Dipercaya Simpan Ramalan, Begini Sejarah Ritual Buka Cupu Panjala Gunungkidul

Dipercaya Simpan Ramalan, Begini Sejarah Ritual Buka Cupu Panjala Gunungkidul

Muhammad Iqbal Al Fardi - detikJogja
Rabu, 01 Nov 2023 23:48 WIB
Suasana pembukaan Cupu Panjala di rumah Dwidjo Sumarto, Padukuhan Mendak, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul.
Suasana pembukaan Cupu Panjala di rumah Dwidjo Sumarto, Padukuhan Mendak, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. (Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja)
Gunungkidul -

Masyarakat Gunungkidul, khususnya di Pedukuhan Mendak, Kalurahan Girisekar, Kapanewon Panggang, memiliki tradisi unik tahunan yakni membuka Cupu Panjala. Masyarakat meyakini hasil pembukaan cupu sebagai perkiraan yang akan terjadi satu tahun ke depan.

Ritual ini digelar di rumah generasi ke-6 pewaris Cupu Panjala, Dwijo Sumarto (81). Menurut Dwijo, ritual itu awalnya sebagai penanda masa bercocok tanam akan tiba.

"Awal mulanya itu benda (Cupu Panjala) yang dibuka. Dulu pertanda bercocok tanam kalau Jawa, mongso kapapat," ungkap Dwijo kepada detikJogja saat ditemui di rumahnya, Rabu (1/11/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ritual tersebut selalu dinanti oleh masyarakat karena akan muncul beberapa tanda berupa tanda maupun gambar. Dwijo mengatakan, bahkan masyarakat di luar Jogja pun ikut menantikannya.

"Dari manapun sudah banyak mengenal itu (Cupu Panjala), ada yang dari Jawa Timur juga," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Dalam ritual Cupu Panjala, Dwijo menjelaskan, dia menggunakan sesaji seperti nasi uduk dan ayam yang telah diolah. Ayam tersebut, kata Dwijo, akan diletakkan di atas nasi uduk itu.

"Ada sesaji, nasi uduk dan ayam. Dan ayam itu diletakkan di atas (nasi uduk)," katanya.

Generasi ke-6 pewaris Cupu Panjala, Dwijo Sumarto.Generasi ke-6 pewaris Cupu Panjala, Dwijo Sumarto. Foto: Muhammad Iqbal Al Fardi/detikJogja

Prosesi ritualnya, Dwijo mengatakan, Cupu Panjala yang sudah dibungkus kain putih atau mori berukuran dua hingga tiga meter itu akan dibuka setelah disimpan selama setahun. Waktu pelaksanaannya, ujar Dwijo, yakni pada malam Selasa Kliwon biasanya jatuh pada Oktober.

"(Cupu Panjala) dibuka setahun sekali itu malam Selasa kliwon biasanya bulan Oktober (dibungkus menggunakan) kain putih seukuran pembungkus mayat entah 2 setengah atau 3 meter," paparnya.

Dwijo menyebutkan, ada tiga Cupu Panjala yakni Semar Tinandu yang berukuran besar, Palang Kinantang berukuran sedang, dan Kentiwiri yang paling kecil. Cupu itu, kata Dwijo, awalnya digunakan untuk memprediksi curah hujan.

"Tiga benda (Cupu Panjalu) itu untuk memprediksi curah hujan. Seperti Semar Kinandu itu hujannya lebat-lebat dan selanjutnya kekurangan air. Kalau yang berat itu nomor dua, petani di sini tidak kecewa karena tetap ada air selanjutnya. Kalau Kentiwiri yang lebih berat itu belum pernah," paparnya.

Saat ini, Dwijo mengungkapkan, banyak orang yang mengaitkan pertanda yang muncul dengan politik. Tanda tersebut, kata Dwijo, muncul di lembaran kain putih atau mori yang membungkus Cupu Panjala itu.

"Kalau zaman sekarang itu orang-orang dikaitkan dengan politik karena tanda di kain putih," jelasnya.

Dwijo mengatakan, pada pelaksanaan ritual Cupu Panjala, Senin (30/10) lalu muncul sejumlah tanda.

"Yang keluar itu kan banyak, tapi yang pertama kali itu ada pohon dan jagungnya tapi tidak ada daunnya. Terus ada lagi orang yang menghadap ke barat tapi tidak ada rambutnya. Ada perempuan yang pakai tanda itu di atas kepala sebagai penari. Ada garuda dan bintangnya ada tiga, itu ada," sebutnya.

Kendati demikian, Dwijo mengungkapkan, dirinya tidak boleh menafsirkan tanda-tanda yang muncul. "Saya tidak boleh menafsirkan karena mendahului Tuhan Yang Maha Kuasa,"

Dwijo menjelaskan, tidak ada syarat tertentu bagi orang yang ingin hadir pada ritual tersebut. Namun, Dwijo mengatakan, syarat hanya berlaku bagi orang yang memiliki hajat tertentu.

"Apabila kalau ada orang yang punya tujuan itu membawa kembang kemenyan atau bentuk infaq atau kancing gunung seikhlasnya," jelasnya.

Dwijo menuturkan sejarah Cupu Panjala, simak di halaman selanjutnya.

Sejarah Cupu Panjala

Dwijo mengatakan, ritual tersebut bermula dari sebuah sayembara. Sayembara itu berisi tentang barang siapa yang berhasil membuka Cupu tersebut, maka Cupu itu akan diwariskan kepada orang yang dapat membukanya hingga turun-temurun.

Pada mulanya, kata Dwijo, seorang Kiai bernama Wonongso memiliki seorang putra, Kiai Seyek. Suatu hari saat Kiai Seyek berusia 10 tahun, jelas Dwijo, pulang ke rumahnya karena merasa lapar usai bermain bersama teman-temannya.

"Kiai Wonongso punya anak laki-laki Kiai Seyek. Setelah itu, (saat Kiai Seyek berumur 10 tahun) dia main sama teman-temannya dan pulang ke rumah. Ibunya masak nasi, dia itu lapar," ungkap Dwijo

Saat di rumahnya, tutur Dwijo, Kiai Seyek kecil sedang bermain ian atau kipas dari anyaman bambu. Namun, kata Dwijo, orang tuanya memukul Kiai Seyek menggunakan entong dan pergilah Kiai Seyek ke arah selatan.

"Setelah itu, orang tuanya marah dan dia dipukul pakai entong. Setelah itu, dia pergi ke arah selatan, lama tidak pulang," kisah Dwijo.

Kemudian, ungkap Dwijo, orangtua Kiai Seyek pergi ke orang pintar untuk mencari anaknya. Orang pintar itu, kata Dwijo, memberikan beberapa syarat yang harus dipenuhi.

"(Orang tua Kiai Seyek) mencari orang pintar. 'Kalau mau mencari anakmu ke arah selatan'. (Syarat) pertama membawa nasi satu kepel dan membawa jala dan tidak minum beberapa hari," ungkapnya.

Lalu, kata Dwijo, orang tua Kiai Seyek sampai di tepi pantai. Di sana, ujar Dwijo, orangtua Kiai Seyek melempar jala tersebut ke arah samudera dan ditemukanlah Kiai Seyek atau yang dikenal dengan Kiai Panjala.

"Setelah sampai samudera ada apa itu dilempar, jalanya dilemparkan dan ketemu Kiai Seyek," jelas Dwijo yang memiliki nama lahir sebagai Sarfan itu.

Usai itu, lanjut Dwijo, Kiai Seyek mengadakan sebuah sayembara. Sayembara tersebut, kata Dwijo, adalah bagi siapa saja yang dapat membuka Cupu itu, maka Cupu tersebut akan diwariskan kepada orang tersebut beserta turunannya.

"Sayembara barang siapa yang bisa membuka barang ini (maka) bisa ditempati anak cucunya. Saya generasi ke-6," ungkapnya.

Generasi pertama yang membuka Cupu Panjala itu, kata Dwijo, adalah Cowijoyo. Sedangkan generasi kedua, Dwijo menyebutkan, adalah Setrodorni dan dilanjutkan oleh Setrodinomo sebagai generasi ketiga.

Generasi keempat, Dwijo mengatakan, adalah Atmo Pawiro dan diwariskan kepada generasi kelima yakni Rono Pawiro.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Viral Lurah di Gunungkidul Disiram, Disebut Karena Masalah Utang"
[Gambas:Video 20detik]
(aku/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads