Tan Jin Sing adalah seorang kapiten yang pernah bermukim di Kampung Ketandan, Kota Jogja. Ia merupakan sosok yang terlibat aktif dalam pemerintahan Keraton Jogja dan pernah diangkat menjadi Bupati Nayoko pada periode tahun 1813-1831.
Dikutip dari situs resmi Dinas Kebudayaan DIY, Rumah Kapiten Tan Jin Sing berada di Jalan Ketandan No. 9 Ngupasan, Gondomanan, Kota Jogja. Dahulunya digunakan untuk tempat tinggal Tan Jin Sing atau Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat.
Rumah Kapiten Tan Jin Sing di Ketandan
Bangunan rumah milik Tan Jin Sing merupakan bangunan dengan sentuhan arsitektur China, Jawa, dan Eropa. Terdapat dua bagian yaitu rumah induk yang berada di depan rumah dan rumah bagian belakang yang memanjang dari timur ke barat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dalamnya terdapat empat ruangan yang terbagi pada sisi kanan dan kiri serta dilengkapi lorong di tengahnya. Pada bagian belakangnya memiliki tiga ruangan. Atap dari rumah ini berbentuk limasan dan rumah bagian belakang berbentuk pelana.
Mengenai Tan Jin Sing, ia adalah orang Jawa yang dibesarkan oleh Kapiten Cina dari Wonosobo. Tan Jin Sing pernah menjadi Kapiten China di Kedu dan Kapiten China di Jogja. Ia juga pernah menjabat sebagai Bupati Nayoko serta mendapat gelar kebangsawanan dari Keraton Jogja pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Ketua RW 05 setempat, Tjoendaka (55) menjelaskan Kampung Ketandan dahulunya difungsikan sebagai tempat permukiman masyarakat keturunan Tionghoa yang ada saat zaman kolonial Belanda. Salah satu tokoh yang pernah tinggal di area ini adalah Kapiten Tan Jin Sing beserta keluarganya.
"Di zaman Belanda dulu bangsa Indonesia ada tiga strata, Eropa, peranakan Tionghoa, dan Pribumi. Di peranakan Tionghoa, pemimpinnya itu namanya kapiten. Kapiten itu adalah pemimpin Tionghoa yang ada di kota itu," kata Tjoendaka kepada detikJogja, Selasa (24/10/2023).
![]() |
Bangunan rumah Kapiten Tan Jin Sing menjadi salah satu peninggalan sejarah yang ada di Ketandan. Bangunannya memiliki arsitektur khas Tionghoa yang dicampurkan dengan sentuhan Eropa dan Jawa.
Tjoendaka mengatakan bahwa dahulunya rumah Tan Jin Sing sangat luas. Bangunannya terbentang dari utara Pasar Beringharjo sampai perempatan Kampung Ketandan. Kini, yang tersisa hanyalah bagian belakang rumah yang merupakan rumah dagangnya.
"Rumahnya ada sekitar 1790-an, itu rumah dagangnya, ya. Sebetulnya rumahnya itu dari utara pasar sampai perempatan Ketandan, besar banget, yang sekarang itu rumah dagang atau rumah belakang. Bahkan ada rumah satu lagi yang menjadi istal kuda Tan Jin Sing," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan Tan Jin Sing tidur di rumah ini hanya selama tiga hari dalam seminggu. Tan Jin Sing lebih banyak beraktivitas di Keraton untuk mengurusi perihal pemerintahan.
"Senin sampai Jumat di Keraton, sisanya dari Jumat malam di Ketandan karena keluarganya di situ. Pas jadi bupati pun tetap tinggal di situ," ujarnya.
Saat ini, bangunan bersejarah ini hanya menyisakan sebagian kecil dari bangunan aslinya. Bagian yang dahulunya menjadi rumah Tan Jin Sing kini telah berganti kepemilikan dan sudah menjadi pertokoan dan hotel.
"Rumah budaya nggak dibuka untuk umum tapi kalau mau datang bisa, ketemu penjaganya untuk melihat. Itu bukan museum tapi bangunan heritage. Bisa lihat tapi perlu pemberitahuan seperti pakai surat," tuturnya.
Pantauan detikJogja, Selasa (24/10), bangunan cagar budaya yang dahulunya digunakan sebagai kantor dagang Tan Jin Sing terlihat tertutup rapat. Bangunannya masih kokoh berdiri dengan nuansa warna kuning gading dari tampak depan. Terlihat bagian depan bangunan ini menjadi tempat parkir motor bagi beberapa pengunjung yang hendak berkegiatan di Kampung Ketandan.
Sosok Tan Jin Sing
Terpisah, mengenai Tan Jin Sing, mengutip buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik karya Benny G. Setiono, Tan Jin Sing lahir pada tahun 1760 dari ibu bernama R. A. Patrawijaya yang merupakan keturunan ketiga Sunan Mataram Mangkurat Agung dan ayahnya Demang Desa Kalibeber, dekat Wonosobo. Ia dirawat oleh seseorang bernama Oei The Liong karena ayahnya sudah wafat sebelum ia dilahirkan dan keluarganya dalam keadaan miskin.
Setahun setelah istri The Liong meninggal, ibu kandungnya dipanggil kembali untuk mengasuh Tan Jin Sing dan ibunya menikah dengan The Liong. Saat menginjak usia 10 tahun, Tan Jin Sing mampu menguasai berbagai bahasa, memahami adat kebiasaan Tionghoa, krama hinggil, dan tata cara budaya Jawa.
Semakin bertumbuh besar, Tan Jin Sing dikenal sebagai seorang laki-laki yang benar-benar cerdas dan terampil oleh orang-orang Eropa. Ia juga menguasai bahasa Belanda dan Inggris, sehingga ia dipilih sebagai perantara antara keraton dengan para pejabat Belanda.
Tan Jin Sing mendapat gelar Raden Tumenggung Secodiningrat dan dilantik menjadi Bupati Yogyakarta oleh Sultan Hamengku Buwono III pada 18 September 1813. Ia mendapat tugas dari Sultan untuk mengatur dan mengawasi keuangan Keraton Jogja.
Tan Jin Sing meninggal dunia pada 10 Mei 1831 saat usianya 71 tahun. Ia dimakamkan di makam keluarga Rogocolo, Mrisi, empat kilometer sebelah selatan Jogja.
Mengenal lebih dekat sosok Tan Jin Sing, Tjoendaka mengatakan Tan Jin Sing adalah seorang kapiten yang memiliki tugas untuk memimpin masyarakat Tionghoa di suatu daerah tertentu. Ia juga pernah bertugas untuk menarik pajak para pengusaha Tionghoa di area Ketandan untuk diserahkan ke Keraton.
Meski memiliki nama Tionghoa, Tan Jin Sing lahir dari keluarga yang bukan beretnis Tionghoa melainkan Jawa. Akan tetapi, sejak ayahnya meninggal, ia dirawat oleh seorang Kapiten keturunan Tionghoa di Wonosobo.
"Bapaknya itu Demang Beber dari Wonosobo, Ibunya adalah Raden Ajeng Patrawijaya, putri dari Sunan Amangkurat IV. Karena bapaknya meninggal, Tan Jin Sing diadopsi oleh seorang kapiten bernama Oei The Long," ujar Tjoendaka.
"Waktu diadopsi itu usianya dua tahun dan ibu angkatnya meninggal, akhirnya ibu kandungnya dipanggil untuk merawat Tan Jin Sing. Karena itu, ibu kandung dan bapak angkatnya menikah, lalu saat Tan Jin Sing berusia 11 tahun, ibu kandungnya meninggal. Sebelum meninggal, ibunya bilang kalau Tan Jin Sing adalah anak kandungnya," lanjutnya.
![]() |
Awal Mula Tinggal di Kampung Ketandan
Tjoendaka juga menceritakan bahwa Tan Jin Sing bukanlah penduduk asli Ketandan. Ia dapat tinggal di Ketandan karena hubungan pernikahan dengan anak dari Kapiten Yap Sa Ting Ho.
"Sebenarnya dia aslinya bukan di Ketandan, yang tinggal di Ketandan itu mertuanya, Yap Sa Ting Ho, yang saat itu merupakan seorang Kapiten. Dia punya anak namanya U Li dan menjadi istri Tan Jin Sing," jelasnya.
Terkait keturunan dari Tan Jin Sing, terdapat dua trah dari kedua istri Tan Jin Sing yang memiliki etnis berbeda. Hingga sekarang, masih terdapat kerabat-kerabat dari trah Tionghoa Tan Jin Sing yang tinggal di Kampung Ketandan.
"Istrinya itu 2, yang pertama itu Nyonya Kapiten dan yang kedua itu dari Ndalem Kraton. Jadi dia punya 2 trah, yaitu trah Tionghoa dan trah Jawa. Boleh dibilang kampung Ketandan adalah kerabat-kerabat dari sisi Tionghoa, adanya di Ketandan," pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh Anandio Januar dan Novi Vianita peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
PDIP Jogja Kembali Aksi Saweran Koin Bela Hasto-Bawa ke Jakarta Saat Sidang
PDIP Bawa Koin 'Bumi Mataram' ke Sidang Hasto: Kasus Receh, Bismillah Bebas