yosaku sendiri yang menyesali perbuatannya.

3. "Kepinding yang Malang"

Di sebuah istana tinggalah sekeluarga Kepinding yang terdiri dari suami, istri, dan beberapa puluh anaknya yang kerjanya setiap malam berpesta pora, menghisap darah Raja. Mereka tinggal di pojok tempat tidur Raja. Pada suatu malam, "nging...nging!" Terbanglah seekor nyamuk ke kamar Raja lalu berkata, "Wow.... betapa mewahnya kamar raja ini."

Mendengar perkataan sang nyamuk, induk kepinding berkata, "Hai siapa kau, dari mana asalmu, kau tak boleh di situ, itu tempat tidur Raja, ayo pergi!"

Mendengar perkataan induk Kepinding, nyamuk langsung menjawabnya, "Ooh... Ibu, bukan begitu membalas kepada sesama makhluk. Saya adalah nyamuk pengembara. Dalam pengembaraan saya telah mencicipi darah manusia, tapi kalau darah Raja pasti amat lezat rasanya," jawabnya. "Seperti air anggur yang dicampur dengan madu, maka izinkanlah saya untuk mencicipi darah Raja."

Tapi betapa terkejutnya sang Nyamuk mendengar perkataan sang Ibu Kepinding dengan berkata, "Oh... tidak. Tak boleh menghisap darah Raja. Kalau kau hisap darah Raja, ia nanti terbangun dan membunuh kami semua."

Mendengar itu sang Nyamuk tidak menyerah, dia mencari akal untuk diizinkan mencicipi darah Raja. Dia mengambil hati Induk Kepinding dengan cara merunduk dan jongkok sambil berkata, "Oh.... betapa malangnya nasibku ini."

Melihat wajah sedih sang Nyamuk, induk kepinding pun terenyuh hatinya dan mengizinkan nyamuk untuk mencicipi darah Raja itu. "Tapi, kamu harus mengambil waktu yang tepat."

"Kapan?" kata si Nyamuk.

Setelah malam tiba Nyamuk pun bersiap-siap menantikan Raja yang sedang tertidur pulas di peraduannya. Nyamuk langsung melekat ke leher Raja dan menghisap darah dengan penuh nafsu. Raja menjerit, "Oooh sakitttt... lalu memanggil sang pelayan.

"Pelayan... pelayan.... ayo kemari," Pelayan pun datang. "Ada apa, Tuan?" Raja menjawab, "Ada nyamuk menggigitku. Ayo cari dan usir dia."

Pelayan pun bergegas mencari nyamuk dan membongkar tempat tidur Raja. Mereka menemukan keluarga kepinding dan langsung membasmi, sedangkan nyamuk telah terbang keluar dari istana.

Pesan yang dapat diambil dari cerita di atas adalah kita tidak boleh mempercayai orang yang belum dikenal begitu saja, kita harus berhati-hati dan waspada dalam setiap tindakan yang akan dilakukan.

4. "Sahabat Yang Hilang"

Di tengah hutan rimba hewan-hewan sedang berbincang. Mereka hendak pergi ke Desa Seberang untuk mencari sahabat mereka yang hilang.

"Teman-teman dengar ya aku bicara," kata Kak Kancil.

"Besok pagi-pagi sekali kita semua akan berangkat ke Desa Seberang!"

"Aku tidak ikut ya. Aku tidak kuat berjalan jauh," kata Kak Bebek.

"Dengar... dengar kataku. Aku tidak peduli yang penting kita harus mencari si Putih! Bagaimana caranya? Si Putih anak kelinci yang berumur satu bulan itu tidak pulang dari kemarin. "Bek... ikut saja denganku!" kata, Kak Bangau, "Aku kan bisa terbang, kau mau kan?"

"Asyiiik...." kata si Bebek.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali hewan-hewan itu berkumpul. Hanya Kak Bebek yang tidak kelihatan. Hewan-hewan itu merasa heran.

"Mana ya Bebek, kok belum kelihatan ya?" Tiba-tiba dari semak-semak keluarlah seekor Kambing.

"Teman-teman, aku membawa berita. Tadi kulihat si Bebek tenang-tenang saja di kandang. Lalu kuhampiri. Katanya ia lagi tak enak badan jadi ia mengurungkan niatnya untuk ikut."

"Aahh..... mana bisa begitu. Mungkin ia hanya berpura-pura," kata hewan-hewan itu berbisik.

"Baiklah teman-teman kita jangan patah semangat, meskipun Bebek tidak jadi ikut, kita harus tetap mencari si Putih. Ikutlah saranku. Kita harus berpencar-pencar.

Kita bagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama pergi ke arah Selatan dan kelompok kedua pergi ke arah Utara. Kalau bisa sebelum matahari terbenam kita harus berada di tempat ini. Mengerti?"

"Mengerti..." kata hewan-hewan serempak.

Setelah kelompok dibagi menjadi dua, yaitu kelompok pertama pergi ke arah Selatan dan kelompok kedua pergi ke arah Utara, maka sepilah hutan itu. Semua hewan mencari si Putih, hanya Kak Bebeklah yang tinggal di tempat. Setelah matahari tinggi, panas terik menyinari hutan itu. Tiba-tiba dari kejauhan terdengarlah suara tangisan.

"Huh...uh... Ibu, Ibu, Aku takut. Kau di mana, Bu?" suara si Putih ketakutan.

Mendengar suara itu Kak Bebek bergegas keluar. Dicarinya asal suara itu. Ternyata ia adalah anak kelinci yang tak pulang dari kemarin.

"Putih, putih, kau di mana? Kami sangat khawatir."

"Saya di mana? kok tempat ini sepi sekali?" ocehan si Putih.

"Oooh, begini, Ibumu dan teman-teman yang lain mencarimu di Desa Seberang. Syukurlah kau telah kembali sekarang. Kau berada di kampungmu sendiri. Kemarilah, Nak," kata Bebek sambil merangkul Kelinci itu.

Setelah matahari terbenam, semua hewan-hewan itu pulang tanpa membawa hasil. Mereka kelihatan sangat lelah. Kaki mereka tidak kuat lagi untuk berjalan, tiba-tiba mereka melihat si Putih dalam gendongan Kak Bebek.

Hewan-hewan itu bersorak kegirangan. Hewan-hewan itu berloncatan mendekati si Putih. Ibu si Putih langsung merangkul anaknya.

"Uh uh... kau dari mana saja anakku? Ibu sangat cemas. Kami semua pergi mencarimu. Rupanya kau sudah pulang. Syukurlah, Nak. Ibu sangat bersyukur kepada Allah SWT, dan berterima kasih kepada teman-teman semua dan terutama kepada Kak Bebek.

"Kalau Kak Bebek tak ada di sini, mungkin anakku akan pergi lebih jauh lagi," kata Ibu Kelinci sambil menangis. Setelah Anak dan Ibu itu berkumpul maka legalah hati hewan-hewan itu. Hilanglah rasa prasangka hewan-hewan itu pada Kak Bebek. Mereka pun bergembira dan berpesta pora.

5. "Induk Berang-berang Menuntut Keadilan"

Pada zaman dahulu, semua binatang bisa berbicara. Ketika itu hiduplah seekor Berang-berang di tepi sungai. Ia punya sarang di bawah batang pohon besar yang sudah tumbang. Suatu waktu lewatlah seekor Kijang di sekitar sana. Ia mencari makanan di dekat rumah Berang-berang.

Sementara di tempat lain, Burung Pelatuk sedang berjaga-jaga di atas sebatang pohon besar. Ia memantau keadaan hutan dengan saksama. Ketika memandang ke arah sungai, ia terperanjat. Ia melihat di sana Ikan Baung banyak hilir mudik membawa senjata. Karena takut terjadi kerusuhan, Burung Pelatuk pun menabuh genderang perang.

Mendengar genderang perang ditabuh, Kijang terkejut dan menginjak Anak Berang-berang secara tak sengaja. Anak Berang-berang pun mati. Karena tak terima dengan perlakuan Kijang, Induk Berang-berang pun menuntut keadilan.

Berang pun menuntut keadilan. "Bukan aku yang salah," kata Kijang, "Itu gara-gara Burung Pelatuk menabuh genderang perang." Karena tetap tak bisa menerima alasan Kijang, Induk Berang-Berang akhirnya pergi menghadap Raja Hutan. Ia pun menjelaskan segala duduk perkara yang telah terjadi di rumahnya.

"Wahai Tuanku," adu Induk Berang-Berang, "Saya datang ke sini untuk melaporkan perbuatan Si Kijang terhadap anak saya. Ia telah menginjak anak saya hingga mati. Saya tidak rela, Tuanku. Saya ingin keadilan ditegakkan."

Karena Singa adalah raja yang bijak, ia pun memanggil Kijang dan bertanya, "Hai Kijang, kenapa kamu injak-injak anak si Berang-Berang ini? Sampai-sampai anak itu mati karena kamu."

"Maaf, Tuanku," jawab Kijang, "Bukan maksud saya hendak menginjak Anak si Berang-Berang hingga mati. Itu karena saya terperanjat oleh genderang perang yang ditabuh Burung Pelatuk. Padahal situasi di hutan tampak aman-aman saja. Jadi bukan saya yang salah, Tuanku. Burung Pelatuk itu yang salah."

Karena Raja ingin tahu pangkal balanya, Burung Pelatuk pun dipanggil menghadap Raja. "Hai Burung Pelatuk, dalam keadaan aman tentram begini, kenapa kamu membunyikan genderang perang? Lihatlah, Kijang pun jadi ketakutan karenamu, dan ia pun jadi menginjak anak Berang-Berang hingga mati."

"Wahai Tuanku," kata Burung Pelatuk, "Saya membunyikan genderang perang karena saya lihat Ikan Baung ramai-ramai membawa tombak hilir mudik. Tombaknya pun ada tiga sekali bawa. Bagaimana saya tidak takut, Tuanku. Saya kira mereka akan berperang di bawah sana."

"Oooh, begitu?" "Benar, Tuanku. Jadi, bukan saya yang salah. Ikan Baung itulah yang salah." Ikan Baung pun dipanggil menghadap Raja, lalu ditanya, "Hai Ikan Baung, kenapa kamu hilir mudik di sungai membawa senjata? Gara-gara kamu membawa senjata, Burung Pelatuk jadi membunyikan genderang perang."

"Maaf, Tuanku," jawab Ikan Baung. "Saya membawa senjata karena saya curiga melihat kepiting. Kepiting itu berjalan miring sambil mengendap-ngendap. Lagaknya seperti mata-mata musuh, Tuanku. Karena itulah kami berjaga-jaga. Jadi, bukan kami yang salah, Tuanku. Kepiting itulah yang salah."

Maka, Kepiting pun ikut dipanggil menghadap Raja. "Hai Kepiting, kenapa kamu berjalan miring sambil mengendap-endap? Apa yang ingin kamu tengok? Apakah kamu telah menjadi mata-mata bagi musuh?"

"Wahai Tuanku Raja," jelas Kepiting. "Saya berjalan miring begini karena saya penasaran dengan Siput. Saya lihat ia ke mana-mana selalu membawa rumahnya. Walaupun berat, ia tetap membawa rumahnya. Jadi, bukan saya yang salah, Tuanku. Siput itulah yang salah."

Siput pun dipanggil pula menghadap Raja. "Hai Siput, kenapa kamu ke mana-mana selalu membawa rumah? Bukankah rumahmu itu berat?" "Maaf, Tuanku," kata Siput, "Saya selalu membawa rumah saya karena saya takut dengan Kunang-Kunang. Ia selalu membawa api ke mana-mana. Jadi, daripada rumah saya kebakaran ketika saya tinggal, lebih baik saya bawa terus ke mana saya pergi. Begitulah, Tuanku. Saya tidak salah. Kunang-kunang itulah yang salah."

Maka, kunang-kunang pun dipanggil menghadap Raja. "Hei Kunang-Kunang," kata Raja Hutan.

"Kenapa kalian selalu membawa api ke mana-mana? Lihatlah, Siput jadi takut rumahnya kebakaran. Dan kini masalahnya jadi berbuntut panjang."

"Wahai Tuanku," jawab Kunang-Kunang. "Kami ke mana-mana membawa api karena kami takut pada Laba-Laba. Laba-laba itu suka sekali membuat jaring di sembarang tempat. Mata kami rabun. Jadi, kami sengaja membawa api supaya terang jalan kami, Tuanku. Jadi, bukan karena salah kami masalah ini. Laba-laba itulah yang salah."

Laba-laba pun dipanggil menghadap Raja. "Hai Laba-Laba, kenapa kalian membuat jaring di mana-mana? Lihatlah, Kunang-Kunang selalu membawa api karena takut terkena jaring kalian." "Maaf, Tuanku," kata Laba-Laba, "Kami dari dulu diajarkan oleh orang tua kami untuk mencari makan menggunakan jaring itu. Tubuh kami lembek. Kami mengharapkan makanan dari binatang-binatang kecil yang terperangkap jaring kami. Kalau jaring itu tidak kami buat, kami tidak makan, Tuanku. Kami tidak bisa hidup tanpa jaring-jaring itu."

Mendengar penjelasan tersebut, Raja Hutan pun jadi maklum. Ia tidak bisa menyalahkan Laba-laba. Maka, kasus itu pun ditutup. Keadilan yang dituntut oleh Induk Berang-Berang tidak berhasil ia dapatkan. Raja Hutan meminta kerelaan hati Induk Berang-Berang untuk mengikhlaskan kematian anaknya. Raja juga meminta binatang-binatang di hutan untuk tidak lagi saling menyalahkan, sehingga mereka bisa tetap hidup dengan damai setelahnya.

6. "Kisah Kerang Mutiara di Pantai Sejarah"

Di suatu pantai yang sangat indah, angin berhembus sepoi-sepoi, debur menghempas bebatuan, kicau burung bernyanyi menambah suasana pantai semakin indah tatkala air laut surut. Di pinggiran pantai hiduplah seekor Anak Kerang dan seekor Ibu Kerang.

Suatu ketika seekor Anak Kerang datang kepada Ibunya sambil menangis. Agaknya ia menahan sakit yang berkepanjangan, sang Ibu tampak bingung. "Mengapa engkau menangis, Nak? Ada apa dengan tubuhmu?" Sang Ibu tampak ketakutan.

Si Kerang kecil kembali menangis dengan suara yang semakin kuat. "Ibu..... Tubuhku dimasuki sebutir pasir, rasanya saakiiit sekaliii," ujar sang Anak Kerang. Namun sang Ibu Kerang tidak dapat mengeluarkan pasir tersebut dari tubuh anaknya.

