20 Cerita Dongeng Anak Sebelum Tidur yang Lucu dan Mendidik

20 Cerita Dongeng Anak Sebelum Tidur yang Lucu dan Mendidik

Nur Umar Akashi - detikJogja
Jumat, 09 Agu 2024 17:12 WIB
Ilustrasi rusa dan buku cerita
Ilustrasi cerita dongeng anak sebelum tidur Foto: Freepik/brgfx
Jogja -

Sebelum terlelap dalam tidur, orang tua bisa membacakan dongeng lucu dengan muatan mendidik untuk anaknya. Bagi yang membutuhkan, di bawah ini 20 cerita dongeng yang edukatif untuk si anak!

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh). Sementara itu, Pupung Puspa Ardini dalam buku Dongeng: Teori dan Aplikasi mengartikannya sebagai segala bentuk cerita-cerita yang sudah ada sejak zaman dahulu dan diceritakan turun-temurun.

Bukan hanya membantu anak untuk tidur, pembacaan dongeng memiliki sejumlah manfaat alias dampak positif. Dilansir laman resmi SD Cipayung 4 Depok, di antaranya adalah mendukung perkembangan sensorik-kognitif, melatih empati, dan memperkuat ikatan sosial dan keluarga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi detikers yang sedang mencari dongeng untuk dibacakan kepada anak sebelum mereka terlelap, yuk baca 20 cerita dongeng anak sebelum tidur yang telah detikJogja siapkan berikut ini!

Kumpulan Cerita Dongeng Anak Sebelum Tidur

Dongeng Anak Sebelum Tidur #1: Mimpi Suntre

(sumber: buku Kisah Dua Putri dan Si Raja Ular oleh Dwi Pratiwi)

ADVERTISEMENT

Warna lembayung itu telah selesai menyapa senja, pertanda hari 'kan menjelang malam. Dedaunan tampak menunduk lemah, lelah seharian menemani matahari. Kicau burung tidak lagi terdengar. Satu per satu mereka menuju peraduannya. Sesekali terdengar kelepak kelelawar yang melintas di atas rumah, tempat tinggal Sasandewini dan Suntre.

Kakak-adik itu hidup rukun. Setiap hari mereka selalu bekerja sama dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Sasandewini senang memasak. Suntre lebih senang menyapu dan merapikan rumah. Mereka hidup bersama neneknya. Setiap hari Sasandewini dan Suntre harus mengurus neneknya yang sedang sakit. Kedua orang tuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena terjangkit wabah yang melanda kampungnya.

"Kenapa malam ini dingin sekali, Kak?" Suntre memecah kesunyian.
"Benar, Suntre. Dinginnya seakan menusuk tulang," jawab Sasandewini.

"Bahkan ujung rambutku pun seakan-akan ikut merasakan dinginnya malam ini," lanjut Suntre sambil menyelimuti tubuhnya. Kedua ujung tangannya disembunyikan di bawah kepala. Udara dingin itu juga terasa di ujung daun telinga Suntre.

"Mengapa saat musim kemarau udara dingin sekali, Kak?"
"Ya, Ingat kata ayah dulu, udara malam di musim kemarau selalu lebih dingin dibandingkan dengan musim hujan," kata Sasandewini.
"O, begitu. Ujung kakiku ini sangat dingin, Kak."
"Pakailah kain itu, Suntre!"
"Sudah, ini kain selimutnya," lanjut Suntre sambil menarik selimut untuk menutupi ujung kakinya.
"Suntre, besok pagi kita mencari pucuk pakis ke gunung, ya," Sasandewini mengalihkan pembicaraan.
"Pucuk pakis?"
"Ya, kita akan memetik daun pakis dan daun ganemo ke gunung di seberang sana, Suntre."
"Ya, Kak," jawab Suntre pendek.
"Kak, sebaiknya kita berangkat sebelum matahari terbit."
"Benar, Suntre. Segeralah tidur supaya besok kita bisa berangkat pagi-pagi."

Suntre merebahkan tubuh mungilnya, menyelimuti badan, dan menyulam mimpi bersama malam.

Dinginnya malam menemani dua gadis kecil itu menyongsong pagi. Jangkrik tak berhenti mengerik mengisi kekosongan sunyinya malam. Sasandewini melihat pintu depan sekali lagi untuk meyakinkan apakah sudah benar-benar terkunci.

Lentera kecil di ruang depan la bawa ke belakang. Nyala lentera itu meliuk-liuk tersapu angin. la tekan kuat-kuat kayu penyangga pintu itu. "Aman," gumamnya. Sasandewini membalikkan badan, menuju kamar. Ia merebahkan badannya di samping adiknya. Suntre sudah tertidur pulas. Dalam tidurnya, Suntre bermimpi.

"Mau ke mana, Gadis Kecil?" sapa seorang Kakek berjubah putih dan berjenggot panjang.
"Sa ... sa ... saya... mau ke sungai, " jawab Suntre terbata-bata.
"Kenapa engkau lewat tempat ini?".
"Saya tidak tahu harus lewat mana, Kek."
"Sungai itu sangat berbahaya, cucuku. Ada seekor buaya putih penunggu sungai itu."
"Buaya?" Suntre kaget.
"Lebih baik urungkan saja niatmu itu, cucuku."

Suntre belum menjawab, tiba-tiba kakek itu menghilang dari hadapan Suntre. Suntre melanjutkan perjalanan menuju sungai. Langkahnya ia percepat. Dengan sangat hati-hati Suntre menuruni tebing. Suntre berusaha melupakan perkataan kakek itu. Tiba-tiba seekor buaya putih meloncat tepat di depan Suntre.

"Haaah," Suntre tersentak.

Suntre terbangun. Ia cubiti tangan dan pipinya sendiri. Ia entak-entakkan kakinya ke tanah. Akhirnya, ia sadar ternyata tubuhnya sudah jatuh dari tempat tidur.

"Huuuh... untung hanya mimpi," gerutu Suntre sambil mengusap-usap matanya. Jantungnya masih berdegup kencang. Suntre menengok ke kanan dan ke kiri mencari kakaknya, tetapi tidak ada.
"Kakaaak....." teriak Suntre seraya berlari.
"Ada apa, Suntre? Suntre bermimpi?
"Suntre takut, Kak."
"Jangan takut. Mimpi itu bunganya orang tidur."

Dongeng Anak Sebelum Tidur #2: Kalarahu

(sumber: buku Kalarahu Kumpulan Cerita Rakyat Jawa oleh Mardiyanto)

Pada suatu ketika Batara Guru ingin mengadakan pesta besar di Kayangan Jonggring Salaka. Batara Guru kemudian menugasi Resi Narada untuk mengumpulkan para dewa dan dewi di Kayangan Jonggring Salaka. Dalam pesta itu para dewa dan dewi diizinkan minum toya urip 'air penghidupan'. Siapa saja yang telah minum air penghidupan itu dapat hidup abadi.

Resi Narada pun segera mengumpulkan para dewa dan dewi di Kayangan Jonggring Salaka. Dalam sekejap saja para dewa dan dewi dari segenap penjuru mata angin tiba di Kayangan Jonggring Salaka. Mereka berkumpul di pendapa istana Jonggring Salaka yang sangat megah itu.

Air penghidupan dalam cupu manik astagina telah dituangkan ke dalam botol yang terbuat dari jamrud. Botol jamrud itu lalu diletakkan di atas meja yang terbuat dari mutiara. Para pembesar dewa dan dewi dipersilakan mengambil air penghidupan itu lebih dahulu. Setelah itu disusul para dewa dan dewi biasa.

Sangat senanglah para dewa dan dewi itu. Air penghidupan itu baunya harum dan sangat dingin sehingga tubuh para dewa dan dewi itu menjadi sangat segar.

Pada waktu itu di angkasa ada raksasa bernama Kalarahu. Ia melihat para dewa dan dewi sedang minum air penghidupan. Kalarahu lalu berkata dalam hati, "Jika aku dapat minum air penghidupan seperti para dewa dan dewi itu pasti aku akan hidup abadi. Aku tidak akan mati selamanya."

Kalarahu kemudian menyamar menjadi dewa dan ikut dalam pesta minum-minum air penghidupan itu. Dewa Matahari (Sang Hyang Surya) dan Dewa Bulan (Sang Hyang Candra) tahu bahwa Kalarahu menyamar sebagai dewa ikut dalam pesta itu. Mereka segera memberi tahu kepada Sang Hyang Wisnu. Ketika melihat Kalarahu sedang minum air penghidupan, Sang Hyang Wisnu segera melepaskan panah cakranya tepat di leher Kalarahu.

Putuslah leher raksasa Kularahu sehingga kepalanya melesat ke angkasa. Kepala Kalarahu tetap hidup abadi karena ia telah minum air penghidupan sampai di tenggoroknya.

Kalarahu tahu bahwa semua ini disebabkan oleh Dewa Matahari dan Dewa Bulan melaporkan kepada Sang Hyang Wisnu. Oleh karena itu. Kalarahu sangat marah kepada kedua dewa itu. "Hai, Dewa Matahari dan Dewa Bulan, sewaktu-waktu kalian akan kutelan hidup-hidup," ancam Kalarahu kepada dua dewa itu.

Setelah selesai mengadakan pesta para dewa dan dewi itu kembali ke tempat mereka masing-masing. Dewa Matahari dan Dewa Bulan pun juga kembali ke tempat mereka. Kalarahu kemudian mengejar Dewa Matahari dan Dewa Bulan untuk ditelannya. Kedua dewa itu pun terus terbang ke angkasa. Kalarahu tidak putus-asa ia terus mengejar kedua dewa itu.

Pada suatu ketika Dewa Matahari tertangkap oleh Kalarahu dan ditelannya. Akan tetapi, Dewa Matahari dapat keluar lagi karena Kalarahu tidak mempunyai perut, hanya kepala saja. Begitu pula ketika Dewa Bulan ditelan oleh Kalarahu, ia juga dapat keluar lagi.

Pada waktu Dewa Matahari ditelan oleh Kalarahu itu terjadilah gerhana matahari dan pada waktu Dewa Bulan ditelan oleh Kalarahu terjadilah gerhana bulan. Sampai sekarang masih ada masyarakat Jawa yang percaya bahwa terjadinya gerhana matahari dan gerhana bulan itu karena matahari dan bulan ditelan oleh Kalarahu.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #3: Seekor Kancil yang Selalu Ingat Tuhan

(sumber: buku Kalah Oleh si Cerdik karya Atisah)

Hutan lebat dan rumput menghijau telah berubah menjadi hutan yang gundul dan gersang. Daun jati, daun karet, dan daun pohon-pohon lain yang ada di hutan itu telah gugur.

Rumput-rumput pun telah mengering, semuanya berwarna kecoklatan. Tak ketinggalan pohon-pohon di pinggir sungai, semuanya layu. Kemarau yang panjang telah tiba. Sawah dan sungai pun kering kerontang.

Seekor kancil jantan yang tanduknya baru keluar, menandakan dia baru saja tumbuh dewasa, sangat kehausan. Bibirnya pecah-pecah. Ia telah berlari ke sana kemari mencari sumber air, tapi setetes pun tak didapatkannya.

Kancil jantan itu sangat sedih dan tubuhnya sudah lemas. Ia duduk sujud seperti manusia memuja Tuhan. Hatinya menjerit meminta pertolongan kepada Tuhan yang Maha Kuasa.

"Ya Allah yang Maha Agung, hamba mohon pertolonganMu. Hamba kehausan dan kelaparan. Berilah hambamu ini sedikit air dan rumput."

Setelah sujud, ia duduk lalu melihat-lihat ke kiri ke kanan, ke depan dan ke belakang. Ajaib, dari arah depan ia melihat gerombolan pepohonan yang agak kehijauan di sebuah bukit. Kancil berlari ke tempat itu.

Tempat itu ternyata cukup jauh. Ia melewati kebun ilalang yang baru saja dibakar orang sampai badan kancil itu kotor terkena debu. Namun, ia tidak mempedulikannya. Keinginannya hanya satu, yaitu ingin cepat minum.

Kancil sampai ke sebuah bukit. Pohon-pohon dan rerumputan di bukit itu ternyata masih subur. "Ohhh! Sumber airkah itu?" kata kancil bicara sendiri. Ia kemudian mencermati keadaan sekelilingnya. Ternyata ada aliran air yang bening, mengalir ke sebuah cekungan. Sementara itu, tanaman dan rumput di pinggir cekungan air itu pun warnanya hijau.

"Terima kasih Tuhan, doa hamba dikabulkan," kata kancil. Ia tidak buru-buru minum dan makan. Namun, sujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah itu, ia baru minum pelan-pelan.

Ternyata di belakang kancil ada seekor serigala yang tengah memburunya. Kancil tidak menyadari keadaan itu. Serigala sendiri ragu-ragu karena badan kancil yang belang-belang kotor itu seperti anak harimau. Sementara, kepalanya seperti kepala kancil. Jadi, serigala itu hanya mengawas-awasi saja.

Yang berbuat seperti itu ternyata tidak hanya serigala, juga seekor macan tutul tengah mengintip di atas sebuah pohon. Kancil tenang-tenang saja karena tidak mengetahui dirinya dijadikan rebutan dua binatang pemangsa.

Macan tutul dari atas dahan meloncat ke hadapan kancil. Ia takut keduluan Serigala.

"Macan tutul, jangan ganggu buruanku!"
"Enak saja. Ini jatahku, tahu?"

Serigala marah kepada macan tutul. Sebaliknya, macan tutul juga marah karena merasa terganggu.

"Celaka!" kata kancil sambil mengelus dadanya. Kancil sangat kaget di hadapannya ada dua hewan pemangsa yang memperebutkan dirinya.

Ia sangat takut karena melawan seekor binatang pemangsa saja tidak berdaya. Apalagi, jika harus melawan dua binatang sekaligus. Dalam ketakutannya, kancil sujud dan berdoa kepada penciptanya.

"Ya Allah, Yang Maha Baik
Allah Yang Maha Sempurna
Allah Yang Maha Abadi
Allah Yang Maha Asih
Allah Yang Maha Tahu
Allah Yang Ada di mana-mana
Allah Yang Maha Kuasa
Hamba tiada daya dan upaya
mohon diselamatkan oleh-Mu
dari bahaya serigala dan macan tutul
yang akan memangsa hamba."

Setelah berdoa, ia merasa mempunyai kekuatan. Kancil membentak kedua binatang yang tengah bertengkar itu.

"Serigala dan macan tutul! Selamat datang. Kalian pasti haus dan lapar. Mari kita minum. Air ini berasal dari Allah untuk kita minum."

Serigala dan macan tutul berhenti bertengkar. Mereka kaget mendengar suara kancil yang kencang dan penuh keberanian.

"Benar katamu. Aku ingin minum dan ingin makan. Untuk minum ada air. Untuk makan ada kamu. Kamu juga sama untuk minum ada air untuk makan ada rumput," kata macan tutul.

"Kancil, kamu bukan jatah macan tutul, tapi untukku. Aku yang sudah mengikutimu sejak lama."

"Bukan, kamu bukan jatah serigala. Tapi, jatahku. Aku yang punya hak sebab aku yang mengawasi dan mengikuti gerak-gerik kalian."

"Heh, kalian! kenapa ngomongnya ngawur. Apa kalian tidak tahu, siapa aku? Kepalaku memang kancil, tapi badanku macan lodaya. Jadi, kesukaanku bukan hanya rumput, juga daging serigala. Tandukku sakti."

"Siapa yang kutubruk, langsung mati dan dagingnya kupakai sarapan. Tidak menemukan serigala, makan rumput pun jadi. Tidak menemukan rumput, makan macan tutul pun tak apa-apa."

Macan tutul dan serigala terkejut mendengar kata-kata kancil. Malahan serigala merasa agak takut.

"Sekarang aku tak akan makan daging sebab ada rumput. Silakan serigala untuk macan tutul sebab macan tutul tak mau makan rumput atau sebaliknya, macan tutul untuk serigala. Kalau tidak habis, aku dibagi supaya kenyang. Makan daging sebagai pencuci mulut kan enak."

Kancil lalu minum sekenyangnya, kemudian makan rumput, dan pura-pura tidak punya rasa takut kepada kedua binatang pemangsa itu. Sementara itu, serigala dan macan tutul berkelahi. Mereka saling menggigit, saling mencakar, dan saling membanting. Siapa yang kalah dagingnya akan dimakan.

Sesudah kenyang kancil kabur menyelamatkan diri. Sambil tidak lupa berterima kasih kepada Allah pencipta alam.

"Ya Allah, Yang Maha Penyayang
Ya Allah, Yang Maha Bijaksana
Terima kasih atas kasih sayang-Mu
Terima kasih
Hamba telah terlepas dari marabahaya"

Begitulah doa kancil sambil mencium tanah, seperti orang yang tengah bersujud. Sementara itu, serigala yang bertengkar dengan macan tutul telah berhenti. Serigala jadi pincang dan buta dianiaya macan tutul, kemudian ia melarikan diri. Macan tutul pahanya sempal digigit serigala.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #4: Kebati, Kelelawar yang Baik Hati

(sumber: buku 5 Dongeng Anak Dunia oleh Dedik Dwi Prihatmoko)

Di sebuah hutan Nusa Tenggara Barat, hiduplah sekelompok komodo, burung kakak tua, musang, kelelawar, dan beberapa jenis hewan lainnya. Mereka hidup rukun dan saling berdampingan.

Di antara penduduk hutan, ada seekor kelelawar yang terkenal baik hati. Kelelawar tersebut biasa dipanggil Kebati. Ia suka membantu penduduk hutan yang sedang mendapat kesulitan. Suatu malam, terdengar bibi burung kakak tua meminta tolong.

"Toloooong!! Toloooooong!! Tolooooong!!"

Mendengar hal itu kelelawar segera mendatangi bibi burung kakak tua. "Ada apa Bibi, malam-malam begini berteriak meminta tolong?" tanya Kebati.

"Anakku sakit dan aku tidak bisa pergi mencari obat karena cuaca di luar gelap" ungkap bibi kakak tua sambil meneteskan air mata. Bibi kakak tua sangat sayang pada anak-anaknya.

Namun ia tidak dapat melakukan apa-apa malam itu. Cuaca di luar gelap dan udara dinginnya tidak seperti hari-hari biasa. Mungkin hal itu yang menjadikan anaknya demam tinggi.

Sebagai orang tua tentu bibi kakak tua sangat panik. Ia tidak dapat melakukan apa-apa kecuali berdoa dan meminta bantuan kepada penduduk hutan.

Melihat hal itu Kebati kemudian menanyakan obat yang dibutuhkan kepada bibi kakak tua. "Obat yang dibutuhkan bisa diambil di mana? Biar aku yang mengambilnya" tanya Kebati sambil menatap bibi kakak tua.

"Obat itu ada di perbatasan hutan. Cukup jauh tempatnya dari sini. Obat itu bernama daun katuk. Mustahil untuk mengambilnya di cuaca gelap seperti ini" ungkap bibi kakak tua padanya.

"Tunggu sebentar! Aku akan mengambilkannya untuk anakmu, Bi" kata Kebati seraya bergegas terbang untuk mencari tanaman yang dimaksud.

Di malam yang dingin, Kebati terbang menuju perbatasan hutan. Dalam kegelapan, ia mengandalkan kemampuan ekolokasi yang dimilikinya. Yaitu mengeluarkan suara berfrekuensi tinggi untuk dipantulkan ke benda yang ada di sekitarnya dan dipantulkan kembali ke telinga.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, sampailah Kebati di perbatasan hutan. Ia mulai mencari daun katuk dengan kemampuan ekolokasinya. Setelah menemukan daun katuk yang dia cari, Kebati segera pulang untuk memberikan daun itu kepada bibi kakak tua.

Betapa senang bibi kakak tua melihat Kebati datang membawa daun katuk. Tanpa buang waktu, bibi kakak tua segera meramu daun katuk sebagai obat demam untuk anaknya. Setelah meminum ramuan obat daun katuk, anaknya pun sembuh.

Pagi harinya, bibi kakak tua berkunjung ke rumah Kebati. Bibi mengucapkan terima kasih dan memberikan bermacam-bermacam buah segar yang baru dipetiknya. Bibi kakak tua dan penduduk hutan semakin sayang pada Kebati. Buah kepribadiannya yang baik hati.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #5: Memetik Pucuk Pakis

(sumber: buku Kisah Dua Putri dan Si Raja Ular oleh Dwi Pratiwi)

Suasana pagi di Kampung Tamakuri diramaikan oleh kokok ayam. Namun demikian, para petani belum banyak yang beraktivitas di luar. Kepulan asap tampak putih, membubung menuju langit, hampir memenuhi penjuru Kampung Tamakuri.

Hal itu menandakan bahwa para penduduk pinggir Sungai Kowera itu sedang memasak untuk sarapan dan untuk bekal mereka pergi ke ladang. Mereka memasak papeda.

Papeda adalah makanan pokok masyarakat Tamakuri, Papua, sebagai pengganti nasi. Papeda terbuat dari sagu. Masyarakat Tamakuri percaya bahwa setelah makan papeda, badan mereka menjadi sehat dan kuat.

"Suntre, makan papeda dulu," kata Sasandewini.
"Baik, Kakak," jawab Suntre. "Nenek sudah makan, Kak?" lanjutnya.
"Pertama, Suntre. Sebelum kita makan, nenek harus sudah makan terlebih dahulu."
"Oh, baiklah. Oya, Kak, kita jadi memetik pucuk pakis ke hutan, Kak?"
"Ya, tentu. Jangan lupa membawa noken."

Selesai sarapan, dua gadis itu bersiap-siap ke hutan. Tidak lupa Sasandewini dan Suntre berpamitan kepada sang nenek.

"Jangan jauh-jauh masuk ke dalam hutan, cucuku," kata sang nenek melepas kedua cucunya.
"Baik, Nek," jawab Sasandewini dan Suntre serentak.
"Pulanglah sebelum matahari terbenam," lanjut sang nenek.
"Baik, Nek. Kami akan segera pulang," jawab Sasandewini.

Setelah mencium tangan sang nenek, Suntre dan Sasandewini berangkat. Mereka berjalan ke arah timur. Suntre dan Sasandewini berjalan penuh semangat menuju hutan. Langkahnya tegap seperti tentara.

Noken yang tersangkut di kepala Suntre dan terjurai ke belakang siap menampung daun pakis. Meski sedikit usang, keranjang atau tas tradisional masyarakat Papua yang terbuat dari serat kayu tersebut tetap menjadi wadah kebanggaan mereka. Umur noken itu lebih tua daripada usia mereka.

"Noken ini bagus, ya, Kak," kata Suntre sambil mengelus-elus noken.
"Ya, noken ini buatan nenek kita, lho," jawab Sasandewini.
"Kuat sekali, Kak. Kita tidak bisa membuat yang seperti ini, Kak."
"Bahannya juga susah kita dapat, Suntre. Kita belum tentu juga telaten membuatnya."
"O, begitu," jawab Suntre pendek.

Udara terasa kering. Rumput-rumput kering, pepohonan meranggas, serta tanah-tanah retak terlihat tabah menanti datangnya titik-titik air. Kemarau panjang tahun ini telah mengurangi kesegaran Lembah Tamakuri di Waropen. Sesekali Sasandewini menengok ke belakang, melihat adiknya yang berjalan mengiringinya.

Perjalanan dua gadis ini sudah sampai di hutan yang lebat. Sasandewini dan Suntre berjalan sambil mengamati loncatan burung-burung dari pohon yang satu ke pohon yang lain.

"Cuiit ... cit... cuit... cit... cit..."
"Kek... kek... kuek... kek... kek"
"Cuit... cit... cuit..."

Kicau burung bersahutan seakan menyapa Suntre dan Sasandewini.

"Cepat sedikit, Suntre."
"Kakiku mulai berat, Kak," sahut Suntre, "bagaimana kalau kita berhenti dulu."
"Ya, sudah. Kita istirahat di bawah pohon itu, yuk!"

Dua gadis itu duduk di bawah pohon. Rumput kering dan semak belukar di sekitar pohon menjadi teman mereka melepas lelah. Sasandewini membuka bekal yang dibawanya dari rumah.

"Suntre, lihatlah kupu-kupu kecil itu."
"Kenapa, Kak?"
"Dia pasti sedang mencari bunga. Musim kemarau begini, susah mencari bunga."
"Kasihan, ya, Kak," Suntre beranjak dari duduknya. Ia ingin menangkap kupu-kupu tersebut.
"Jangan ditangkap, Suntre."
"Sayapnya bagus sekali, Kak," jawab Suntre sambil mengejar kupu-kupu.
"Jangan, Suntre. Biarkan mereka terbang bebas."
"Kak, serangga apa itu yang sayapnya panjang?"
"O, itu namanya capung."
"Ayo, kita ke arah sana!"
"Kakak, kita baru istirahat sebentar, sekarang jalan lagi."
"Hari sudah siang, Suntre. Jangan sampai nanti kita pulang terlalu malam."
"Berapa lama lagi kita akan sampai, Kak?"
"Sebentar lagi, Suntre," kata Sasandewini sambil menggandeng tangan adiknya.
"La ... la ... la ... la ...," Suntre bernyanyi sambil berlari-lari kecil mengimbangi langkah kakaknya.

Dua gadis itu melanjutkan perjalanan. Mereka sedikit mempercepat langkahnya. Onak dan duri tidak mereka hiraukan. Ranting-ranting kayu yang jatuh menghalangi jalan dengan cepat mereka singkirkan.

Jalanan yang keras dan terbelah-belah karena kekeringan tidak membuat kaki kecil dua gadis itu berhenti melangkah. Jalan setapak menjadi saksi langkah kecil mereka. Semangat mereka sekeras baja, pantang menyerah.

Semangatnya telah mengalahkan rintangan yang ada. Sasandewini dan Suntre pun memasuki Hutan Kowera. Mereka tidak berani masuk terlalu jauh, takut tersesat.

"Hmmm, pakis ...," guman Sasandewini.
"Daun pakis muda sangat lezat jika disayur santan," kata Suntre.
"Digulai, maksudnya, itu sayur kesukaan kita, Suntre."
"Iya, benar. Digulai."
"Nenek kita sangat pandai masak gulai pakis," kata Sasandewini.
"Kita harus belajar memasak kepada nenek," lanjutnya.
"Siaaap! Aku ingin menjadi ahli masak!"
"Bagus! Hati-hati, Suntre. Jangan sampai jatuh."
"Baik, Kak," jawab Suntre pendek.

Pakis termasuk tumbuhan paku. Pakis banyak ditemukan di hutan yang lembab. Selain di hutan, pakis juga bisa ditemukan di tebing perbukitan, merayap pada batang pohon atau batuan, di dalam kolam atau danau, serta di sela-sela bangunan yang tidak terawat.

Tumbuhan pakis sangat bergantung pada ketersediaan air. Di musim kemarau pohon pakis akan meluruhkan daunnya. Pakis akan kembali tumbuh subur pada musim hujan. Sisa-sisa daun yang masih ada itulah yang dipetik Sasandewini dan Suntre.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #6: Asal Mula Nama Banyuwangi

(sumber: buku Kalarahu Kumpulan Cerita Rakyat Jawa oleh Mardiyanto)

Dahulu di Pulau Jawa bagian timur ada sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh Raja Sindureja. Baginda mempunyai seorang patih bernama Sidapaksa. Semenjak Raja Sindureja dibantu oleh Patih Sidapaksa, negara menjadi makmur, aman, tenteram, dan damai.

Patih Sidapaksa kawin dengan seorang perempuan dari rakyat biasa. Wajah perempuan itu sangat cantik dan perilakunya baik. Patih Sidapaksa sangat menyayangi istrinya. Sebaliknya, lbu Patih Sidapaksa membenci menantunya karena menantunya berasal dari kasta rendah. Ibu Patih Sidapaksa berupaya hendak memisahkan Patih Sidapaksa dengan istrinya. Akhirnya, lbunda Patih Sidapaksa menemukan akal.

"Aku harus menghadap kepada Baginda Sidureja. Baginda akan kubujuk agar memberi tugas berat kepada anakku. Jika anakku pergi dalam waktu lama, aku dapat menyingkirkan perempuan itu," kata perempuan itu dalam hati.

Pagi itu lbu Patih Sidapaksa secara diam-diam menghadap Baginda Sindureja. Pada waktu itu Baginda sedang duduk di pendapa istana. Ia menyambut kedatangan lbu Patih Sidapaksa dengan ramah.

"Mari lbu, silakan duduk," kata Baginda Sindureja,
"Mengapa Kakang Patih Sidapaksa tidak mengantarkan?"
"Ya .. . semenjak Sidapaksa kawin dengan perempuan itu ia kurang perhatian padaku," jawab lbu Patih Sidapaksa.
"Ya, lbu. Ananda juga maklum karena Kakang Patih Sidapaksa pengantin baru," kata Baginda, "Sebenarnya lbu datang ke istana ini ada keperluan apa?"

Perempuan setengah baya itu mulai bercerita bahwa di Gunung ljen terdapat bunga ajaib. Bunga itu sangat berkhasiat, yaitu dapat membuat wanita tetap awet muda. Raja Sindureja mempercayai perkataan lbu Patih Sindapaksa.

Pikir Raja Sindureja, "Kalau istriku memakai bunga itu pasti akan tetap cantik dan awet muda." lbu Patih Sidapaksa tahu bahwa Baginda Sindereja mempercayai perkataannya. Ia lalu berkata, "Baginda, anakku Sidapaksa pasti dapat mencari bunga ajaib itu. Suruhlah anakku mencari bunga ajaib itu."

Raja Sindureja tidak mengetahui maksud jahat lbu Patih Sidapaksa. Ia hendak menyuruh Patih Sidapaksa pergi ke Gunung ljen untuk mencari bunga ajaib itu. Ibu Patih Sidapaksa sangat senang karena ia berhasil membujuk Raja Sindureja.

Keesokan harinya Patih Sidapaksa menghadap Raja Sindureja.

"Kakang Patih Sidapaksa, kata orang di puncak Gunung ljen ada bunga ajaib. Khasiatnya dapat membuat tubuh wanita tetap awet muda. Carilah bunga itu agar Dinda Permaisuri tetap awet muda," kata Baginda Sindureja.

Patih Sidapaksa menerima titah Raja Sindureja meskipun ia harus meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua. Sebelum berangkat ke Gunung ljen, Patih Sidapaksa memohon kepada ibunya agar mau menjaga menantunya dengan baik.

Lima belas hari setelah Patih Sidapaksa pergi ke Gunung ljen, istrinya melahirkan bayi laki-laki. Bayi itu secara diam-diam diambil oleh ibu Patih Sidapaksa dan dibuang ke sungai. Bayi mungil yang tidak berdosa itu akhirnya meninggal.

lstri Patih Sidapaksa sangat sedih karena anaknya hilang. Ia terus berusaha mencari anaknya ke berbagai tempat. Akan tetapi, ia tidak menemukan anaknya. Istri Patih Sidapaksa akhirnya jatuh sakit.

Peristiwa keji sudah lebih dari dua puluh purnama berlalu. Semua bukit, sungai, jurang di daerah Gunung ljen telah ditelusuri oleh Patih Sidapaksa. Akhirnya, Patih Sidapaksa menemukan bunga ajaib itu. Setelah berhasil memetik bunga itu ia segera turun dari puncak Gunung ljen dan menyerahkan bunga itu kepada Raja Sindureja.

Patih Sidapaksa kemudian pulang ke rumah hendak menemui anak dan istrinya. lbu Patih Sidapaksa mengetahui bahwa anaknya telah pulang. Ia buru-buru menemuinya.

"Anakku, Sidapaksa! Ternyata istrimu adalah perempuan yang jahat. Ia tega membuang anaknya ke dalam sungai," katanya memanas-manasi hati Patih Sidapaksa.

Patih Sidapaksa percaya pada perkataan ibunya. Ia sangat marah dan hendak membunuh istrinya dengan sebilah keris. "Kakanda Sidapaksa, aku tidak membunuh anak kita," kata istri Patih Sidapaksa lembut, "Bawalah aku ke pinggir sungai aku akan terjun ke dalam sungai. Jika air sungai berbau harum itu tandanya aku tidak bersalah."

"Jangan percaya pada perempuan jahat ini," kata lbu Patih Sidapaksa ketakutan kalau kejahatannya terbongkar. Patih Sidapaksa menuruti permintaan istrinya. Ia lalu mengangkat istrinya yang sedang sakit itu ke pinggir sungai. Sampai di pinggir sungai istri Patih Sidapaksa terjun ke dalam sungai dan tenggelam.

Tiba-tiba dari dasar sungai itu muncul dua kuntum bunga putih yang satu besar dan yang satu lagi kecil. Bunga besar merupakan jelmaan istri Patih Sidapaksa. sedangkan bunga yang kecil merupakan jelmaan anak Patih Sidapaksa.

"Ayah," kata bunga putih kecil itu, "Aku berkata dengan sesungguhnya bahwa yang membunuh Ananda bukan lbunda. Neneknyalah yang melemparkan Ananda ke dalam sungai ini."

Kedua bunga itu kemudian perlahan-lahan turun ke dasar sungai. Air sungai itu tiba-tiba mengeluarkan bau harum. Patih Sidapaksa sangat sedih, "Ternyata istriku tidak bersalah. Aku sangat menyesal tidak mempercayai perkataan istriku. Tempat ini mulai sekarang aku namakan Banyuwangi 'air harum'," gumam Patih Sidapaksa sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #7: Si Wuragil

(sumber: buku Kalarahu Kumpulan Cerita Rakyat Jawa oleh Mardiyanto)

Di sebuah desa terpencil dekat hutan jati ada sebuah rumah. Di situ tinggallah sepasang suami istri dengan tujuh anak laki-laki mereka. Untuk menghidupi ketujuh anak itu mereka harus bekerja keras. Ayah Si Wuragil pekerjaannya mencari kayu bakar, sedangkan ibunya mencari daun jati kering.

Hasil penjualan kayu bakar dan daun jati kering itu hanya cukup untuk makan sehari. Lama-lama suami istri itu tidak dapat mencukupi kebutuhan makan anaknya. Pada suatu malam Pak Wuragil duduk di ruang tamu ditemani istrinya. Anak-anak mereka sudah tertidur pulas di dalam kamar, berjajar di sebuah ranjang besar.

Hanya anak yang bungsu, Si Wuragil, yang belum tidur. Ia menutup mukanya dengan kain sarung dan pura-pura tidur.

"Nyai, apakah anak kita sudah tidur?" tanya Pak Wuragil.
"Sudah, Kyai," jawab Bu Wuragil.
"Nyai, akhir-akhir ini penghasilan kita tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup ketujuh anak kita. Aku telah tua, tidak kuat lagi memikul kayu bakar ke kota," keluh Pak Wuragil.

Bu Wuragil diam. Ia tidak menanggapi perkataan suaminya.

"Aku punya rencana ," kata Pak Wuragil seraya mengambil singkong rebus di piring yang tinggal sepotong itu.
"Apa rencanamu, Kyai?" tanya Bu Wuragil penasaran.
"Begini, Nyai," kata Pak Wuragil sambil menarik napas panjang, "Aku ingin mengajak anak-anak kita ke hutan dan meninggalkan mereka di hutan."

Bu Wuragil menangis. Ia tidak menyetujui rencana suaminya. Akan tetapi, suaminya tetap pada pendiriannya. Ia ingin membuang ketujuh anaknya ke hutan. Pembicaraan itu didengar oleh si cerdik Wuragil. Si Wuragil secara diam-diam keluar rumah. Ia mengumpulkan batu-batu kecil dan disimpan dalam sebuah kantong.

Pagi-pagi sekali ketujuh anak itu dibangunkan oleh Pak Wuragil. Mereka diajak ke hutan untuk mencari kayu bakar. Si Wuragil telah mengetahui rencana ayahnya. Setiap beberapa langkah, ia menjatuhkan batu-batu kecil. Akhirnya, mereka sampai di tengah hutan.

"Kalian istirahat dulu di sini. Ayah akan mencari air minum. Kalian jangan pergi ke mana-mana sebelum Ayah kembali," pesan Pak Wuragil.

Pak Wuragil tidak mencari air minum, tetapi ia langsung pulang ke rumah . Beberapa jam telah berlalu, keenam kakak Wuragil mulai gelisah karena ayahnya belum juga kembali. Si Wuragil tetap tenang karena ia telah tahu rencana ayahnya.

"Kakak-kakakku semua, mari kita pulang saja," ajak Si Wuragil.
"Mengapa?" tanya Si Sulung, "Bukankah Ayah berpesan kita tidak boleh pergi dari sini?"

Si Wuragil menjelaskan bahwa semalam ia mendengar pembicaraan ayah dan ibu mereka. Setelah mendengar penjelasan itu, mereka mau di ajak pulang. Si Wuragil mengikuti batu-batu kecil yang ia jatuhkan sewaktu berangkat tadi. Keenam kakak Si Wuragil mengikuti adiknya.

Pak Wuragil sampai di rumah lebih dulu. Tidak lama kemudian tibalah ketujuh anak itu di rumah. Kehidupan keluarga itu semakin kekurangan. Si Wuragil mencium gelagat ayahnya yang tidak baik, "Mungkin Ayah akan mengajak lagi ke hutan," pikir Si Wuragil.

Malam itu mereka mendapat jatah makan, masing-masing dua buah jagung rebus. Si Wuragil hanya memakan satu buah jagung, sedangkan yang satu buah lagi ia simpan. Apabila ayahnya mengajak ke hutan, jagung itu akan dipergunakan untuk tanda/jejak.

Dugaan Si Wuragil benar karena keesokan harinya ia dan keenam kakaknya diajak ayahnya ke hutan. Seperti beberapa waktu yang lalu setiap beberapa langkah Si Wuragil menjatuhkan sebutir jagung. Akhirnya, mereka sampai di tengah hutan.

"Nak, kita istirahat di sini dulu. Ayah ingin buang air besar di sungai," kata orang tua setengah baya itu sambil menunjuk ke arah sebuah sungai.

Butir-butir jagung yang dijatuhkan oleh Si Wuragil tadi dimakan oleh kawanan burung merpati. Akibatnya, ketujuh anak itu tidak dapat kembali ke rumah. Mereka terus berjalan tanpa arah dan tujuan. Mereka tersesat sehingga sampai di rumah raksasa. Mereka terpaksa bermalam di situ.

Malam itu Si Wuragil belum tidur. Ia mendengar pembicaraan suami istri raksasa. Inti pembicaraan itu adalah raksasa itu akan memakan Si Wuragil dan keenam saudaranya .

"Wah ... gawat," kata Si Wuragil dalam hati.

"Aku harus menukar selimut bulu domba ini dengan selimut bulu harimau yang dipakai ketujuh anak raksasa itu. Mudah-mudahan raksasa itu terkecoh."

Si Wuragil cepat-cepat bangun lalu menukar selimut saudara-saudaranya dengan selimut ketujuh anak raksasa yang satu ranjang dengan mereka.

"Tuhan, selamatkanlah aku dan keenam kakakku," kata Si Wuragil seraya menutup mukanya dengan selimut bulu harimau itu.

Malam semakin larut. Ada langkah berat menuju ke kamar itu. Si Wuragil menggigil ketakutan, jantungnya berdetak lebih kencang. Ia mengintip dari balik selimut. Ia menjadi lega karena Raksasa itu menuju ke anak-anak yang berselimut bulu domba.

Tanpa memeriksa lebih dahulu raksasa itu langsung memangsa ketujuh anak itu. dengan lahap. Selesai makan Raksasa itu mengantuk, lalu tidur dengan pulas.

"Aku harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini," gumam Si Wuragil.

Si Wuragil dengan gemetaran mengambil sepatu ajaib milik raksasa itu. Setelah memakai sepatu ajaib itu ia membangunkan keenam kakaknya. "Kak, mari kita tinggalkan tempat ini," kata Si Wuragil.

Raksasa terbangun karena mendengar suara berisik. Si Wuragil dan keenam kakaknya telah berlari. Raksasa itu berusaha mengejar mereka, tetapi ia tidak dapat mengejar karena sepatu ajaibnya telah diambil oleh Si Wuragil.

Si Wuragil dan keenam kakaknya sampai di sebuah kerajaan. Kebetulan Raja negeri itu sedang mengadakan perlombaan lari cepat. Si Wuragil ikut dalam perlombaan itu. Ia mengenakan sepatu ajaib sehingga ia dapat menang dalam perlombaan itu. Raja pun memperkenankan Si Wuragil dan keenam kakaknya tinggal di kompleks perumahan istana.

Kini Si Wuragil telah dewasa dan bekerja di istana. Ia sangat pintar dan tampan sehingga menjadi orang kepercayaan raja. Bahkan, Sang Raja akhirnya menikahkan putri tunggalnya yang bernama Putri Nilasari dengan Si Wuragil. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi raja di
negeri itu.

Si Wuragil tidak melupakan keenam kakaknya. Ia mengangkat keenam kakaknya menjadi punggawa kerajaan. Kedua orang tuanya dipanggil ke istana. Mereka kemudian tinggal di istana dan hidup bahagia.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #8: Ande-Ande Lumut dan Kleting Kuning

(sumber: buku Kalarahu Kumpulan Cerita Rakyat Jawa oleh Mardiyanto)

Panji Asmara Bangun, putra mahkota Kerajaan Jenggala mempunyai tunangan bernama Dewi Candra Kirana, putri Raja Kediri. Tunangan Panji Asmara Bangun itu juga dicintai oleh Kelana Sewanggana, Raja Bandarangin. Kelana Sewanggana ingin melamar Dewi Candra Kirana. Jika lamarannya ditolak ia akan menyerang Kerajaan Kediri.

Raja Kediri tahu bahwa jika Kerajaan Bandarangin menyerang Kerajaan Kediri, rakyat pasti akan menjadi korban. Raja Kediri tidak menginginkan hal itu. Baginda lalu memanggil putri tunggalnya.

"Putriku, Candra Kirana, engkau telah mengetahui niat jahat Raja Kelana Sewangganan. Oleh karena itu, segeralah engkau meninggalkan istana Kediri. Menyamarlah sebagai rakyat jelata sehingga engkau tidak dikenali oleh mata-mata dari Kerajaan Bandarangin," kata Raja Kediri sedih, "Ayah akan selalu berdoa semoga engkau mendapat perlindungan dari Tuhan."

Permaisuri berkata sambil membelai rambut putrinya, "lbu juga akan selalu berdoa bersama ayahmu. Semoga engkau selalu mendapat perlindungan dari Tuhan"

"Ananda menurut perintah Ayahanda dan lbunda," jawab Candra Kirana singkat.

Beberapa saat setelah kepergian Candra Kirana datanglah Patih Tamengdita, utusan Raja Kelana Sewanggana di istana Kediri. Patih Tamengdita menyampaikan maksud kedatangannya ke Kediri, yaitu melamar Dewi Candra Kirana untuk rajanya.

Raja Kediri berkata, "Telah beberapa hari ini putriku Candra Kirana meninggalkan istana. Aku tidak tahu ke mana perginya. Jika rajamu tetap menginginkan putriku, suruhlah rajamu mencari Candra Kirana."

Patih Tamengdita kembali ke Bandarangin menyampaikan berita itu kepada Prabu Kelana Sewanggana. Prabu Kelana Sewanggana kemudian mengajak Patih Tamengdita pergi ke Kediri menyamar sebagai tukang tambang (menyeberangkan orang) di Bengawan Silugangga. Prabu Kelana Sewanggana berganti nama Yuyu Kangkang dan Patih Tamengdita berganti nama Kodok ljo.

Panji Asmara Bangun juga telah mendengar berita bahwa Dewi Candra Kirana pergi dari istana. Ia sangat sedih karena ia tidak tahu ke mana Dewi Candra Kirana pergi. Panji Asmara Bangun kemudian mengajak kedua abdinya, Sabda Palon dan Naya Genggong mengembara hendak mencari Dewi Candra Kirana.

Dalam pengembaraan itu Panji Asmara Bangun berganti nama Ande-Ande Lumut. Sabda Palon berganti nama Bancak, dan Naya Genggong berganti nama Doyok. Mereka lalu menetap di desa Karang Kebulusan.

Dewi Candra Kirana menyamar menjadi rakyat biasa dan berganti nama Ragil Kuning. Ia tinggal di rumah Mbok Randa Dadapan. Mbok Rondo Dadapan tidak keberatan asalkan Ragil Kuning mau membantu memasak dan mencuci pakaian.

Semenjak Ragil Kuning tinggal di rumah Mbok Rondo Dadapan, rumah dan pekarangan Mbok Rondo Dadapan menjadi bersih. Mbok Rondo Dadapan sangat senang pada Ragil Kuning karena ia rajin bekerja dan tidak pernah mengeluh.

"Seandainya keempat anak perempuanku semuanya seperti Ragil Kuning betapa senangnya hidupku," kata Mbok Rondo Dadapan sambil memperhatikan Ragil Kuning yang sedang menyapu halaman rumah, "Tingkah laku Ragil Kuning sangat sopan dan budi bahasanya sangat halus. Mungkinkah Ragil Kuning bukan dari rakyat kebanyakan?"

"Ragil Kuning," teriak Mbok Rondo Dadapan.
Ragil Kuning pun segera menghampiri dan duduk di bangku panjang, di samping Mbok Rondo Dadapan.
"Ada apa, Mbok?" tanya Ragil Kuning.

"Tidak ada apa-apa Nduk," kata Mbok Rondo Dadapan.

"Aku hanya sekadar ingin bertanya. Siapakah sebenarnya engkau ini? Aku perhatikan engkau sangat lain dengan gadis-gadis di kampung ini. Siapakah engkau ini sebenarnya?" kata Mbok Rondo Dadapan mengulangi pertanyaannya.

"Baiklah aku berterus-terang, tetapi Si Mbok harus merahasiakan hal ini kepada orang lain. Termasuk kepada Kakak Kleting ljo. Kleting Abang, Kleting Ungu, dan Kleting lreng," kata Ragil Kuning.

"Ya. aku berjanji akan tetap menjaga rahasiamu," kata Mbok Rondo Dadapan. Ragil Kuning kemudian berterus-terang kepada Mbok Rondo Dadapan tentang asal usulnya. Setelah mendengar penjelasan Ragil Kuning, Mbok Rondo Dadapan menyembah kepada Ragil Kuning.

"Jangan Si Mbok menyembahku. Anggaplah aku sebagai anakmu sehingga penyamaranku tidak diketahui orang," kata Ragil Kuning. Mbok Rondo Dadapan semakin sayang kepada Ragil Kuning. Ragil Kuning pun tetap bekerja seperti biasa. Menyapu, memasak, dan mencuci.

Berita mengenai di desa Karang Kebagusan ada seorang pemuda tampan bernama Ande-Ande Lumut telah sampai ke Desa Dadapan. Keempat anak Mbok Rondo Dadapan ingin pergi ke desa itu hendak menggoda Ande-Ande Lumut.

"Adikku Kleting Abang, Kleting Ungu, dan Kleting lreng . Marilah kita pergi ke desa Karang Kebagusan," kata Kleting ljo pada suatu pagi. Keempat gadis itu sepakat hendak bertandang ke rumah Ande-Ande Lumut.

Ragil Kuning ingin ikut. Akan tetapi, Kleting ljo marah, "Kalau akan pergi ke Karang Kebagusan pergi saja sendiri. Jangan bersama kami," katanya ketus.

Keempat gadis anak Mbok Rondo Dadapan pergi ke Desa Karang Kebagusan. Untuk sampai ke Desa Karang Kebagusan mereka harus menyeberangi Bengawan Silugonggo. Mereka tidak dapat berenang sehingga mencari tukang perahu.

"Hai, gadis-gadis cantik. Kalian akan ke mana?" tanya Yuyu Kangkang.
"Ya, akan ke mana?" sambung Kodok ljo.
"Paman, kami akan ke Desa Karang Kebagusan. Tolonglah kami. Seberangkan ke sana," kata Kleting ljo genit.
"Aku mau menyeberangkan kalian asalkan kalian mau kucium," kata Kodok ljo.

Yuyu Kangkang pun mau akhirnya menyeberangkan keempat dengan upah cium. Selanjutnya, keempat gadis itu menuju ke rumah Ande-Ande Lumut dengan harapan diperistri oleh Ande-Ande Lumut. Akan tetapi, Ande-Ande Lumut tidak mau menerima keempat gadis itu karena keempat gadis itu tidak suci lagi.

Kleting Kuning tidak mau dicium oleh Yuyu Kangkang dan Kodok ljo sehingga ia tidak diseberangkan. Kleting Kuning mengeluarkan senjatanya yang berupa lidi dan memukul air Bengawan Silugangga. Seketika itu air Bengawan kering dan Kleting Kuning dapat menyeberang.

Sampai di Karang Kebagusan ia diterima oleh Ande Ande Lumut. Ande-Ande Lumut dan Kleting Kuning kemudian membuka jati dirinya.

"Dinda Candra Kirana," kata Panji Asmara Bangun.
"Ya, Kakanda Panji Asmara Bangun," jawab Candra Kirana singkat.

Kedua sejoli itu saling berpelukan. Tidak lama kemudian Yuyu Kangkang (Prabu Kelana Sewanggana) dan Kodok ljo (Patih Tamengdita) sampai di Desa Karang Kebagusan. Mereka hendak merebut Candra Kirana.

Akan tetapi, mereka dapat dibunuh oleh Panji Asmara Bangun. Panji Asmara Bangun dan Candra Kirana kembali ke Kediri. Mereka kemudian dinikahkan dengan pesta yang sangat meriah.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #9: Tuah, Tupai Si Pantang Menyerah

(sumber: buku 5 Dongeng Anak Dunia karya Dedik Dwi Prihatmoko)

Di daerah perbukitan Pulau Jawa, terdapat kumpulan tupai pemakan buah kelapa. Para tupai jantan memiliki kegemaran unik yaitu meloncat dari ranting pohon ke ranting pohon lainnya. Sementara para tupai betina lebih suka merayap. Mereka tidak berani untuk meloncat.

Tetapi berbeda dengan Tuah, tupai betina si pantang menyerah. Dia ingin sekali dapat meloncat. Oleh karena itu, Tuah mendatangi Eyang Tupai. Beliau adalah pelatih yang selama ini mengajari para tupai jantan meloncat.

"Eyang, jadikanlah aku muridmu seperti para tupai jantan itu," pinta Tuah. "Kamu perempuan, sudahlah tidak perlu kamu susah payah berlatih loncat padaku," jawab Eyang Tupai. "Tolonglah Eyang, aku ingin seperti para tupai jantan yang dengan mudah meloncat dari satu pohon ke pohon lain," ucap Tuah dengan nada memohon.

Eyang Tupai akhirnya merasa kasihan melihat Tuah yang begitu ingin berlatih melompat padanya. Eyang pun melatih Tuah sama seperti melatih tupai jantan lainnya.

Hari pertama latihan menjadi hari yang cukup buruk. Tuah jatuh berkali-kali. Begitupun di hari kedua, ketiga, keempat, dan kelima.

Sepekan sudah lamanya Tuah berlatih. Ia berusaha keras untuk menjadi peloncat seperti tupai jantan, tetapi belum ada tanda-tanda keberhasilan.

"Sudahlah Tuah, kau tidak usah menyiksa tubuhmu seperti ini. Terimalah keadaanmu seperti apa adanya."

"Tidak Eyang, aku hanya perlu berlatih lebih keras lagi, insyaallah aku akan seperti tupai jantan yang dapat melompat dengan lincahnya," ucap Tuah. Ia pun kembali berlatih sesuai apa yang diajarkan Eyang Tupai sebelumnya.

Dalam hati Eyang Tupai berkata, "Tupai betina ini sungguh pantang menyerah."

Tidak terasa, sudah dua bulan Tuah berlatih meloncat. Dan usahanya selama ini akhirnya membuahkan hasil. Kini Tuah sudah dapat meloncat layaknya tupai jantan. Dari satu pohon ke pohon lainnya ia meloncat dengan indahnya.

"MasyaAllah... Eyang kagum melihat perjuanganmu selama ini, maafkan Eyang ketika dulu pernah merendahkanmu sebagai seekor tupai betina yang lemah. Selamat atas keberhasilanmu!" ucap Eyang Tupai, si pelatih.

Berkat perjuangan Tuah, Eyang Tupai terketuk hatinya bahwa semua makhluk memiliki potensi yang sama, yang membedakan hanyalah usaha dan kerja kerasnya.

Setelah kejadian itu, Eyang Tupai mulai membuka kelas latihan lompat secara terbuka, tanpa memandang ia tupai jantan ataukah betina, karena yang menentukan adalah sikap pantang menyerah dalam dirinya.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #10: Tresalong, Trenggiling sang Penolong

(sumber: buku 5 Dongeng Anak Dunia karya Dedik Dwi Prihatmoko)

Di sebuah padang sabana, Kalimantan Selatan. Tinggalah seekor trenggiling. Trenggiling itu bernama Tresalong. Ia dikenal sebagai trenggiling yang suka menolong.

Pada suatu hari, seekor harimau datang ke padang sabana. Dan dia membuat takut semua hewan. Kelinci, tupai, dan Tresalong yang sedang bermain turut ketakutan melihat kedatangan harimau. Ketiganya bersembunyi di balik semak-semak.

"Suttt....jangan berisik!" kata tupai sambil memperhatikan harimau yang perlahan mulai mendekat. Melihat langkah harimau yang semakin dekat, tubuh kelinci gemetar ketakutan. Semak-semak tempat mereka bersembunyi bergoyang-goyang lantaran gerakan tubuh Kelinci yang tak bisa ditahan.

Harimau pun melihat hal itu. Perlahan harimau mendekat ke semak-semak.

"Hei! Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya harimau.

"Tidak, kami tidak sedang melakukan apa-apa," kata tupai menjawab pertanyaan si harimau.

"Baiklah, aku lapar! Aku butuh daging segar. Apakah kalian bisa memberikan makanan yang aku butuhkan?" seru sang harimau kepada kelinci, tupai, dan Tresalong.

Mendengar hal itu, kelinci dan tupai semakin ketakutan. Mereka pasrah dengan nasib hidupnya. Tidak ada langkah lain kecuali menanti harimau mencabik-cabik tubuh mereka dan menyantapnya.

Tresalong menyadari kedua temannya ketakutan, oleh karenanya, Tresalong mencoba berbicara pada harimau. "Harimau, dagingku sangat lezat, Aku mau memberikan dagingku kepadamu asalkan kamu mau melepaskan dua temanku untuk pergi dari sini," ungkap Tresalong kepada harimau.

"Apa kamu rela dagingmu aku makan?" timpal harimau kepadanya.

"Aku rela asalkan dua temanku diizinkan pulang menyampaikan kematian kepada orang tuaku," ungkap Tresalong meyakinkan harimau.

"Baiklah, kalau hanya itu maumu," pungkas harimau.

Kelinci dan tupai akhirnya diperkenankan untuk pergi menyampaikan keinginan Tresalong. Dengan berat hati keduanya beranjak pergi meninggalkan Tresalong dengan harimau. Saat dirasa cukup jauh, dan tak terlihat dari jangkauan mata, Tresalong segera meminta harimau untuk mencicipi dagingnya.

Harimau yang sudah sangat lapar, tak mau menunggu lama, ia segera mendekat dan menyergap Tresalong. Namun, seketika itu Tresalong menggulingkan tubuhnya. Harimau itu sadar bahwa Tresalong dapat menggulingkan tubuhnya dengan balutan sisik yang keras, dan membuat harimau kesusahan untuk memakannya.

Berulang kali harimau mencoba menggigit tubuh Tresalong namun usahanya sia-sia. Yang harimau dapatkan justru rasa sakit pada taringnya karena berulang kali menggigit kerasnya sisik yang menyelimuti tubuh Tresalong.

Setelah beberapa waktu lamanya, harimau pun menyerah dan memutuskan untuk meninggalkan Tresalong. Harimau pun pergi dengan perut keroncongan karena ia tidak mendapat santapan daging untuk menu makan siang.

Sementara Tresalong justru gembira karena berhasil menyelamatkan kedua temannya dari buruan si harimau. Ketika Tresalong pulang, semua teman dan keluarga menyambut dengan penuh haru.

Beragam ucapan terima kasih pun bersahut-sahutan datang dari kelinci, tupai, dan orang tua kepada Tresalong. Tresalong pun hidup bahagia atas sikap penolongnya.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #11: Leu, Lebah yang Bersatu

(sumber: buku 5 Dongeng Anak Dunia karya Dedik Dwi Prihatmoko)

Leu adalah lebah madu yang tinggal di perbukitan Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Sebagai anak sulung dari sepuluh bersaudara, Leu berusaha untuk selalu menjaga kerukunan di antara adik-adiknya.

Adik-adik Leu hampir setiap hari bertengkar. Berawal dari senda-gurau hingga berlanjut pada perkelahian. Melihat kejadian itu, beberapa hewan lain merasa terganggu akan kegaduhan yang hampir setiap hari mereka lakukan.

Leu mencoba mencari cara untuk menyadarkan kesembilan adiknya agar tetap rukun. Muncullah sebuah ide. Leu mengambil satu ranting kayu dan sepuluh ranting kayu yang diikat menjadi satu.

Kesembilan adiknya diminta berkumpul. Alhamdulillah tidak ada yang absen untuk memenuhi panggilan Leu sang kakak. "Terima kasih atas kedatangan kalian adik-adikku," ungkap Leu memulai obrolan.

"Di depan kalian ada satu ranting kayu dan satu ikat ranting kayu yang sengaja kakak ikat, siapa di antara kalian yang bisa mematahkan ranting ini" tanya Leu pada adik-adiknya.

"Aku mau mencobanya," jawab adik Leu yang paling kecil. Untuk mematahkan satu ranting kayu, adik Leu tidak mengalami kesulitan. "Ini sangat mudah untuk aku lakukan," ungkapnya.

Setelah itu, kakak Leu menyodorkan satu ikat ranting. Berbagai cara ia lakukan untuk mematahkan ikatan ranting kayu. Namun, ranting itu tetap tidak patah. Adik Leu yang paling kecil pun menyerah dan meminta kakak-kakaknya yang lain untuk mencoba.

Adik yang kedua pun ikut mencoba. Satu ranting kayu dengan mudah dipatahkan, namun untuk satu ikat ranting kayu dia juga mengalami kesulitan. Tenaga adik Leu dikeluarkan sekuat-kuatnya, namun usahanya pun masih tetap sia-sia.

Adik Leu yang ketiga, keempat, kelima, hingga yang kesembilan pun mencoba untuk mematahkan ikatan ranting kayu itu, namun semua mendapat hasil yang sama, yakni kegagalan untuk mematahkan ranting kayu yang sudah terikat menjadi satu.

"Inilah yang kakak ingin bilang, hiduplah seperti ranting kayu yang terikat menjadi satu. Semakin kita rukun, maka semakin kuat kemampuan kita. Begitupun sebaliknya, ketika kita sering bertengkar maka kerapuhan yang akan kita dapati."

Semua adik Leu merunduk tak dapat berkata apa-apa lagi selain merenungkan ucapan kak Leu tentang sikap yang selama ini mereka lakukan. Akhirnya, kesembilan adik Leu mulai sadar atas kekeliruan yang selama ini mereka lakukan.

Adik-adik Leu lantas saling meminta maaf dan berjanji untuk tidak akan bertengkar dan marah-marahan lagi, dengan menjaga hubungan baik kepada saudara maupun teman-temannya.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #12: Pashol, Panda Anak Sholeh

(sumber: buku 5 Dongeng Anak Dunia karya Dedik Dwi Prihatmoko)

Di daerah perbukitan China yang dingin, hiduplah habitat panda. Dalam habitat tersebut, tinggalah Pashol, seekor panda kecil bersama keluarganya. Hari ini Pashol tampak sedih. Ia berdiam diri di bawah kerimbunan pohon bambu.

Ia bangun kesiangan sehingga tidak dapat berangkat ke masjid. Ibu Pashol mendekati anaknya yang nampak sedih. "Ada apa, Pashol?"

"Bu, pukul aku! Hari ini aku bangun kesiangan dan tidak sholat subuh," jawab Pasal sambil menundukkan kepala. Mendengar ucapan itu. Ibu Pashol tersenyum. "Lihat ibu!" Pashol pun secara perlahan mencoba menengadahkan kepala dan menatap ibunya.

"Ibu tidak akan memukulmu, ibu tahu kamu anak baik! Lupa itu wajar. Kamu sudah pintar karena tahu kesalahanmu," ungkap ibu menasehati, "Yang penting jangan diulangi lagi, Nak!" tambahnya.

Mendengar perkataan ibunya, Pashol pun segera meminta maaf dan memeluk ibunya. "Sekarang hapus rasa sedihmu dan ingat, jangan tidur larut malam! Agar dapat bangun lebih awal. Dan segeralah ambil air wudhu setelah terbangun di waktu pagi dan sholatlah, Nak!" ungkap ibu.

Pashol mengangguk mendengarkan nasihat ibunya. Segera ia mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat. Usai sholat, ia kembali kepada ibunya.

"Sholat itu ibarat balas budi. Kita bebas menghirup udara, melihat indahnya dunia, itu semua pemberian Allah SWT semata. Maka, sudah sepantasnya kita bersyukur atas karunia-Nya dengan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-laranganNya," ungkap ibu Pashol padanya kemudian.

Ibu Pashol tidak bosan untuk mengingatkan. Bahwa sholat termasuk bagian perintah agama yang wajib hukumnya. Ibu Pashol selalu memberikan contoh kepada Pashol untuk menjaga sholat lima waktunya.

"Terima kasih ibu untuk nasihatnya. Pashol berjanji akan memperbaiki sholat Pashol. Pashol juga janji, tidak akan tidur terlalu malam lagi agar bisa bangun lebih awal bersama ayam-ayam," ungkap Pashol dengan selipan tawa ringan.

Ibu Pashol pun tertawa bahagia mendengar ucapan putranya dan dengan bangga memeluknya. "Ibu sayang sama Pashol," bisik ibu padanya.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #13: Kancil dan Siput Lomba Lari

(sumber: buku Kisah Petualangan Seru Kancil dan Teman-Temannya oleh Desi Nurul Anggraini dkk)

Suatu hari kancil bertemu dengan siput di pinggir kali. Melihat siput merangkak dengan lambatnya, sang kancil dengan sombong dan angkuhnya berkata, "Hai Siput, beranikah kamu beradu lomba denganku?"

Ajakan itu terasa mengejek Siput. Siput berpikir sebentar, lalu menjawab, "Baiklah, aku terima ajakanmu dan jangan malu kalau nanti kamu sendiri yang kalah."

"Tidak bisa. Masa jago lari sedunia mau dikalahkan olehmu Siput, binatang perangkak kelas wahid di dunia," ejek Kancil.

"Baiklah, ayo cepat kita tentukan harinya!" kata Kancil.

"Bagaimana kalau hari Minggu besok, agar banyak yang menonton," kata Siput.

"Oke aku setuju," jawab Kancil.

Sambil menunggu hari yang telah ditentukan itu, Siput mengatur taktik. Segera dia kumpul kan bangsa Siput sebanyak-banyaknya. Dalam pertemuan itu, Siput membakar semangat kawan-kawannya, mereka sangat girang dan ingin mempermalukan Kancil di hadapan umum.

Dalam musyawarah itu, disepakatilah dengan suara bulat bahwa dalam lomba nanti di setiap Siput ditugasi berdiri di antara rerumputan di pinggir kali. Diaturlah tempat mereka masing masing. Bila Kancil memanggil, maka Siput yang di depannya itu yang menjawab. Begitu seterusnya.

Sampailah saat yang ditunggu-tunggu itu. Penonton pun sangat penuh menyaksikan perlombaan itu. Para penonton berdatangan dari semua penjuru hutan.

Kancil mulai bersiap di garis start. Pemimpin lomba mengangkat bendera, tanda lomba akan segera dimulai. Kancil berlari sangat cepatnya. Semua tenaga dikeluarkannya.

Tepuk tangan penonton pun menggema memberi semangat pada Kancil. Setelah lari sekian kilometer, berhentilah Kancil. Dengan napas terengah-engah dia memanggil.

"Siput!" seru Kancil.

Siput yang berada di depannya menjawab,"Ya, aku di sini."

Karena tahu Siput telah ada di depannya, Kancil pun kembali lari sangat cepat sampai tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Kemudian dia pun kembali memanggil.

"Siput!" teriak Kancil lagi.

Siput yang di depannya menjawab, "Ya, aku disini."

Berkali-kali selalu begitu. Sampai akhirnya Kancil lunglai dan tak dapat berlari lagi. Menyerahlah sang Kancil dan mengakui kekalahannya. Penonton terbengong-bengong.

Siput menyambut kemenangan itu dengan senyuman saja. Tidak ada loncatan kegirangan seperti pada umumnya pemenang lomba.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #14: Kancil dan Kerbau Bermain Petak Umpet

(sumber: buku Kisah Petualangan Seru Kancil dan Teman-Temannya oleh Desi Nurul Anggraini dkk)

Pada suatu hari seekor Kancil bertemu dengan kerbau. Pada kesempatan itu pula si Kancil mengajak Kerbau untuk bermain petak umpet di dekat pematang sawah.

Lalu Si Kancil berkata "Hai Kerbau apa kabarmu?"

Jawab Si kerbau, "Saya baik-Β­baik saja, bagaimana denganmu?"

"Saya juga baik-Β­baik saja, bagaimana kalau pertemuan ini kita rayakan dengan sebuah permainan petak umpet? Jawab Si kancil.

"Ya... kalau saya setuju saja." Jawab Si Kerbau.

"Kau akan pasti kalah karena badanmu lebih besar dari badanku," hardik si Kancil.

"Ayo kita lihat saja nanti. Sekarang kamu yang lebih dulu untuk bersembunyi," jawab si Kerbau.

Kancil mulai mencari tempat persembunyian, Kancil berlari-lari sampailah ia di bawah sebatang pohon. Kancil mulai mengendap-endapkan dirinya. Ketika itu dedaunan berguguran sehingga menutupi badan si Kancil. Si Kerbau pun mulai mencari si Kancil.

"Hai Kancil di mana kau?" sambil berlari kesana kemari, namun si Kancil tidak dapat ditemukannya. Si Kerbau menginjak-Β­injak rerumputan dan melompatΒ­-lompat hampir saja si Kancil terinjak oleh si Kerbau tapi ia tidak menemukannya. Si Kancil sudah tak sanggup lagi bersembunyi lebih lama.

Akhirnya si Kancil keluar dari persembunyiannya dan melompat ke arah teriakan Kerbau. Lalu ia berkata, "Kerbau aku mengaku kalah aku tak sanggup lagi bertahan lebih lama. Kali ini aku mengaku kalah. Sekarang giliranmu untuk bersembunyi. Ayolah Kerbau bersembunyilah," kata Si Kancil.

Kerbau pun mulai bergegas meninggalkan Kancil untuk mencari tempat persembunyian. Kerbau mencari tempat yang aman, tiba-tiba Kerbau menemukan gubuk yang terbakar.

Kerbau segera menelentangkan dirinya dengan meluruskan keempat kakinya ke arah atas. Ketika itu pula Kancil mulai mencari Kerbau berlari-Β­lari berputar mengelilingi rerumputan namun tak menemukan Kerbau.

Tiba-Β­tiba Kancil melihat gubuk yang terbakar itu. Kancil menghampirinya dan mendekatinya. Lalu meraba-Β­raba tiang itu. Dalam hati Kancil berkata, "Tiang ini kok ada bulunya. Persis seperti kaki Kerbau. Ah, barangkali tidak."

Kancil meninggalkan gubuk itu dan terusΒ­-menerus mencari Kerbau namun tak ditemukan juga. Kancil kembali ke gubuk itu lagi dan memperhatikan dengan secara seksama, tetap sama saja. Akhirnya Kancil merasa jenuh dan berteriak memanggil, "Kerbau... Kerbau... Kerbau. Keluarlah kau. Aku mengaku kalah. Keluarlah. Aku tak mampu untuk mencarimu lagi."

Mendengar teriakan Kancil Kerbau pun keluar dari persembunyiannya dan menghampiri Kancil, "Ha... Ha... Ha... bagaimana Kancil siapa di antara kita yang menang?"

"Ya... Kerbau, aku merasa malu karena aku kalah darimu," jawab si Kancil.

Mulai saat itu, si Kancil berjanji tidak akan sombong lagi kepada si Kerbau.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #15: Anak yang Berteriak Serigala

(sumber: situs Mom Loves Best)

Seorang petani meminta putranya untuk membawa kawanan domba mereka merumput setiap hari. Saat anak laki-laki itu menjaga domba-domba tersebut, dia merasa bosan dan memutuskan untuk bersenang-senang. Jadi, dia berteriak, "Serigala! Serigala!".

Mendengar hal ini, para penduduk desa berlari untuk membantunya mengusir serigala tersebut. Ketika mereka sampai di sana, mereka menyadari bahwa tidak ada serigala dan dia hanya bercanda. Para penduduk desa sangat marah dan mereka meneriaki anak laki-laki itu karena telah membuat kekacauan dan kepanikan.

Keesokan harinya, anak laki-laki itu berteriak "Serigala!" lagi dan sekali lagi penduduk desa datang untuk menolongnya serta melihat bahwa tidak ada serigala. Hal ini membuat mereka sangat marah lagi.

Pada hari yang sama, anak laki-laki itu melihat serigala sebenarnya yang telah meneror domba-dombanya. Anak itu berteriak "Serigala! Serigala! tolong bantu aku. Namun, tidak ada penduduk desa yang datang karena mereka percaya bahwa anak itu sedang bercanda.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #16: Larangan Memukul Kentongan

(sumber: buku Kalarahu Kumpulan Cerita Rakyat Jawa oleh Mardiyanto)

Udara sejuk daerah Tlogolele tiba-tiba berubah menjadi panas. Banyak penduduk desa yang kegerahan. Binatang-binatang pun banyak yang kepanasan. Kijang, menjangan, kera, harimau, ular, dan binatang lainnya keluar dari sarang. Mereka mencari tempat yang sejuk.

Baru saja Ki Jagabaya diberi tahu warganya yang baru pulang dari Pasar Sunggingan bahwa banyak binatang hutan yang turun dari gunung. Ki Jagabaya terkejut.

"lni pertanda Gunung Merapi akan meletus," gumamnya.

Perkiraan Ki Jagabaya tidak meleset. Tidak lama lalu terdengar suara gemuruh diikuti semburan asap tebal dari puncak Gunung Merapi. Asap itu berbentuk seperti jamur barat yang besar sekali dan menjulang ke langit.

Bersamaan dengan itu datang angin kencang menerjang desa Tlogolele. Ki Jagabaya segera memukul kentongan titir dengan maksud agar penduduk desa Tlogolele segera mengungsi.

"Tong ... tong ... tong ... tong... tong ... tong ... tong .. . tong ... tong ... ," demikian suara kentongan titir itu.

Penduduk Tlogolele mendengar suara kentongan titir itu terkejut. Mereka gugup dan berhamburan keluar rumah tak tentu arahnya. Ada yang lari ke timur, barat, utara, dan selatan. Bahkan karena bingung dan gugup banyak penduduk yang terpeleset masuk ke dalam jurang. Banyaklah korban berjatuhan.

"Tong ... tong ... tong ... tong... tong ... tong ... tong ... tong .. . tong .. .," Ki Jagabaya memukul kentongan lagi sambil berteriak-teriak, "Wedus gembel 'kabut tebal yang sangat panas bentuknya seperti bulu kambing domba' datang ...! Wedus gembe/ datang ...! Wedus gembel datang ....I"

Mendengar teriakan Ki Jagabaya itu penduduk Tlogolele semakin ketakutan. Tidak berapa lama bertiup angin sangat kencang diikuti awan wedus gembel Tlogolele. Semua kehidupan yang terkena wedus gembel hangus menjadi abu atau melepuh. Banyak orang dan binatang yang mati. Jerit dan tangis terdengar di mana-mana.

Para perangkat desa dan sesepuh desa berkumpul di balai desa. "Ki Lurah," kata Ki Jagabaya.

"Banyak penduduk Tlogolele yang menjadi korban wedus gembel. Lima puluh orang meninggal, seratus orang luka parah, dan dua ratus luka ringan."

Ki Lurah Tlogolele kelihatan sangat sedih dan terpukul karena penduduknya tertimpa bencana. Ia mengusap air matanya lalu berkata, "Marilah kita rawat korban wedus gembel. Mereka yang sakit kita rawat bersama, sedangkan yang meninggal kita kubur secara baik-baik."

Para wanita yang terhindar dari bencana secara sukarela merawat korban yang terluka, sedangkan para lelaki menggali kubur untuk korban bencana yang meninggal. Upacara pemakaman dan pembacaan doa dipimpin oleh Ki Modin.

Setelah upacara pemakaman selesai, Ki Lurah Tlogolele dan bawahannya mengantarkan pulang Bapa Sepuh 'orang tua yang menjadi panutan' penduduk Tlogolele. Ia dapat berhubungan dengan para arwah nenek moyang penduduk Tlogolele.

"Nak Mas Lurah," kata Bapa Sepuh begitu sampai di rumahnya, "aku ingin berkomunikasi dengan arwah para leluhur kita. Mudah-mudahan mereka memberi petunjuk sehingga malapetaka ini tidak terulang lagi."

"Silakan, Bapa Sepuh," kata Ki Lurah dengan hormat. Bapa Sepuh masuk ke tempat pemujaan. Ia bersemedi hendak berkomunikasi dengan arwah leluhur penduduk Tlogolele. Tidak lama kemudian datanglah arwah cikal bakal penduduk Tlogolele.

"Cucuku, ada masalah apa?"

"Warga Tlogolele mohon petunjuk agar selamat dari bencana alam ini," pinta Bapa Sepuh.

"Cucuku, katakan kepada seluruh penduduk Tlogolele. Jika ada bahaya datang mereka tidak boleh ribut. Pikiran mereka harus tenang karena kalau ribut pasti akan banyak korban. Mulai hari ini penduduk Tlogolele tidak kuperbolehkan memukul kentongan. Bunyi kentongan titir itulah yang membuat penduduk Tlogolele gugup dan bingung."

"Kalau tidak boleh memukul kentongan, bagaimana cara memberi tahu penduduk jika ada bahaya? Dan, bagaimana pula cara menolak bahaya itu?" tanya Bapa Sepuh.

"Jika bahaya itu datang, penduduk harus diberi tahu secara lisan dan tunjukkanlah mereka ke tempat pengungsian. Agar bahaya itu cepat berlalu, setiap penduduk harus membakar tempe serta menyalakan obor di depan rumahnya. Selain itu, adakanlah kenduri sega gunung 'nasi tumpeng'."

Setelah selesai bersemedi Bapa Sepuh keluar dari tempat pemujaan. Ia melaporkan hasil semedinya kepada Ki Lurah di pendapa. Ki Lurah memberitahukan hal itu kepada penduduk Tlogolele.

Para warga kemudian membuat sega gunung lalu dibawa ke rumah Ki Modin untuk dibacakan doa-doa. Sampai sekarang penduduk Tlogolele masih mempercayai pantangan memukul kentongan. Mereka yakin jika tidak memukul kentongan wedus gembel tidak akan melanda desa Tlogolele.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #17: Kancil dan Buaya

(sumber: buku Kisah Petualangan Seru Kancil dan Teman-Temannya oleh Desi Nurul Anggraini dkk)

Di suatu hutan, terdapat seekor Kancil yang tinggal di hutan tersebut. Seperti hari biasanya Kancil pergi mencari makan di dalam hutan. Dia menyeberangi sungai pada saat berangkat.

Setelah Kancil merasa kenyang, dia pulang ke rumah. Namun, tiba-tiba turun hujan lebat ketika kancil sudah dekat sungai. Risaulah hati Kancil karena tidak bisa melewati sungai yang banjir dan derasnya air sungai itu. Tidak jauh dari tepi sungai ada seekor buaya. Kancil mencari ide.

"Buaya, apakah kamu bisa membantuku menyeberangi sungai ini?" kata kancil kepada buaya.

Buaya menjawab, "Jikalau nanti aku membantumu menyeberangi sungai ini maka kamu menganggap aku apa?"

"Kita akan menjadi sahabat sehati sejiwa. Aku akan membantumu kalau susah nanti di masa depan," kata Kancil.

Buaya kemudian mempertimbangkan perkataan kancil. Buaya kembali bertanya, "Jikalau nanti aku membantumu menyeberangi sungai ini maka kamu menganggap aku apa?"

"Sahabat sehati sejiwa, Buaya," Kancil memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya.

Yakinlah Buaya dengan perkataan Kancil dan dia menyuruh Kancil untuk naik ke atas punggungnya. Buaya mulai berenang meninggalkan tepi sungai. Buaya kembali bertanya.

"Apa hubungan kita?"

"Sahabat sehati sejiwa," kata Kancil.

Buaya terus berenang hingga mereka sampai di tengah-tengah sungai, Buaya bertanya lagi.

"Apa hubungan kita?"

"Sahabat sehati sejiwa," jawaban Kancil tidak berubah.

Buaya sangat senang mendengar jawaban Kancil, karena Kancil konsisten dengan jawabannya bahwa mereka tetap sahabat sehati sejiwa. Mereka sudah mau sampai tepi sungai, hanya dengan sekali loncatan lagi mereka sudah sampai di tepi sungai. Buaya kembali bertanya "Apa Hubungan kita?"

"Sahabat bohongan," kata Kancil sambil bergegas meloncat ke tepi sungai dan berlari pergi.

Buaya sangat marah karena sudah ditipu oleh Kancil dan Buaya dendam kepada Kancil, "Baiklah kancil, aku akan mengingat bahwa kamu pernah membohongiku. Namun ingat ada berbagai macam kesulitan dan kesukaran di depanmu. Jika kita berumur panjang maka kita akan berjumpa lagi."

Dongeng Anak Sebelum Tidur #18: Putri Tidur

(sumber: laman Firstcry Parenting)

Inilah kisah Putri Aurora, putri raja dan ratu yang dikutuk oleh penyihir jahat agar mati tertusuk roda pemintal karena orang tuanya tidak mengundang si penyihir ke acara pembaptisannya.

Untungnya, salah satu peri baik yang diundang ke Pembaptisan bisa membantu. Meskipun sang putri masih harus ditusuk, dia tidak akan mati, tapi tidur selama seratus tahun. Dia diberkati oleh peri baik lainnya, dan tumbuh menjadi gadis muda yang cantik, baik hati dan penurut yang sering dipanggil Briar Rose.

Seperti yang diperkirakan, pada ulang tahunnya yang keenam belas, jari Aurora tertusuk oleh roda yang berputar dan tertidur lelap, bersama dengan setiap pria, wanita, anak-anak, dan hewan di kastil.

Seratus tahun kemudian, seorang pangeran muda mencoba pergi ke kastil untuk melihat kecantikannya yang terkenal. Ketika dia menemukannya, dia terpesona oleh kecantikannya dan membungkuk untuk menciumnya.

Hal ini mematahkan kutukan, dan tak lama kemudian semua orang di kastil terbangun dari tidur panjang mereka selama ratusan tahun. Pangeran dan putri menikah, dan kerajaan kembali bahagia dan damai.

Putri tidur mengajarkan kita bahwa meskipun kejahatan kadang-kadang dapat mengganggu hidup kita, ketika kebaikan ikut campur, hal itu dapat melunakkan pukulan tersebut dan pada akhirnya, kejahatan akan teratasi.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #19: Sabuk Nabi Sulaiman

(sumber: buku Kisah Petualangan Seru Kancil dan Teman-Temannya oleh Desi Nurul Anggraini dkk)

Di siang hari terik matahari terasa panas. Kancil yang baru bangun dari tidurnya merasa lapar. Lalu ia pergi mencari makanan ke hutan. Di tengah perjalanan, ia dihadang oleh seekor Macan.

Lalu Macan berkata, "Hai... Kancil aku sudah tiga hari tidak makan. Relakah dirimu kujadikan makan siangku?"

Kancil menjawab, "Mau memakanku? Siapa takut! Tapi sebelum kamu memakanku, aku punya permintaan terakhir."

"Baiklah Cil, akan kukabulkan," kata Macan dengan menyingkat nama Kancil.

"Terima kasih Can. Sekarang kamu pejamkan matamu!" Pinta Kancil.

"Lho kok begitu? Pakai pejam mata segala?" tanya Macan.

Kancil menjawab "Iya Can karena aku ingin mencari makan dulu, agar badanku gemuk."

"Baiklah," kata Macan.

Dengan sekuat tenaga Kancil lari.

Macan bertanya, "Sudah Cil....!"

"Beluuummm......." jawab Kancil sambil lari secepatnya.

Macan bertanya lagi, "Sudah, Cil...!"

Sayup sayup suara Kancil menjawab, "Beeluuuumm.......!"

Ketiga kali Macan memanggil. Kini Kancil tidak menjawab. Mungkin ia sudah jauh dari Macan. Macan pun membuka matanya, "Eh... ke mana si Kancil? Jangan-Β­jangan dia menipuku," gerutunya dalam hati.

Macan mencari Kancil ke sana kemari tapi belum menemukannya. Macan pun geram dan terus mencari Kancil. Sementara itu, Kancil berlari dan mencari tempat bersembunyi yang aman. Kancil selalu melihat ke belakang. Ia takut Macan menemukannya.

Kancil menjadi kurang waspada dengan apa yang ada di depannya, "Happp... aduuhh....!" Hampir ia menabrak ular yang sedang tidur. Langkahnya terhenti sambil mencari akal. Dalam sekejap pula Macan menemukan Kancil, "Hai, Cil. Mau ke mana lagi kau. Mau menipuku lagi ya?"

"Ahhh.. tidak..." jawab Kancil.

"Aku sudah lapar Cil. Relakanlah dirimu untuk kumakan," kata Macan.

"Tunggu sebentar Can. Aku sedang ada tugas diperintahkan Baginda Nabi Sulaiman. Kata Baginda, siapa yang dapat memakai sabuk ini maka dia akan ditakuti seluruh binatang yang ada di dunia ini."

"Ini kan Ular Cil...?" kata Macan.

"Bodoh kau Can.... Ini kan Sabuk Ajaib," balas Kancil

"Kalau begitu sini kucoba?" kata Macan.

"Jangannn..!" kata Kancil dengan siasatnya.

"Kalau tak boleh, kau langsung kumakan!" gertak Macan.

Kancil menjawab, "Baiklah, kalau begitu."

Sang Macan memasang Ular yang dianggap sabuk. Tetapi tibaΒ­-tiba Ular bangun dan berkata, "Macan kurang ajar. beraninya kau mengganggu istirahatku." Dengan sekilat Ular membelit tubuh Macan dan menggigitnya.

Macan tak mau kalah. Ia balas dengan menggigit perut Ular. Kancil tak mau tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah, ia pergi meninggalkan tempat itu.

Dongeng Anak Sebelum Tidur #20: Kapal Kakek Bori Si Beruang Bijak

(sumber: buku Kapal Kakek Bori Si Beruang Bijak karangan Rizkiyah Salsabila dkk)

Siang hari yang cerah, Lubi si Zebra merasa sangat bosan berjalan-jalan mengelilingi hutan Karudalang. Lubi terus berjalan hingga akhirnya Lubi sampai di depan rumah Kakek Bori si beruang bijak.

Kakek Bori sedang mengerjakan sesuatu di pekarangan rumahnya, terlihat banyak kayu dan perkakas berserakan. Lubi sangat tertarik, dia mendatangi Kakek Bori.

"Halo kakek Bori." serunya.

"Kakek sedang apa?" Tanya Lubi sambil penasaran

"Hai Lubi, Kakek sedang membuat mainan dari kayu-kayu ini." jawab Kakek Bori.

Setelah itu ia masuk ke pekarangan rumah Kakek Bori dan melihat-lihat mainan kayu buatan Kakek Bori.

"Bisakah kita membuat kapal yang besar? Jadi kita bisa masuk kedalamnya" kata Lubi.

"Wow... ide yang menarik itu Lu, ayo kita buat" kata kakek Bori. Keduanya pun menyiapkan bahan-bahan dari kayu-kayu yang ada untuk membuat kapal yang besar.

Kemudian keduanya pun mulai membuat kapal. Tak lama, Riri si Bebek dan Momo si Monyet lewat di depan rumah Kakek Bori. Mereka berdua langsung menghampiri setelah melihat Lulu dan Kakek Bori sedang membuat kapal. Kemudian Kakek Bori, Lubi, Riri dan Momo membuat kapal kayu bersama-sama.

Kakek Bori dan Lubi menyusun dan memaku kayu menjadi sebuah kapal. Sementara Momo mengecat kapal, Riri menyiapkan kain yang lebar untuk dijadikan layar kapal. Karena dikerjakan bersama-sama kapal itu tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk selesai.

Setelah kapal selesai, mereka bersama-sama mendorong kapal itu menuju danau. Sesampainya di danau, mereka bersama-sama masuk ke dalamnya. Kapal kayu hasil buatan Kakek Bori, Lubi dan teman-teman berlayar dengan indah di atas danau.

Suasana di dalam kapal sangat menyenangkan. "Sekarang saat nya kita memancing!" kata Kakek Bori mengajak Lubi, Riri dan Momo. Kakek sudah menyiapkan alat pancing yang dibawa dari rumah.

Kakek Bori menjaga kapal, kemudian Lubi dan teman-teman memancing ikan. Waktu pun sudah mulai sore, ikan yang dipancing pun banyak hingga ember yang disiapkan Kakek Bori penuh dengan ikan.

Kapal pun dibawa ke tepian danau. "Terima kasih Kakek Bori dan teman-teman, hari ini menjadi hari yang sangat menyenangkan!" kata Lubi dengan gembira. Kemudian Lubi, Momo dan Riri pulang ke rumah dengan membawa ikan hasil tangkapan mereka.

Nah, itulah 20 cerita dongeng anak sebelum tidur yang lucu dan mendidik. Kamu bisa memakainya untuk mengantarkan si anak menuju tidur nyenyak. Semoga bermanfaat!




(sto/cln)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads