Daya tarik yang dimiliki Jogja tidaklah terbatas pada melimpahnya objek wisata maupun kulinernya saja. Tapi Jogja juga dikenal memiliki banyak tempat dengan sejarah yang unik.
Selain itu, ragam tradisi yang menyelimutinya pun kerap membuat masyarakat penasaran. Salah satu wilayah Kota Pelajar yang memiliki sejarah dan tradisi menarik adalah Kalurahan Palbapang.
Sejarah Kalurahan Palbapang tidak lepas dari kisah Ki Ageng Mangir, pimpinan wilayah Mangiran zaman Mataram Islam. Sementara itu, Kalurahan Palbapang juga dikenal karena tradisi uniknya, yakni pelepasan ayam di Perempatan Palbapang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut ini penjabarannya yang telah dihimpun detikJogja. Selamat membaca!
Tradisi Melepas Ayam di Perempatan Palbapang
Perempatan Palbapang merupakan titik temu empat jalan, yakni Jalan K.H. Wahid Hasyim di arah Utara, Jalan Samas di bagian Selatan, Jalan Srandakan di arah barat, dan Jalan Sultan Agung pada sisi timurnya.
Mengutip tulisan dalam Jurnal In Right berjudul Tradisi Melepas Ayam di Perempatan Jalan Sebelum Pernikahan Perspektif Islam: Studi Desa Palbapang Bantul Yogyakarta karya Anharul Hidayat dan Malik Ibrahim, terdapat sebuah tradisi yang melekat pada perempatan Palbapang.
Tradisi tersebut mengharuskan pengantin, baik pria maupun wanita, untuk melepaskan ayam di perempatan Palbapang. Tradisi ini dijalankan jika rute rumah salah satu pengantinnya melewati perempatan tersebut. Jika tidak, maka tradisi ini boleh dikesampingkan dahulu.
Ayam yang dilepas tidak memiliki aturan khusus, baik dari segi ukuran, jenis kelamin, hingga usianya. Waktu pelepasan fauna tersebut adalah ketika iring-iringan pengantin menuju tempat resepsi dan melalui perempatan Palbapang.
Tidak ada ritual tambahan yang dilakukan pada tradisi ini, melainkan sekadar melepas ayam. Nantinya, ayam yang telah dilepas dapat ditangkap oleh warga sekitar dan dijadikan miliknya.
Konon, jika seseorang tidak mengikuti ritual ini, maka pernikahannya akan terkena musibah. Terlepas dari benar atau tidaknya mitos tersebut, tradisi ini secara tidak langsung mengajarkan warga untuk saling berbagi dan menjaga nilai-nilai budaya Jogja.
Sejarah Desa Palbapang
Mengutip dari laman resmi Kalurahan Palbapang, wilayah ini berdiri pada tahun 1946, tepatnya pada tanggal 8 Oktober. Berdirinya kalurahan ini merupakan hasil dari penggabungan tiga kalurahan kecil, yakni Gandon, Tajeman, dan Taruban.
Kalurahan Palbapang telah mengalami pergantian lurah sebanyak enam kali dengan lurah pertamanya adalah Sastro Sudarmo. Berturut-turut, nama lurah Palbapang adalah Sastro Sudarmo, Hadi Atmojo, Sumiyono, Yusmedi, Ris Iriyanti, dan Sukirman.
Nama Palbapang sendiri adalah kombinasi dari kata "pal" dan "bapang". "Pal" berarti batas, sedangkan "bapang" berarti dijaga atau dibawa. Kemunculan nama ini tak lepas dari kisah Ki Ageng Mangir yang diundang ke Keraton Mataram Islam.
Menyadur informasi dari laman resmi Dinas Kebudayaan Jogja, kala itu, Ki Ageng Mangir memimpin secara perdikan sebuah wilayah bernama Mangiran. Kerajaan Mataram Islam yang saat itu dipimpin oleh Panembahan Senopati tidak memiliki kuasa apapun atasnya.
Mengapa Panembahan Senopati tidak lantas menghancurkannya? Alasannya adalah kekuatan Tombak Kyai Baru Klinting milik Ki Ageng Mangir yang dikenal begitu sakti. Meski demikian, keinginan Panembahan Senopati untuk menundukkannya begitu berkobar. Oleh karena itu, disusunlah sebuah rencana.
Panembahan Senopati meminta anaknya, Sekar Pembayun, untuk menikahi sang penguasa Mangiran. Usai menikah, Sekar Pembayun dan Ki Ageng Mangir lantas pergi ke keraton dalam rangka merayakan pernikahannya.
Di tengah jalan, Ki Ageng Mangir lalu dikawal oleh para prajurit Mataram untuk pergi ke keraton. Tempat di mana Ki Ageng Mangir mulai dikawal itulah yang di kemudian hari dikenal sebagai Kalurahan Palbapang.
Nah, demikian penjelasan mengenai sejarah Kalurahan Palbapang dan tradisi uniknya melepas ayam di perempatan. Semoga bermanfaat ya, Dab!
(apl/apl)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang
PDIP Bawa Koin 'Bumi Mataram' ke Sidang Hasto: Kasus Receh, Bismillah Bebas