"Tolonglah Bu, tolong bukalah cangkangku, aku tak mampu membukanya rasanya sakit sekali," tangis sang Anak Kerang. Sayang sekali, rupanya sang Ibu tidak dapat memenuhi permintaan sang Anak. Berhari-hari lamanya si Kerang kecil menahan sakit, setiap saat dan setiap hari pula ia berdoa agar bisa terlepas dari derita ini berharap sekali agar pasir itu dapat dikeluarkan dan terangkat dari dalam tubuhnya.

Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun si kerang kecil itu menangis, namun cangkangnya itu tidak pernah terbuka. Pasir yang bersemayam semakin mengeras dan membesar menjadi sebuah batu yang mengkristal.

Suatu hari, tiba-tiba datanglah seorang penyelam. Ia lalu mengambil kerang itu dari gumpalan karang dan membawanya ke permukaan. "Hai lihat, aku telah menemukan kerang mutiara di sini," teriaknya kepada temannya yang berada di sampan.

Kedua orang itu merapat dan salah seorang di antaranya mengambil pisau kemudian membuka sebelah cangkangnya. Tampak cahaya berkilau dari dalam rupanya sebutir mutiara bersemayam di sana. Begitu indah membuat penyelam itu tersenyum kegirangan.

"Terima kasih, ya Allah atas berkah ini," kata sang Penyelam.

"Ah... lega rasanya, akhirnya aku terbebas dari rasa sakit yang berkepanjangan," senyum si Kerang kecil. Maka masa penantian kerang kecil pun berakhir. Pasir yang mulanya begitu menyakitkan kini berubah menjadi benda yang sangat berharga, yaitu mutiara yang begitu indah. Lalu kedua kerang pun berpelukan sampai ke dasar laut.

Dari peristiwa tersebut kita dapat memperoleh suatu pelajaran bahwa untuk mencapai keagungan dan mencapai orang besar itu memerlukan waktu dan kesabaran. Untuk menjadi hiasan para raja dan bangsawan, sang Kerang perlu menangis dan berdoa siang dan malam.

Dengan demikian, manakah yang kelak menjadi pilihan hidup kita, apakah menjadi Kerang mutiara yang mahal harganya atau cukup menjadi Ikan Sotong yang dijual murah. Memang tak ada yang mengetahui, kapan pasir yang menjadi cobaan itu akan menjadi Mutiara kelak. Namun hanyalah mereka yang gigih dan bersabar yang kelak akan memetik jawabannya, seperti kisah Kerang Mutiara di pantai sejarah.

7. "Buaya yang Tidak Jujur"

Ada sebuah sungai di pinggir hutan. Di sungai itu hiduplah sekelompok buaya. Buaya itu ada yang berwarna putih, hitam, dan belang-belang. Meskipun warna kulit mereka berbeda, mereka selalu hidup rukun. Di antara buaya-buaya itu ada seekor buaya yang badannya paling besar. Ia menjadi raja bagi kelompok buaya tersebut. Raja buaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dicintai rakyatnya.

Suatu ketika terjadi musim kemarau yang amat panjang. Rumput-rumput di tepi hutan mulai menguning. Sungai-sungai mulai surut airnya. Binatang-binatang pemakan rumput banyak yang mati. Begitu juga dengan buaya-buaya. Mereka sulit mencari daging segar. Kelaparan mulai menimpa keluarga buaya. Satu per satu buaya itu mati.

Setiap hari ada saja buaya yang menghadap raja. Mereka melaporkan bencana yang dialami warga buaya. Ketika menerima laporan tersebut, hati raja buaya merasa sedih. Untung Raja Buaya masih memiliki beberapa ekor rusa dan sapi. Ia ingin membagi-bagikan daging itu kepada rakyatnya. Raja Buaya kemudian memanggil Buaya Putih dan Buaya Hitam.

Raja Buaya lalu berkata, "Aku tugaskan kepada kalian berdua untuk membagi-bagikan daging. Setiap pagi kalian mengambil daging di tempat ini. Bagikan daging itu kepada teman-temanmu!" "Hamba siap melaksanakan perintah Paduka Raja," jawab Buaya Hitam dan putih serempak.

"Mulai hari ini kerjakan tugas itu!" perintah Raja Buaya lagi. Kedua Buaya itu segera memohon diri. Mereka segera mengambil daging yang telah disediakan. Tidak lama kemudian mereka pergi membagi-bagikan daging itu.

Buaya Putih membagikan makanan secara adil. Tidak ada satu buaya pun yang tidak mendapat bagian. Berbeda dengan Buaya Hitam, daging yang seharusnya dibagi-bagikan, justru dimakannya sendiri. Badan Buaya Hitam itu semakin gemuk. Selesai membagi-bagikan daging, Buaya Putih dan Buaya Hitam kembali menghadap raja.

"Hamba telah melaksanakan tugas dengan baik, Paduka," lapor Buaya Putih. "Bagus! Bagus! Kalian telah menjalankan tugas dengan baik," puji Raja.

Suatu hari setelah membagikan makanan, Buaya Putih mampir ke tempat Buaya Hitam. Ia terkejut karena di sana-sini banyak bangkai buaya. Sementara tidak jauh dari tempat itu Buaya Hitam tampak sedang asyik menikmati makanan.

Buaya Putih lalu mendekati Buaya Hitam. "Kamu makan jatah makanan teman-teman, ya? Kamu biarkan mereka kelaparan!" ujar Buaya Putih. "Jangan menuduh seenaknya!" tangkis Buaya Hitam.

"Tapi, lihatlah apa yang ada di depanmu itu!" sahut Buaya Putih sambil menunjuk seekor buaya yang mati tergeletak. "Itu urusanku, engkau jangan ikut campur! Aku memang telah memakan jatah mereka. engkau mau apa?" tantang Buaya Hitam.

"Kurang ajar!" ujar Buaya Putih sambil menyerang Buaya Hitam.

Perkelahian pun tidak dapat dielakkan. Kedua buaya itu bertarung seru. Karena kekenyangan, Buaya hitam geraknya lambat. Akhirnya, Buaya Hitam dapat dikalahkan. Buaya Hitam lalu dibawa ke hadapan Raja. Beberapa buaya ikut mengiringi perjalanan mereka. Di hadapan Sang Raja.

Buaya Putih segera melaporkan kelakuan Buaya Hitam. Setelah mendengarkan saksi-saksi, Buaya Hitam lalu mendapat hukuman mati karena kecurangannya itu.

"Buaya Putih, engkau telah berlaku jujur, adil, serta patuh. Maka kelak setelah aku tiada, engkaulah yang berhak menjadi raja menggantikanku," demikian titah Sang Raja kepada Buaya Putih.

Kumpulan Dongeng Sebelum Tidur Pendek

1. "Faiz Sayang Kepada Adik"

Faiz memiliki dua adik, perempuan dan laki-laki. Suasana pandemi Covid-19 membuat semua pembelajaran di sekolah dilakukan secara online dan menggunakan media daring. Malam itu Faiz membantu adik bungsunya mengerjakan PR. Pak Guru selalu memberi tugas membuat video setiap minggunya.

"Dik Haydar, apa tugas videonya?" tanya Faiz.

"Ini Mamas, saya disuruh buat video nyanyi gambuh," jawab Haydar tampak kebingungan.

Gambuh itu merupakan salah satu tembang macapat. Oleh karena itu, harus menyanyi berbahasa Jawa. Hal inilah yang membuat Haydar tampak gelisah dan kesulitan. Maklum, bahasa keseharian dengan keluarga menggunakan Bahasa Indonesia.

"Boleh enggak divideokannya pakai HP Mamas," tanya Dik Haydar. "Oh iya Dik, boleh dong. Mamas kan sayang sama Adik." jawab Faiz sambil mengusap kepala adiknya.

Ketika pagi hari, Faiz juga sibuk membantu Ibu menyiapkan makanan untuk adik-adiknya. Kebetulan selera lauk kedua adiknya itu berbeda. Adik perempuannya suka sekali ikan dan udang. Sementara itu, adik laki-lakinya yang bernama Haydar paling suka sama ayam kremes atau ayam geprek.

Islam mengajarkan akhlak mulia untuk menyayangi orang yang lebih muda. Jadi, hendaknya kita bersikap lemah lembut kepada yang umurnya lebih muda. Mereka juga perlu dibimbing karena akal maupun ilmunya masih muda. Kakak yang baik mau melindungi dan menyayangi adiknya dengan sepenuh hati.

2. "Sopan Santun Kepada Kakek dan Nenek"

Anak-anak biasanya mencontoh perilaku orang tuanya. Sopan santun harus diajarkan sejak anak masih kecil, termasuk sikap kepada Kakek dan Nenek. Hal ini menjadi salah satu tanggung jawab dari orang tua.

Mashobiha sangat senang diajak berlibur ke tempat Kakek dan Nenek di kampung. Ia membayangkan bisa jalan-jalan dan bermain di sawah sepuasnya. Di sepanjang perjalanan, Mashobiha bertanya kepada ibunya, "Ibu, kita itu harus menghormati Kakek dan Nenek, ya?"

"Iya, betul, Sayang," jawab Ibu.

"Mengapa sih, perlu menghormati?" tanyanya lagi.

"Kita perlu menghormati Kakek dan Nenek karena mereka adalah sesepuh dan orang tua dari Ibu. Keduanya berperan sangat penting dalam mendidik ibu selama ini. Jadi, kamu harus bersikap sopan dan menunjukkan rasa hormat. Misalnya dalam mengambil makanan, maka kita mempersilahkan Kakek dan Nenek untuk mengambil terlebih dahulu. Termasuk tidak boleh berbicara kasar atau keras kepada Kakek dan Nenek.

Selanjutnya, saat berhadapan dengan Kakek dan Nenek, kamu harus berlatih ekstra sabar. Bisa saja Kakek dan Nenek akan berubah dan bersikap seperti anak kecil. Dalam konteks tertentu terkadang juga menjadi mudah tersinggung," jelas Ibu.

"Oh ... begitu ya, Bu. Baik Bu, terima kasih banyak penjelasannya," ucap Mashobiha sambil manggut-manggut tanda mengerti. "Iya, Nak, sama-sama," kata Ibu sambil mengusap kepala Mashobiha.

3. "Selalu Menjaga Sopan Santun dalam Pergaulan"

Hai, namaku Kenzie, usiaku sembilan tahun. Kata teman-teman, aku adalah anak yang santun. Aku juga sangat rajin berkunjung ke perpustakaan sekolah. Aku sering meminjam buku untuk dibawa pulang.

"Hai teman-teman semua, apa kabar? Sedang baca apa kalian?" tanyaku ketika masuk ke ruang perpustakaan sekolah. Teman-teman sontak melihat ke arahku. Mereka kelihatan bingung dan memikirkan sesuatu. Mungkin karena ada tugas kelompok dari Ibu Guru tadi pagi.

"Mohon maaf, saya terlambat datang ya," ucapku.

Aku selalu mengedepankan etika dalam bergaul dengan teman-teman sekolahku. Sopan santun selalu kujaga dengan mengedepankan perilaku dalam berbahasa maupun perbuatan. Tak heran jika aku memiliki banyak teman. Apabila salah, tak segan aku untuk meminta maaf. Jika dikasih, aku selalu mengucapkan terima kasih. Begitu pula jika aku menyuruh, pasti aku selalu menggunakan kata tolong.

Pernah suatu hari aku membawa bekal makanan untuk berbagi dengan teman sekelas. "Teman-teman, ini saya bawa bekal untuk kita makan bersama, ya," ucapku dari depan kelas. "Wah ... enak sekali Kenzie, aromanya membuatku lapar," jawab salah satu temannya.

"Terima kasih Kenzie!" seru teman-temannya bersahut-sahutan. Kenzie hari itu membawa bekal makanan ke sekolah dalam jumlah porsi besar, lengkap dengan lauk, sayur, dan buah. Ibuku memang hebat dan luar biasa karena selalu mengajarkan sopan santun dalam pergaulan.

4. "Memberikan Bantuan kepada Teman Difabel"

Anak difabel berarti menggambarkan kondisi keterbatasan dalam melakukan aktivitas. Hal ini karena ketidakmampuan yang mereka miliki. Artinya, anak difabel memiliki kemampuan yang berbeda jika dibandingkan dengan anak yang sehat.

Dampaknya, kesulitan untuk memenuhi peran normal di rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Nina, tetanggaku, termasuk penyandang difabel. Ia mengalami disabilitas fisik, yaitu lumpuh otak (cerebral palsy). Perkembangan otaknya tidak normal sebelum lahir.

Aku dan teman-teman selalu membantunya ketika kami bersama. Etika berinteraksi selalu kami utamakan. Kami menghargai perbedaan. Sekalipun Nina termasuk difabel, aku yakin ia juga ingin setara dengan kami yang terlahir dalam kondisi normal. Aku memperlakukannya dengan setara. Aku yakin bahwa Nina pasti juga ingin bahagia dan memiliki teman.

Jadi, kami tidak malu mendekati dan mengajaknya bermain. Ternyata memang Nina itu anak yang tangguh, mandiri, dan kuat. Meskipun dengan keterbatasan yang dimiliki, ia tetap berjuang dalam melakukan aktivitas. Aku dan teman-teman selalu berprinsip kalau Nina itu tidak berbeda dengan kami. Justru kami selalu menunjukkan sikap untuk saling menghargai dan tidak pernah menyinggung kekurangannya.

Aku selalu merangkul Nina, berusaha memahami ketika berinteraksi dengannya. Aku sadar bahwa Nina juga layak mendapatkan hak yang sama seperti kami yang tumbuh normal.

5. "Burung Gagak Tidak Boleh Dimakan"

Seperti biasa, Azkadina dan ibunya mengikuti kajian di masjid. Saat di mobil ketika perjalanan pulang, Azkadina bertanya kepada ibunya.

"Ibu, tadi kata Pak Ustaz, kita tidak boleh memakan burung gagak," celetuk Azkadina.

"Iya, betul. Pinter kamu, Sayang," puji Ibu.

Azkadina tersenyum sambil melihat ke arah ibunya yang sedang menyetir. Refleks ibunya mengelus kepala anaknya yang tertutup jilbab mungil berwarna merah muda.

"Apa ada sesuatu yang ingin ditanyakan kepada Ibu?" tanya Ibu.

"Iya, kira-kira apa ya penyebabnya, Bu?" tanya Azkadina.

"Jadi gini Nak, makan burung gagak itu hukumnya haram dan jelas melanggar syariat. Alasannya karena burung gagak merupakan salah satu hewan yang diharamkan dalam syariat Islam. Burung gagak termasuk binatang buas dan berkuku tajam. Bahkan kita diperintahkan untuk membunuhnya, makanya haram dimakan," jawab Ibu.

"Selain itu, burung gagak juga pemakan bangkai. Padahal kita tahu bahwa bangkai itu adalah najis, sehingga burung gagak tidak boleh dimakan. Hal ini sebagaimana H.R. Bukhari Muslim bahwa lima hewan fasik (pengganggu) yang hendaknya dibunuh walaupun di tanah haram, yaitu tikus, kalajengking, burung elang, burung gagak, dan anjing galak," jelas Ibu.

"Wah, lengkap sekali penjelasannya. Bahkan sampai hadisnya Ibu juga hafal. Iya, sekarang aku jadi lebih paham, Bu," ujar Azkadina.

"Iya, alhamdulillah Nak," jawab Ibu. "Terima kasih sekali ya, Bu," ucap Azkadina.

6. "Rapat Tikus"

Ada sebuah rumput ilalang, di mana arah mata angin di situlah dia dan lubang tikus ini ada di bawahnya. Panglima Tikus keluar dari lubang dilihatnya ilalang itu ada yang bergerak, ia pun ketakutan dan mengadu kepada Raja Tikus.

"Wahai baginda raja, di luar ada ilalang yang bergerak-gerak, aku takut keluar dan tidak bisa memberi makan anak-anakku,"

Raja Tikus berkata,"Itu angin yang membawanya."

"Tapi aku ada masalah lain lagi," kata Panglima Tikus. "Aku sangat takut pada kucing, sudah berapa banyak anakku dimakannya. Bagaimana caranya agar kucing ini bisa kita tangani?"

Lalu Raja Tikus memanggil dan mengumpulkan rakyat tikus untuk mengadakan rapat besar. Raja bertanya bagaimana caranya agar kucing tidak bisa memakan tikus lagi.

Setelah rapat besar diadakan, muncul satu keputusan, "Bagaimana jika kita pasang kerincing yang bunyi-bunyi di leher kucing. Jadi, jika itu dipasang apabila dia bergerak pasti akan terdengar dan kita bisa pergi, kita juga tau kapan dia datang."

Semuanya pun setuju, kerincing yang dapat berbunyi-bunyi sudah dibuat, namun tidak ada satupun yang berani memasang kerincing ke leher kucing. Sehingga sampai sekarang kucing pun masih mengejar dan sering bisa menangkap tikus.

7. "Aji Saka"

Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.

Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan baik hati. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli oleh dua orang penyamun. Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh Aji Saka itu ternyata pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang kebuasan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan mengenakan sorban di kepala Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan.

Perjalanan menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama tujuh hari tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati hutan itu.

Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni hutan sekaligus melenyapkannya. Aji Saka tiba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang murka karena Patih Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu.

Dengan berani, Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk disantap oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya. Saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus memanjang sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah setelah mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kezalimannya.

Ketika Prabu Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh sang Prabu. Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian hilang ditelan ombak. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya ke istana. Berkat pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan Kerajaan Medang Kamulan ke zaman keemasan, zaman dimana rakyat hidup tenang, damai, makmur dan sejahtera.

8. "Batu Sang Raja"

Pada zaman dahulu kala, ada seorang Raja di negeri Antah Berantah bersifat sangat baik hati. Rakyat sangat menyenangi Raja, tetapi Raja juga mengetahui rakyatnya ada yang baik ada pula yang jahat. Raja menyadari di bumi ini selalu ada yang bersifat berbeda. Namun Raja menginginkan agar rakyatnya mempunyai hati nurani untuk saling sayang menyayangi sesamanya. Raja ingin sekali mengetahui siapa sebenarnya yang mempunyai hati mulia. Setiap hari Raja selalu dikelilingi oleh orang-orang yang bermuka manis, tetapi belum tentu hatinya baik.

Raja kemudian pergi ke jalan yang menuju ke istana dan meletakkan batu besar di tengah jalan. Raja menyingkir ke pinggir jalan dan mengintai dari balik pepohonan yang rimbun. Tak lama tampak rombongan pedagang kaya raya, mereka acuh berjalan melingkari batu tanpa berkata apapun menuju pintu masuk istana.

Kemudian datang lagi banyak orang dengan berbagai macam pekerjaannya. Sebagian besar mereka memaki-maki batu tersebut, bahkan memarahi Raja karena tidak membersihkan jalan menuju istana. Namun tidak satupun dari mereka yang ingin mengangkat batu tersebut. Tak lama kemudian datang tukang sayur istana. Beliau berhenti untuk meletakkan keranjang sayuran di tepi jalan. Raja memperhatikan tukang sayur tersebut dengan seksama.

"Apa yang akan dilakukannya?" kata Raja dalam hati. Ternyata tukang sayur dengan sekuat tenaga mencoba mendorong batu ke tepi jalanan. Juga tidak ada seorang pun yang mau membantunya. Mereka berjalan sambil melengos kepada tukang sayur.

"Kasihan," kata Raja.

Tukang sayur tampak kelelahan dan badannya penuh dengan peluh keringatnya. Setelah berhenti sebentar, tukang sayur tergesa-gesa menuju istana untuk mengantarkan sayur-sayuran. Raja tersenyum, kemudian pergi ke istana menemui orang-orang yang akan bertemu dengannya. Dengan suara yang berwibawa, Raja memanggil tukang sayur dan diceritakan betapa luhurnya budi tukang sayur ini dibanding dengan pedagang kaya yang hadir di sini.

Raja memberikan hadiah yang sangat tak diduga oleh tukang sayur tersebut. Satu kantong berisikan uang dan emas. Raja mengingatkan agar dijadikan modal untuk membuka toko, supaya tukang sayur tidak perlu lagi memikul dagangannya. Orang-orang lain terdiam dan malu kepada dirinya sendiri, karena tidak mempunyai rasa kebaikan hanya untuk menolong mengangkat batu di jalan menuju istana. Padahal Raja selalu menolong mereka agar mereka dapat berdagang dengan sukses.

9. "Asal Mula Guntur"

Dahulu kala peri dan manusia hidup berdampingan dengan rukun. Mekhala, si peri cantik dan pandai, berguru pada Shie, seorang pertapa sakti. Selain Mekhala, Guru Shie juga mempunyai murid laki-laki bernama Ramasaur. Murid laki-laki ini selalu iri pada Mekhala karena kalah pandai. Namun Guru Shie tetap menyayangi kedua muridnya. Dan tidak pernah membedakan mereka.

Suatu hari Guru Shie memanggil mereka dan berkata, "Besok, berikan padaku secawan penuh air embun. Siapa yang lebih cepat mendapatkannya, beruntunglah dia. Embun itu akan kuubah menjadi permata, yang bisa mengabulkan permintaan apa pun."

Mekhala dan Ramasaur tertegun. Terbayang oleh Ramasaur ia akan meminta harta dan kemewahan. Sehingga ia bisa menjadi orang terkaya di negerinya. Namun Mekhala malah berpikir keras. Mendapatkan secawan air embun tentu tidak mudah, gumam Mekhala di dalam hati. Esoknya pagi-pagi sekali kedua murid itu telah berada di hutan. Ramasaur dengan ceroboh mencabuti rumput dan tanaman kecil lainnya. Tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Air embun selalu tumpah sebelum dituang ke cawan.

Sebaliknya, Mekhala dengan hati-hati menyerap embun dengan sehelai kain lunak. Perlahan diperasnya lalu dimasukan ke cawan. Hasilnya sangat menggembirakan. Tak lama kemudian cawannya telah penuh. Mekhala segera menemui Guru Shie dan memberikan hasil pekerjaannya.

Guru Shie menerimanya dengan gembira. Mekhala memang murid yang cerdik. Seperti janjinya, Guru Shie mengubah embun itu menjadi sebuah permata sebesar ibu jari.

"Jika kau menginginkan sesuatu, angkatlah permata ini sejajar dengan keningmu. Lalu ucapkan keinginanmu," ujar Guru Shie.

Mekhala mengerjakan apa yang diajarkan gurunya, lalu menyebut keinginannya. Dalam sekejap Mekhala telah berada di langit biru. Melayang-layang seperti Rajawali. Indah sekali. Sementara itu, baru pada senja hari Ramasaur berhasil mendapat secawan embun. Hasilnya pun tidak sejernih yang didapat Mekhala. Tergopoh-gopoh Ramasaur menyerahkannya pada Guru Shie.

"Meskipun kalah cepat dari Mekhala, kau akan tetap mendapat hadiah atas jerih payahmu," kata Guru Shie sambil menyerahkan sebuah kapak sakti.

Kapak itu terbuat dari perak. Digunakan untuk membela diri bila dalam bahaya. Bila kapak itu dilemparkan ke sasaran, gunung pun bisa hancur. Ternyata Ramasaur menyalahgunakan hadiah itu. Ia iri melihat Mekhala yang bisa melayang-layang di angkasa.

Ramasaur segera melemparkan kapak itu ke arah Mekhala. Tahu ada bahaya mengancam, Mekhala menangkis kapak itu dengan permatanya. Akibatnya terjadilah benturan dahsyat dan cahaya yang sangat menyilaukan. Benturan itu terus terjadi hingga saat ini, berupa gelegar yang memekakkan telinga. Orang-orang menyebutnya" guntur".

Demikian 16 dongen sebelum tidur yang penuh dengan makna panjang dan pendek untuk anak. Semoga bermanfaat ya detikers!




(sto/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads