Menengok Jejak Kerajaan Mataram di Kotagede, Konon Cikal Bakal Keraton Jogja

Menengok Jejak Kerajaan Mataram di Kotagede, Konon Cikal Bakal Keraton Jogja

Mahendra Lavidava, Jihan Nisrina Khairani - detikJogja
Jumat, 17 Nov 2023 06:15 WIB
Suasana Kompleks Makam Raja-raja Mataram Islam di Kotagede. Foto diambil 3 Oktober 2023
Foto pintu masuk kompleks Makam Raja-raja Mataram Islam di Kotagede: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja
Bantul - Keraton Mataram konon berlokasi tak jauh dari kompleks Makam Raja-raja Mataram di Kotagede. Konon Kerajaan Mataram inilah yang menjadi cikal bakal Keraton Jogja. Seperti apa kisahnya?

Kompleks Makam Raja-raja Mataram ini berada di Jalan Masjid Besar Mataram, Sayangan, Jagalan, Banguntapan, Bantul. Sesepuh atau pimpinan yang ditugaskan Keraton Solo, KRT Pujodipuro (61) atau Slamet menceritakan sejarah Kerajaan Mataram berawal dari Panembahan Senopati.

Setelah Panembahan Senopati bertahta kemudian diteruskan Sinuhun Hanyokrowati sebagai Raja Mataram kedua. Lalu dilanjutkan oleh Sultan Agung.

Dia menyebut kawasan Kerajaan Mataram yang berada di Kotagede dulunya merupakan kawasan hutan mentaok. Wilayah ini diberikan sebagai hadiah dari Sultan Pajang.

"Sebagian besar itu pohonnya adalah mentaok, makanya dinamakan hutan mentaok," ucap Slamet kepada detikJogja, Selasa (3/10/2023.

Dia menuturkan saat itu pusat kerajaan masih berada di Pajang, Jawa Tengah, dan dipimpin Sultan Pajang atau Joko Tingkir. Kala itu Joko Tingkir disebut membuat sayembara bagi siapa saja yang berhasil menuntaskan pemberontakan dari Jipang atau Aryo Penangsang, maka akan mendapatkan hadiah hutan mentaok.

Pada saat itu yang memenangkan sayembara adalah Ki Gede Pemanahan dan Danang Sutowijoyo atau masyhur dengan nama Panembahan Senopati. Kawasan mentaok ini kemudian lalu dipoles menjadi sebuah padukuhan Mataram dengan cara membabat hutan lalu dibuat langgar atau musala, pasar, dan sendang yang berfungsi untuk memenuhi kegiatan sehari-hari ketika melakukan babat hutan.

Mengingat kawasan mentaok masih berada di bawah Pajang, maka dibuatlah perjanjian antara Ki Ageng Pemanahan, Danang Sutowijoyo, dan Sultan Pajang. Perjanjian tersebut berisi larangan mendirikan kerajaan dan menjadi raja.

"Pajang itu waswas. Jangan-jangan mentaok itu perkembangannya akan besar dan mendirikan kerajaan. Maka ada perjanjian, saya kasihkan Bumi Mentaok tapi jangan mendirikan kerajaan dan jangan menjadi raja," ujar Slamet.

Suasana Kompleks Makam Raja-raja Mataram Islam di Kotagede. Foto diambil 3 Oktober 2023Potret pohon mentaok di kompleks Makam Raja-raja Mataram Islam di Kotagede. Foto: Mahendra Lavidavayastama/detikJogja

Kisah Danang Sutowijoyo Jadi Panembahan Senopati

Dalam perjalanannya, Danang Sutowijoyo berkeinginan menjadi raja. Dia lalu menggunakan gelar panembahan sebagai pimpinan daerah tapi tidak memproklamirkan sebagai raja. Hal ini dilakukan agar Kerajaan Pajang tidak marah dengan Mataram.

"Seseorang pasti punya ambisi yang lebih to. Nah Danang Sutowijoyo atau Panembahan Senopati tetap ingin menjadi raja. Beliau berkamuflase menjadi panembahan supaya Pajang itu tidak marah dengan Mataram," ujar Slamet.

Meskipun tidak memproklamirkan diri sebagai raja, faktanya kekuasaan yang dimiliki Panembahan Senopati sudah seperti kerajaan. Hal ini ditandai dengan adanya tanah jajahan dan tata kota yang sudah seperti kerajaan.

"Tapi Panembahan itu kekuasaannya tetep sudah seperti kerajaan karena sudah ada tanah jajahan dan tata kotanya menjadi seperti sudah kerajaan, karena ada alun-alun ada pasar ada masjid. Yang bisa punya alun-alun selain raja itu nggak boleh. Nah itu kan tanda-raja menjadi raja seperti itu," urainya.

"Namanya catur sagatra, empat yang berkaitan, keraton tempatnya raja, alun-alun tempat masyarakat melakukan kegiatan dan bertemu raja, pasar untuk perekonomian, masjid untuk beribadah, semua keraton islam seperti itu baik Solo atau Jogja," sambung Slamet.

Jejak Keraton Mataram di Kotagede

Ia juga menjelaskan letak dari Keraton Mataram dulu berada di dekat lokasi Makam Raja-raja saat ini.

"Kalo keratonnya ada di kampung sana, parkiran keluar kanan kurang lebih 200 meter, ada bangunan di tengah jalan namanya Batu Gilang itu tempat duduknya Panembahan Senopati. Jadi keratonnya itu sana," ujar abdi dalem tersebut.

Setelah Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, dan Sultan Pajang wafat, maka perjanjian tersebut sudah hangus. Maka Raja Mataram Kedua yakni Sinuhun Prabu Hanyokrowati terang-terangan menyatakan menjadi Raja Mataram kedua, lalu disusul oleh Sultan Agung hingga saat ini.

Slamet pun menuturkan jika Kerajaan Mataram merupakan cikal bakal adanya Keraton Jogja dan Keraton Surakarta. Proses tersebut memakan waktu yang lama dan sempat mengalami perpindahan kerajaan beberapa kali sebelum menjadi saat ini.

"Dari Mataraman ini pindah ke daerah Kerto lalu ke Pleret lalu ke Tegal Arum lalu Kartasura lalu Surakarta di situ pecah jadi dua (Keraton Jogja dan Keraton Solo) sampai sekarang," kata pria yang sudah menjadi abdi dalem selama 24 tahun itu.

Bangunan yang berada di kawasan Makam Raja-raja Mataraman ini bercorak campuran Jawa dan Hindu. Hal ini merupakan akulturasi sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang.

"Bangunan campuran dari Jawa-Hindu karena raja-raja dulu itu tidak mau meninggalkan hasil karya nenek moyang, mau gimanapun mataram itu keturunan Majapahit," terang Slamet.

Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidava dan Jihan Nisrina Khairani Peserta program magang bersertifikat kampus merdeka di detikcom.


(ams/apl)

Hide Ads